Radikalisme, Bela Agama, dan Sakralisasi Kekerasan

Radikalisme, Bela Agama, dan Sakralisasi Kekerasan

- in Narasi
531
0
Ilustrasi

Pertanyaan yang sering diajukan pada agama adalah: Mengapa dalam agama banyak ditemukan tindakan kekerasan (violence)? Atau mengapa banyak aksi teror yang dilakukan atas nama agama? Bukankah agama itu menyebar kedamaian, rasa nyaman, dan pembebasan?

Agama memang mempunyai dua sisi yang kontradiksi. Ia penuh kedamaian, kenyamanan, dan keamanan (sisi positif) dalam satu sisi, akan tetapi di sisi yang lain, terror, pertumpahan darah, perang, pembunuhan (sisi negatif), merupakan hal yang mudah kita temui. Kontradiksi ini bukan sesuatu yang aneh. Homo Sapiens, kata Yuval Noah Harari, memang penuh dengan kontradiksi. Tinggal bagaimana kita mengontrol, me-manage,dan menyikapinya. Dunia ini adalah ajang kontestasi antara nilai positif dan nilai negatif. Kontestasi itu selalu ada dan tak mungkin hilang.

Letak masalahnya kemudian, ketika kaum radikalis mengambil sisi negatif dari agama, menonjolkannya dan mengklaim bahwa itulah wajah sejati dari agama. Akibatnya, agama tidak lagi fungsional sebagai petunjuk dan pembebas bagi manusia, justru sebaliknya, agama menjadi duri, penyakit, racun, yang membuat kehidupan manusia suram.

Penyebab banyaknya aksi terror dan segala turunannya yang dilakukan oleh kaum radikalis tidak lepas dari paradigma yang mereka anut. Paradigma itu adalah agama untuk Tuhan. Inilah kambing hitam, mengapa agama tidak fungsional lagi bagi manusia. Inilah salah satu akar dari Radikalisme.

Agama dan Kekerasan

Konsekuensi dari paradigma ini adalah apapun yang dianggap sebagai penodaan, penistaan, dan penghinaan terhadap agama, maka ia dianggap penodaan, penistaan, dan penghinaan terhadap Tuhan. Jika demikian, manusia wajib membelanya. Sebab membela agama sama dengan membela Tuhan.

Tak syak lagi, pikiran Tuhan pun disesuaikan dengan pikiran tokoh agamanya. Jika pemuka agamanya sudah menyebut itu penistaan, maka otomatis itu adalah penistaan. Kehendak Tuhan dibajak oleh para agamawan. Agamawan-lah tolak ukurnya. Inilah persis yang dikritik oleh Khalid Abou el-Fadl, yakni terjadinya otoritarianisme, ketika manusia menafsirkan kehendak Tuhan, sSeolah-olah penafsiran manusia itulah persis sama dengan kemauan Tuhan.

Dalam merealisasikan bela agama itu dilakukan dengan cara kekerasan. Pembunuhan, pengeboman, perang, dan perusakan fasilitas umum yang awalnya itu haram menurut agama, menjadi halal atas nama bela agama. Dalam konteks inilah terjadi apa yang disebut dengan istilah sakralisasi kekerasan.

Kekerasan bukan lagi hina, tetapi mulia. Pembunuhan bukan lagi dikutuk, melainkan diunjuk. Pengeboman tidak lagi dianggap perbuatan kejahatan kemanusiaan, justru dinilai sebagai tindakan bermoral. Kekerasan itu merasuki ke dalam sikap, perilaku, dan tindakan. Segala caci-maki, hoax, fitnah, dan ujaran kebencian menjadi absah demi atas nama membela agama.

Baca juga :Radikalisme, Ruang Publik Virtual dan Narasi Keberagamaan Inklusif

Tidak ada yang paling berbahaya dari radikalisme selain dari sakralisasi kekerasan. Demi memperjuangkan visi, kekerasan itu legal. Demi mewujudkan impian, kekerasan itu halal. Demi memberangus musuh-musuh agama, kekerasan itu sah dilaksanakan. Paradigma agama untuk Tuhan melahirkan aksi bela agama yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan (sakralisasi kekerasan).

Kemanusiaan dan Nir-Kekerasan

Paradigma agama untuk Tuhan sebagai akar dari radikalisme perlu digeser kepada paradigma agama untuk manusia. Dari awal, Nabi –bahkan Al-Quran secara eksplisit sudah menyatakan –bahwa agama itu untuk kamu (manusia).Paradigma ini akan melahirkan dua sikap sekaligus, yakni kedamaian dan semangat nir-kekerasan.

Paradigma agama untuk manusia menunjukkan bahwa segala macam hal yang berkaitan dengan agama pada hakikatnya itu ditujukan untuk kemaslahatan manusia. Kemanusiaan menjadi tolak ukur keagamaan. Setiap hal yang merusak dan menghancurkan kemanusiaan: membunuh, menebar terror, pertumpahan darah, hoax, ujaran kebencian –bertolak belakang dengan semangat agama. Dan itu harus dilawan.

Sebagian ahli menyatakan, puncak dari agama itu adalah kemanusiaan. Maka segala hal yang membuat manusia damai, aman, sejahtera, harus menjadi tujuan (goal) dalam beragama. Beragama sejatinya mewujudkan nilai-nilai perdamaian.

Dengan cara apa nilai perdamaian itu diimplementasikan? Jawabannya dengan semangat nir-kekerasan. Tujuan utama agama sejatinya adalah nir-kekerasan. Logika agama selalu menunjukkan semangat nir-kekerasan. Puasa, zakat, haji, sedekah, semuanya untuk melatih hidup manusia lebih welas asih, lebih peka, dan tentu untuk melatih tanggungjawab sosial. Kurban merupakan sebagai iktibar bahwa penyembelihan itu untuk memberikan kehidupan kepada manusia. Daging dari hewan itu bisa dimanfaatkan para pihak yang berhak untuk menyambung dan mempertahankan hidup mereka. Kisas bertujuan untuk mewujudkan kehidupan yang nyaman dan damai. Semua tujuan dari ajaran agama pada hakikatnya mengandung semangat nir-kekerasan, yakni mewujudkan perdamaian di muka bumi.

Nir-kekerasan yang diajarkan oleh agama bisa diparaktek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, kita bisa meminjam argumen utama Chaiwat Santha-Anad (2015), bahwa nir-kekerasan merupakan senjata yang ampuh dalam perubahan sosial.

Perlawanan dengan nir-kekerasan jauh lebih efektif ketimbang dengan kekerasan. Senjata nir-kekerasan yang diajarkan oleh agama adalah memberikan kehidupan kepada orang lain. Menyayangi, mengasihi, dan memberikan kegembiraan kepada orang lain.

Tidak memfitnah, tidak merusak martabat, tidak menyebar hoax dan ujaran kebencian kepada orang lain termasuk memberikan kehidupan kepada orang lain. Memberi kedamaian, cinta-kasih, keadilan, dan rasa tenggang rasa kepada manusia merupakan usaha untuk memberikan kehidupan kepada liyan.

Semangat nir-kekerasan yang ada dalam agama harus tidak berhenti hanya sekadar berhenti pada teks agama saja, melainkan harus masuk pada tujuan agama, yakni kata, sikap, tindakan, dan perilaku kita harus sekuat tenaga diupayakan sebagai bentuk memelihara dan merawat kehidupan. Agama melahirkan nir-kekerasan. Nir-kekerasan melahirkan kehidupan.

Facebook Comments