Gen Z punya beban sejarah yang unik. Mereka mewarisi Indonesia, sebuah proyek peradaban yang dibangun di atas fondasi toleransi, gotong royong, dan dialog. Sejak awal, para pendiri bangsa dan ulama kita sadar bahwa Islam di Nusantara harus lentur, akomodatif, dan tidak kaku. Mereka menanamkan benih Islam moderat yang berdialog dengan budaya lokal sekaligus modernitas, dan benih itu kini tumbuh menjadi pohon rindang yang kita nikmati hari ini.
Namun, dunia yang diwariskan kepada Gen Z jauh berbeda. Medan perangnya bukan lagi ruang publik fisik, melainkan ruang digital. Hidup mereka terbungkus gawai sejak kecil, dan media sosial bukan sekadar alat, melainkan ruang eksistensi, pembentukan identitas, bahkan arena pertarungan ideologi. Di sinilah tantangan terbesarnya.
Gen Z tidak berjuang di medan pertempuran fisik seperti pendahulunya. Pertempuran mereka ada di layar gawai, di mana algoritma menjadi panglima tertinggi. Media sosial bagi mereka bukan sekadar alat, melainkan ruang eksistensi. Di Instagram, TikTok, atau X, identitas dibentuk, ideologi dipertukarkan, dan yang paling berbahaya, polarisasi dipupuk.
Ini adalah jebakan paling berbahaya di era ini: ruang gema, yang memang adalah pisau bermata dua. Algoritma dengan cerdasnya menyajikan konten yang kita sukai, memvalidasi keyakinan kita, dan perlahan menutup akses pada pandangan lain. Dalam konteks keagamaan, ini bisa berakibat fatal. Narasi-narasi ekstrem, intoleran, dan kaku yang dikemas apik dalam video 15 detik bisa dengan mudah viral, mengalahkan argumen akademis yang butuh penjelasan panjang.
Di sisi lain, potensi dakwah di ruang digital juga tak kalah masif. Gen Z memiliki kreativitas tak terbatas untuk mengemas pesan-pesan keagamaan yang segar dan relevan. Mereka bisa mengubah kajian menjadi podcast yang enak didengar, khutbah menjadi video pendek yang menyentuh, bahkan perdebatan teologis menjadi thread edukatif yang mudah dicerna. Namun, tantangannya adalah: mana yang akan lebih dominan? Konten dakwah yang menyejukkan atau narasi polarisasi yang memecah belah?
Islam moderat di Indonesia bukanlah teori, melainkan praktik sejarah. Ia tumbuh dan berkembang melalui proses akulturasi yang panjang. Di tangan para ulama, Islam hadir dengan semangat rahmat bagi seluruh alam. Mereka mengajarkan keseimbangan antara teks dan konteks, akidah dan akhlak. Kini, estafet itu ada di pundak Gen Z. Mereka bukan hanya penerima warisan pasif, melainkan aktor aktif yang menentukan arah Islam Indonesia di masa depan.
Dalam perspektif antropologi digital, media sosial kini telah menjadi majelis virtual. Dakwah tidak lagi terbatas di mimbar atau majelis taklim tradisional, melainkan menyebar di lini masa. Gen Z memiliki keunggulan alami: mereka fasih dengan bahasa digital. Jika ulama abad ke-20 menggunakan pena dan percetakan sebagai medium dakwah, maka Gen Z kini punya desain grafis, video, hingga meme. Tugas mereka bukan sekadar mempertahankan Islam moderat, tapi juga mengemasnya dengan bahasa digital yang menarik, visual, dan relevan.
Namun, di balik peluang, ancaman selalu mengintai. Polarisasi identitas, ujaran kebencian, bahkan rekrutmen radikal melalui dunia maya adalah fakta yang tak bisa kita abaikan. Studi global menunjukkan, algoritma media sosial justru cenderung menguatkan perbedaan, alih-alih mendekatkan. Jika dibiarkan, ini bisa memicu perpecahan, saling mengkafirkan, hingga kekerasan atas nama agama. Modal sosial berupa tradisi gotong royong dan moderasi yang selama ini menjadi ciri khas Indonesia bisa terkikis oleh narasi asing yang tidak sesuai dengan karakter Nusantara.
Ironisnya, Gen Z juga memiliki peluang emas untuk menunjukkan wajah Islam Indonesia ke dunia. Dengan kemampuan bahasa global, kreativitas visual, dan jejaring digital yang meluas, mereka dapat memperkenalkan Islam yang damai dan toleran. Ini bukan sekadar adaptasi teknis, melainkan bagian dari misi peradaban
Sejarah membuktikan bahwa Islam di Indonesia selalu berhasil beradaptasi dengan perubahan zaman, dari era kolonial hingga reformasi. Kini, tantangan bergeser ke ranah digital. Gen Z memegang kunci apakah Islam moderat tetap menjadi wajah utama Indonesia, atau tergantikan oleh narasi ekstremis yang bising dan agresif.
Yang dibutuhkan bukan hanya keahlian bermedia sosial, melainkan juga kedalaman intelektual, keluasan wawasan budaya, dan, yang terpenting, keteguhan moral. Tanpa itu, mereka akan mudah tersesat di labirin digital yang penuh godaan. Jika Gen Z berhasil menjaga semangat toleransi ini, Indonesia berpotensi tampil sebagai model Islam moderat abad ke-21 dengan para digital native ini sebagai motor penggeraknya. Di tangan merekalah, masa depan peradaban kita dipertaruhkan.