Islam merupakan sebuah ajaran yang begitu kompleks. Berjalannya waktu, ajaran yang begitu sempurna semakin memudar. Dan beberapa orang yang menganggap dirinya penganut Islam yang taat, tidak memperlihatkan ajaran Islam itu seperti apa, melainkan memperburuk Islam sendiri.
Salah satu yang nampak memudar dalam diri seorang muslim kini adalah hilangnya sifat pemaaf terhadap lingkungan sekitar. Kita lihat bagaimana gelombang jilid demo yang mengatasnamakan Islam kemudian menuntut satu orang. Atau orang yang dibakar hidup-hidup setelah keluar masjid yang dituduh mencuri. Kejadian ini merupakan salah dua dari ribuan cerita yang memperlihatkan Islam hilangnya rasa pemaaf dan memaafkan.
Menelisik lebih jauh dalam diri ajaran Islam, maka kita akan menemukan banyak ajaran bagaimana rasa maaf harus dibangun. Seperti kejadian antara Rasulullah Saw. dan Ibn Ubayy. Di mana Ibn Ubayy merupakan seorang yang sangat benci dengan Rasulullah Saw.
Ibn Ubayy tidak pernah tenang, hatinya selalu gelisah, terbawa oleh rasa dengki kepada Rasulullah Saw. dan para sahabat. Demi menjalankan misinya, ia rela pura-pura masuk Islam, bahkan sebagai orang beriman, meskipun masih gigih ia membantah berita yang bersumber dari dia ditujukan kepada Rasulullah Saw. di Muraisi’ itu.
Pada waktu itu, Surat Munafiqin ini, kurang lebih ayat yang merekam kejadian tersebut, “Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar): ‘Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada disisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah).’ Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami”
Dengan demikian lalu ada orang-orang mengira bahwa ayat ini merupakan hukuman terhadap Abdullah bin Ubayy, dan Rasulullah Saw. pasti akan memerintahkan supaya ia dibunuh. Ketika itu Ubayy, yang sudah seorang muslim yang baik, datanglah seorang sahabat mengatakan, “Rasulullah Saw., saya mendengar tuan ingin supaya Ubayy itu dibunuh. Kalau memang begitu, tugaskanlah pekerjaan itu kepada saya. Akan saya bawakan kepalanya kepada tuan. Tentu akan saya bunuh dia dan berarti saya membunuh orang beriman yang membunuh orang kafir.”
Rasulullah Saw. menginginkan orang-orang yang membelot dan masih memeluk Islam, agar tidak disakiti dan agar mereka selalu untuk diajak dalam kebaikan. Sebab persaudaraan merupakan kunci utama antar umat muslim, tatkala di dalam Islam mulai terbelah-belah, maka kekuatan Islam semakin terbelah. Untuk menghindari tersebut, Rasulullah Saw. mengajak kepada umat manusia agar menjaga persaudaraan.
Toleransi yang diberikan Rasulullah Saw. kepada Ubayy tidak dihargai, bahkan ia tidak segan melakukan keburukan berupa memfitnah kepada Rasulullah Saw. dan para sahabat. Tepatnya setelah pertempuran usai dan dalam perjalanan kembali ke Madinah, Abdullah bin Ubay berkata pada kelompoknya, “Jika kita kembali ke Madinah, orang-orang yang terhormat akan mengusir orang-orang yang terhina.”
Ucapan “terhina” ini dimaksudkan pada Rasulullah Saw. dan sahabat Muhajirin yang terusir dari Makkah. Ketika kabar ini sampai kepada Rasulullah Saw. lewat sahabat Zaid bin Arqam, Umar bin Khaththab meminta beliau menyuruh Abbad bin Bisyr untuk membunuh tokoh munafik tersebut. Tetapi Abdullah bin Ubay mengingkari kalau telah mengatakan itu, sehingga terjadi suasana yang tegang dan penuh prasangka, sampai akhirnya turun Ayat yang membenarkan Zaid bin Arqam.
Dalam beberapa versi disebutkan Umar bin Khattab mengatakan, “Ya Rasulullah kupenggal saja orang yang mengatakan ‘Akan kukeluarkan orang hina itu (orang mukmin) dari Madinah.”
“Tidak wahai Umar. Nanti apa kata orang bahwa Muhammad membunuh sahabatnya. Demi Allah tidak.” Saut Rasulullah Saw. Dan kabar itu sampai ke telinga Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul.
Abdullah bin Abdullah mendengar selentingan dari orang Madinah “Tunggu saja nanti Abdullah bin Ubay itu akan dipenggal oleh Nabi.” Menghadaplah Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul. kepada Rasulullah Saw., “Ya Rasulullah aku mendengar kabar engkau hendak membunuh ayahku. Benarkah demikian?”
“Tetapi jika engkau memang ingin membunuh ayahku ya Rasulullah. Utus aku, utus aku sendiri. Betapapun aku mencintai ayahku. Tapi Allah dan Rasul-Nya lebih layak aku cintai daripada ayahku sendiri” Hati Rasulullah Saw. jatuh mendengar permintaan yang menyedihkan itu. Mendengar pernyataan itu, Rasulullah Saw. tidak langsung menjawab. Beliau berpikir dan selang beberapa lama, beliau berkata, “Kita tidak akan membunuhnya. Bahkan kita harus berlaku baik kepadanya, harus menemaninya baik-baik selama dia masih bersama dengan kita.”
Apa yang dilakukan Rasulullah Saw. merupakan pembuktian kekuatan cinta kepada Allah Swt. Cinta tersebut membuat diri ini tertarik untuk duduk bersama orang-orang yang beda di tengah reruntuhan. Bersama orang-orang yang senantiasa merenungi dan sadar betul bahwa alam semesta ini tak lebih dari karnaval kefanaan.