Di ere media digital saat ini, kemajuan dan pesatnya informasi yang begitu tidak terelakkan, telah menjadi “wadah” umat manusia. Sebagaimana menurut Marshall McLuhan, telah memprediksi di 60 tahun yang lalu, akan bergulir sebuah media tanpa batas. Beliau menyebutnya sebagai “global village” dalam bukunya Understanding Media; Extension of A Man.
Di dalam “global village” (kampung global) tidak ada batasan kelas sosial, semua terhubung satu sama lainnya. Tentu ini langkah peradaban yang akan mengantarkan umat manusia ke dalam siklus keterbukaan. Bagaimana kejahatan dan kebaikan di dalamnya akan bercampur-aduk, menjadi satu aktivitas sosial yang akan menuntun kita untuk “bijaksana” di dalam menjalani kampung global tersebut.
Fenomena Radikaisme Online Berjubah Agama
Kebijaksanaan kita di media digital dengan karakter yang tak terbatas pada dasarnya sebagai nilai fundamental yang harus kita bangun. Utamanya di tengah arus fenomena kejahatan kemanusiaan yang tubuh subur di media digital, yaitu (radikalisme online). Radikalisme online pada dasarnya lebih tampak transparan memanfaatkan media sosial yang tak terbatas, untuk menebar berbagai macam narasi radikal berkedok agama.
Radikalisme online condong mendominasi sebagai “kesadaran” mencuci otak manusia untuk membenci dan melakukan kejahatan yang dibenarkan. Seperti membenarkan perilaku anarkisme dengan dalih agama dan membenarkan perilaku melawan pemerintah dengan dalih agama.
Fenomena kejahatan berbungkus agama semacam ini pada dasarnya harus kita waspadai. Melihat, realitas media sosial yang campur-aduk antara kebenaran agama sejati dengan kezhaliman berbungkus agama itu sendiri. Tentu, polemik yang semacam ini kita tidak sekadar menjadi (penikmat) segala narasi keagamaan tetapi menjadi “penilai” secara selektif menghindari kejahatan berbungkus agama itu sendiri.
Ada dua pokok penting yang harus dibangun. Pertama menjadi orang yang gemar menyebarkan nilai-nilai keagamaan di ruang online. Kedua, menjadi orang yang selektif dalam menikmati segala narasi/ajaran keagamaan di ruang online. Dua sikap tersebut akan menyelamatkan kita dari segala perilaku kejahatan kemanusiaan berdalih agama yang sering-kali membuat kita tidak sadar.
Upaya-upaya untuk menyebar kebajikan agama haruslah memenuhi media digital. Membangun relasi sosialnya, aktivitas keagamaan yang mencerahkan dan bahkan kesadaran-kesadaran individualis di dalam mengekspresikan keagamaan yang tolerant dan cinta kasih. Sehingga, dominasi kesadaran keagamaan yang semacam ini pada akhirnya akan semakin membentuk kultur beragama yang membawa rahmat dan mereduksi narasi keagamaan yang membawa mudharat bagi bangsa ini.
Pengaruh Agama dan Media Digital Bagi Kehidupan Kita
Eksistensi agama harus hadir untuk menutupi segala bentuk ketidakadaban di media sosial. Dengan membangun semacam “Self-actions” agama di media digital agar tidak mudah terprovokasi akan informasi yang memecah-belah. Sekaligus sebagai pandangan kebajikan dan tidak tergiur di dalam menggerakkan jari-jemari di dalam menyabarkan provokasi tersebut.
Peran antara agama dan media digital saat ini sangatlah berpengaruh besar terhadap aktivitas umat manusia. Maka menjadi keharusan bagi kita untuk membangun daya dominasi di ruang digital perihal peran agama yang moderat dan tolerant sebagai kesadaran umat manusia di ruang digital. Dengan menancapkan nilai-nilai keagamaan di media digital yang mewadahi ekspresi-ekspresi sosial yang lebih egalitarian, harmonis, anti-kebohongan dan provokasi.
Peran agama dan media digital di dalam menangkal provokasi, hoax dan bahkan kekerasan yang mengatasnamakan agama sejatinya penting untuk membangun shaf non-anarchist yang terhubung. Bagaimana keshalihan secara spiritual haruslah menjadi ekspresi-ekspresi kebaikan untuk ditampilkan di media digital.
Karena besar kemungkinan, mereka-mereka yang masih menyebarkan paham-paham kebencian, provokasi dan hoax bisa dikatakan kurangnya kesadaran beragama secara objektif. Sebagaimana agama secara fungsional untuk membawa rahmat cinta-kasih. Karena mereka menyebarkan sesuatu yang dilarang oleh agama. Menyebarkan sesuatu yang sangat bertentangan dengan agama. Sebagaimana agama mengecam praktik kerusakan dan pelanggaran kemanusiaan.
Karena media digital sejatinya bebas nilai yang siapa saja boleh menggunakannya. Kadang kala, mereka yang tidak dilatari oleh kesadaran agama yang baik, akan menciptakan keburukan di media digital. Membangun konsep keagamaan yang provokatif, kebencian dan permusuhan. Karena mereka hanya memanfaatkan agama untuk kepentingan dirinya.
Maka, dari sinilah kita sebetulnya perlu membangun semacam pola beragama di media sosial. Yaitu mengupayakan peran agama ke dalam aktivitas digital kita sebagai “ruh” etis di dalam ber-sosial media.
Dengan melahirkan ekspresi-ekspresi keagamaan yang lebih terbuka, berakhlak dan egalitarian. Lalu diwadahi di media digital sebagai “konten positif berbasis agama” yang bisa memberikan pencerahan dan motivasi untuk menangkal paham-paham yang berusaha untuk merusak dan memecah-belah NKRI.