Melawan Terorisme Sejak dalam Pikiran

Melawan Terorisme Sejak dalam Pikiran

- in Narasi
602
1
Ilustrasi

Sejak dahulu hingga sekarang, terorisme memang telah menjadi masalah di berbagai negara. Tak pandang bulu, bahkan terorisme pun kerap juga muncul di negara-negara yang sudah ‘maju’ seperti Prancis, USA dan juga Australia seperti yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Ketakutan demi ketakutan kemudian tercipta dan menyebar luas, menyebabkan petinggi masing-masing negara kelabakan mencari cara tercepat supaya para penduduk tidak dikuasai oleh panik.

Fenomena ini unik, karena jika kita lebih teliti lagi para teroris sejatinya tak punya kekuatan karena mereka adalah kelompok minoritas yang sumber dayanya pun tak memadai. Mereka pun sebenarnya sadar kalau mereka tak memiliki banyak peluang untuk menduduki sebuah negara seperti Prancis atau Australia.

Para teroris ini bisa kita analogikan dengan lalat yang ingin menghancurkan sebuah toko cina yang besar. Tapi mereka tak punya kekuatan untuk menggerakkan satu piring kecil pun di toko itu. Mereka kemudian mendengung-dengung ke telinga Banteng yang akhirnya mengejar dengan marah hingga masuk ke toko cina dan memporak-porandakannya. Seperti itulah cara lalat-lalat menghancurkan sebuah toko cina. Dan kurang lebih, seperti itu pula alur dari tindakan terorisme.

Kita bisa melihatnya dalam peristiwa 11/9 yang dikabarkan didalangi oleh segelintir ekstremis. Kita tentu tau bahwa ekstremis di dalam Islam jumlahnya sangat sedikit dan mereka pun dibenci oleh kebanyakan orang Islam yang moderat. Keekstreman ideologi dan tekanan yang diberikan kepada kaum ekstremis itulah yang kemudian membuahkan peristiwa 11/9. Lalu, mari kita lihat pihak manakah yang kemudian dipandang salah? apakah kaum minoritas ekstremis seorang saja? tentunya tidak. Hasil dari 11/9 bukan hanya melahirkan kebencian terhadap kelompok ekstremis tertentu, namun juga berdampak kepada Islam secara keseluruhan [munculnya Islamophobia].

Kita sulit mencegah terjadinya kasus teror seperti itu karena kemunculannya memang tak terduga. Namun kita masih memiliki harapan untuk mencegah anak-anak muda agar tak lagi tertarik untuk mengikuti organisasi teror ataupun menjadi pengikut aliran ektrem. Beberapa orang mulai bertanya-tanya tentang apa sebenarnya faktor yang memunculkan ketertarikan terhadap faham ekstrem. Ada yang mengatakan bahwa faktor kurangnya pendidikan adalah salah satu pemicu utama orang-orang tertarik untuk masuk ke dalam jaringan teroris. Namun, bila benar begitu lalu mengapa banyak anak muda yang berasal dari perguruan tinggi ternama justru dengan mudahnya tergiur untuk masuk organisasi radikal?

Menurut saya, tinggi rendahnya pendidikan seseorang tak bisa menjadi jaminan seseorang itu tak bisa terpapar faham radikal. Justru, banyak anak muda yang tertarik dengan faham radikal saat masa perkuliahan bahkan mengaplikasikan ilmu yang didapatnya dari kuliah untuk mendukung gerakan terornya. Misalnya saja, teroris yang mengaplikasikan ilmu kimia yang dipelajarinya untuk merakit peledak atau mahasiswa teknik yang justu mengarahkan kemampuannya untuk merakit bom waktu.

Baca juga :Deradikalisasi: Memahami Relasi Thoughtlessness dan Kekerasan

Bila sudah seperti itu, lantas apa yang sekiranya kita bisa lakukan untuk menyelamatkan dan mencegah para pemuda supaya tidak tertarik dengan organisasi teroris?. Eddy Prayitno seorang mantan aktivis NII pada seminar USICON tanggal 17 Oktober 2019 lalu mengatakan bahwa salah satu penyebab beliau bisa tersadar dan kemudian memutuskan keluar dari organisasi terlarang tersebut adalah karena dia membaca banyak buku-buku filosof Islam seperti Suhrawardi, Ibn Zakariyya Ar-Razi, dan pemikir Islam seperti Seyyed Hosein Nasr.

Penambahan input bacaan dari berbagai sudut pandang tersebut kemudian yang daya kritisnya meningkat sehingga menyadari bahwa ada sesuatu yang salah mengenai organisasi yang tujuannya untuk mendirikan negara Islam ini. Kemudian, karena menyadari hal itu ia pun berusaha untuk menyampaikan argumen baru kepada kawan-kawan lainnya dengan harapan mereka pun bisa ikut tersadarkan. Tentunya langkah itu tidaklah mudah, namun karena memang sudah yakin bahwa Negara Islam Indonesia sudah melangkah di jalan yang salah. Segala cara pun dilakukan supaya dia bisa keluar dari organisasi itu.

Berdasarkan pengalaman Eddy, kemudian perlu disadari bahwa ternyata belajar filsafat itu bisa berguna juga untuk menghindarkan diri kita dari fanatisme. Sebab di filsafat, seringkali kita dibentrokkan oleh argumen-argumen lawan dan hal itu mengajak kita untuk berfikir kembali dan mengintrospeksi teori yang kita bawa.

Berani dan banyak membaca seperti yang dilakukan oleh Eddy Prayitno memang merupakan langkah yang tepat dan jauh lebih efektif daripada penjara. Karena melalui filsafat, ideologi seseorang bisa ditantang hingga ke argumen yang paling mendasar. Bila itu memang telah terbukti efektif, agaknya mulai perlu juga bagi kita semua untuk memikirkan sebuah kurikulum pendidikan yang baru dengan menyertakan filsafat di dalamnya supaya generasi masa depan kita bisa sulit untuk tertarik dengan fanatisme buta karena sudah menerapkan critical thinking di dalam dirinya.

Facebook Comments