Ungkapan jika dia kelompok kami, maka dia temanku. Lalu, jika dia kelompokmu, apa dia tidak bisa berteman denganku? Rasanya, ungkapan itu akan menjadi momok bagi kebinekaan dan toleransi di Indonesia.
Era disrupsi ini membawa kita pada realitas baru tentang kelompok sosial. Kelompok sosial dalam pandangan George Hasen, sosiolog asal German ada empat, di antaranya kelompok tidak sosial, pseudo sosial, antisosial, dan pro-sosial. Empat kelompok itu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara hari ini.
Dalam memahami kebangsaan secara mendalam, penting kiranya kita memetakan seberapa efektif kelompok-kelompok sosial yang ada pada masyarakat Indonesia hari ini. Sebarapa berkualitas solidaritas kelompok tersebut untuk kepentingan yang lebih besar. Serta sejauh mana mereka mampu memberi manfaat pada bangsa, negara, dan dunia.
Kelompok tidak sosial pun di tengah era digital ini dipungkiri atau tidak semakin menjamur. Kelompok ini pun kerap diidentikkan dengan generasi zilenial, anak muda yang lahir tahun 2000-an. Mereka dianggap oleh psikolog sebagai gen-z, generasi yang rapuh, sebagian besar kurang bersosialisasi.
Sedangkan, kelompok tengah, kedua dan ketiga; pseudo sosial dan anti sosial ini seperti apakah? Pseudo sosial (sosial semu) ini kelompok yang semacam sosial tapi tak bersosial, pura-pura saja peduli tapi sejatinya dia mengambil manfaat untuk dirinya sendiri dari kepeduliannya. Gampangnya, pseudo sosial ini mereka orang yang menunggangi suatu kelompok untuk kepentingan pribadi.
Pseudo sosial ini sebuah gejala serius dalam kelompok pro-sosial. Mengapa demikian? Karena pada diri orang penganut sosialis semu ini menggerogoti solidaritas kelompok sosialis untuk mengail manfaat lebih untuk dirinya sendiri. Sosialis semu mereka orang yang mencari makan pada kelompok/organisasi. Maka, tak heran kalau ulama’ dulu telah berpesan untuk tidak mencari penghidupan pada organisasi.
Kalau Kiai Haji Wahab Hasbullah berpesan kapada warga NU; jangan mencari hidup di NU, tapi hidupilah NU. Sedangkan Kiai Haji Bisri Syansuri mengatakan serupa; jangan mencari makan di NU, nanti hidupmu akan lunglai. Ternyata, Kiai Ahmad Dahlan, pendiri organisasi kemasyarakatan (ormas) Muhammadiyah pun sama, Kiai Ahmad Dahlan juga pernah berpesan; jangan mencari hidup di Muhammadiyah.
Kedua ormas besar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah sedari dulu mewanti-wanti akan adanya kelompok sosialis semu, sok peduli NU atau Muhammadiyah, tapi ternyata mau cari makan di NU atau Muhammadiyah. Repot memang jika ada sebagian orang pada kelompok pro-sosial misalnya yang memiliki mental cari untung saja di organisasi. Mereka pasti tak akan loyal dan sungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan organisasi, apalagi kepentingan yang lebih besar.
Berbeda dengan kelompok anti-sosial, kelompok ini tidak berpura-pura peduli, tapi mereka melawan terhadap kelompok sosial yang lebih besar. Kelompok kecil yang melakukan perlawanan terhadap kelompok yang lebih besar. Mereka peduli terhadap kelompoknya yang kecil itu untuk membentengi diri atau membela diri dari kelompok sosial yang lebih besar.
Terakhir, Kelompok pro-sosial, kelompok ini memiliki solidaritas tinggi untuk kepentingan bersama. Solidaritas kelompo ini tak terbendung, mereka disatukan oleh nilai dan visi bersama. Kelompok ini sejatinya tidak melihat besar kecil jumlah anggotanya, tapi kelompok ini berpegang pada nilai dan tujuan bersama, yang disepakati dan dijalankan bersama.
Saya kira penting memahami sekte kelompok sosial ini terlebih dahulu sebelum kita membincang lebih terkait solidaritas semu. Solidaritas semu ini menjadi ancaman yang jika dibiarkan akan menjadi bom waktu, akan menikam solidaritas utama atau mutlak.
Memahami Solidaritas Semu
Solidaritas semu jika ditarik pada paparan sebelumnya ialah bagian dari sosialis semu. Kelompok yang seakan solid pada nilai dan tujuan bersama, tapi kekompakkan itu pamrih atau hanya diperuntukkan untuk mencari untung buat diri sendiri. Di lain sisi, mereka menyerang solidaritas utama.
Saya mencoba menganalisanya dari hal kecil yang mungkin pernah saya alami saat kuliah dulu. Dahulu, saya melihat aneka ragam organisasi, dari yang beraliran kiri sampai kanan. Pada isu Israel-Palestina. Semua dari aliran keagamaan kiri ke kanan bersepakat membelaa Palestina. Solidaritas terhadap Palestina yang dijajah Israel pun meraih suara besar dari beragam organisasi kemahasiswaan.
Akan tetapi, sebagian kelompok pada solidaritas bersama itu ada yang menciderai aksi kemanusiaan besar itu dengan membawa bendera khilafah, negara islam, dan semangat jihad yang salah kaprah. Hasil galang dana sebagian kelompok itu dipakai sebagai sarana menguatkan dakwah mereka memperjuangkan khilafah dan hendak menjadikan Indonesia sebagai negara islam.
Maksudnya pro palestina, tapi maunya macam-macam. Mereka, kelompak yang kami anggap sebatas solidaritas semu itu menjadikan isu Palestina untuk kempanye ideologi yang tidak dibenarkan di Indonesia, mereka pro Palestina tapi tidak mau menerima Pancasila. Saya kira itu lah contoh singkat solidaritas semu.
Ancam Kesatuan dan Bagaimana Negara-Ormas Bersikap
Solidaritas semu seperti kasus yang pernah penulis rasakan sangatlah mengganggu kebangsaan. Sosialis semu menyebarkan virus intoleransi dan permusuhan. Karena, solidaritas semu adalah aksi bersama yang ditunggangi kepentingan pribadi dan menyeleweng dari agenda sebelumnya.
Menyikapi hal itu, saya kira penting peran negara dan ormas. Negara dalam hal ini sebagai otoritas tertinggi mengelolah solidaritas bangsa. Jika negara mampu mengelola solidaritas bangsa dengan baik, maka solidaritas semu atau yang tak mau bersolidaritas, akan bisa dikondisikan dengan bijaksana.
Peran negara membentengi liarnya solidaritas semu itu pun akan terkontrol dengan sinergi bersama ormas. Saya yakin negara tidak bisa sendirian. Ormas terlebih keagamaan dengan nilai luhurnya mampu memoderasi kepentingan liar yang mengatasnamakan kebersamaan itu agar menjadi lebih baik. Lebih baik untuk kebangsaan dan keberagaman di Indonesia. Janganlah sampai solidaritas semu mengganggu perdamaian yang ada di negeri tercinta kita ini.