Fareed Zakaria, kolumnis mingguan di Newsweek, dan pakar politik global, pernah mengatakan bahwa konflik di negara-negara Timur Tengah bukan dilatari oleh faktor perebutan sumber daya alamnya seperti banyak dikatakan oleh sejumlah pakar. Akar kekerasan dan konflik di Timur Tengah, kata Fareed Zakaria tidak lain adalah mewabahnya politik sektarian.
Pandangan Fareed ini didukung oleh fakta bahwa banyak juga negara yang tidak kaya dengan sumber daya alam, namun juga dikoyak oleh konflik. Musababnya adalah politik sektarian yang kadung mewabah. Sektarianisme beragama, kata Fareed adalah patologi (penyakit) sosial yang mendarah daging dalam tubuh umat Islam, utamanya di kawasan Arab yang memang punya tradisi panjang dalam kekerasan dan peperangan.
Lalu bagimana dalam konteks Indonesia? Secara sosiologis, Islam Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan Islam yang berkembang di Timur Tengah. Karakter masyarakat Nusantara pun berbeda dengan cultural DNA masyarakat Arab. Jika orang Arab dikenal doyan perang masyarakat Nusantara pra Islam dikenal sebagai komunitas damai yang produktif melahirkan seni, tradisi, dan budaya.
Artinya, secara sosiologis bangsa Indonesia seharusnya steril dari ancaman sektarianisme beragama. Namun, belakangan seiring dengan masifnya penyebaran ideologi transnasional yang membawa paham anti-kebangsaan seperti khilafah, daulah, dan sejenisnya, ancaman sektarianisme beragama itu perlahan mulai tampak di permukaan.
Ideologi Transnasional dan Mewabahnya Sektarianisme Beragama
Masifnya narasi konservatisme keaagamaan yang mewujud pada tren gaya hidup hijrah, jihad, Islam kaffah, Islam sunnah, Islam salafi, dan sebagainya, mendorong kian menguatnya sentimen sektarianisme beragama di tengah umat Islam.
Seperti kita lihat, belakangan ini begitu mudahnya seorang muslim menuduh individu atau kelompok yang tidak sama pandangannya dalam beragama sebagai bukan bagian dari Islam. Beda guru atau ustad dicap keluar dari manhaj. Beda kajian dilabeli ahli bid’ah. Bahkan, hanya karena beda model jilbab saja tidak dianggap saudara sesama muslimah. Mengerikan, bukan?
Hal paling berbahaya dari sektarianisme adalah munculnya sikap fanatik dan eksklusif. Di satu sisi, sektarianisme mendorong individu atau kelompok untuk bersikap arogan dengan mengklaim golongannya sebagai yang paling benar dan suci. Di sisi lain, sektarianisme juga mendorong lahirnya sikap pengucilan (exclude) terhadap kelompok yang berbeda.
Maka, bisa dibayangkan jika nalar sektarian ini menjangkiti kelompok mayoritas, bisa dipastikan kaum minoritas akan mendapatkan perlakukan diskriminatif, Intoleran, bahkan kekerasan. Dengan kata lain, sektarianisme beragama adalah bahaya laten yang mengancam kebangsaan kita. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kita mengatasi problem sektarianisme?
Dalam konteks Indonesia, kita sbenernya memiliki Pancasila yang bisa menjadi antidote alias penawar dari racun sektarianisme. Pancasila sebenarnya didesain oleh para pendiri bangsa untuk mencegah sektarianisme. Para pendiri bangsa di masa lalu sudah bisa memprediksi bahwa keanekaragaman suku, budaya, dan agama di Indonesia berpotensi menimbulkan problem sektarian di masa depan.
Sinergi Bersama Melawan Sektarianisme Beragama
Maka, Pancasila terutama sila pertama pada dasarnya didesain untuk mencegah sektarianisme muncul ke permukaan. Namun, ironisnya Pancasila kerap kali hanya berakhir menjadi sebuah wacana tanpa dipraktikkan secara konkret dalam kehidupan sosial politik kita.
Maka, membumikan prinsip Pancasila tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan menjadi hal yang mutlak harus dilakukan. Membumikan prinsip Pancasila tentu membutuhkan sinergi lintas sektor dan melibatkan seluruh elemen bangsa, mulai dari pemerintah, organisasi keagamaan, intelektual, media masa, dan masyarakat sipil secara umum.
Pemerintah sebagai otoritas tertinggi dalam kehidupan bernegara idealnya mampu membangun ekosistem beragama yang moderat. Pemerintah wajib memastikan tidak ada ruang bagi ideologi transnasional untuk berkembang di negeri ini.
Pemerintah juga wajib memastikan tidak ada regulasi yang memberikan keistimewaan pada kelompok agama tertentu, dan mendiskriminasi kelompok agama lain. Pendek kata, pemerintah wajin memastikan terwujudnya kebebasan beragama.
Para tokoh dan lembaga keagamaan idealnya berperan pro-aktif dalam membendung setiap narasi sektarian yang muncul. Para tokoh agama moderat harus mampu memproduksi narasi dan wacana keagamaan moderat sebagai counter terhadap narasi sektarianistik yang diproduksi oleh kaum konservatif radikal.
Begitu pula, kaum intelektual idealnya berperan aktif dalam menjernihkan kekeliruan yang kadung berkembang di masyarakat. Selama ini, sebagian umat kadung percaya bahwa konflik yang terjadi di negara muslim itu merupakan wujud perjuangan Islam melawan ketidakadilan. Padahal, yang terjadi kebanyakan adalah konflik sektarian (Sunni versus Syiah dan sebagainya). Kaum intelektual harus hadir untuk menjernihkan kekeliruan berpikir tersebut.
Terakhir, media massa harus berperan dalam menyebarkan pesan perdamaian dan narasi kebangsaan. Selama ini, banyak media massa yang justru abai pada kepentingan untuk menyabebarkan narasi damai. Dalam memberitakan tentang konflik sektarian Timur Tengah, acapkali media massa hanya fokus untuk mengeksploitasi kekerasan lalu abai bahasa pesan penting dalam jurnalisme konflik adalah menyebarkan pesan damai.