Tanggal 18 Juni diperingati sebagai Hari Melawan Ujaran Kebencian Internasional. Peringatan ini merujuk pada resolusi PBB tahun 2019. Resolusi ini dikeluarkan untuk merespons maraknya provokasi kebencian di ruang digital yang berpotensi menimbulkan konflik dan kekerasan di tengah masyarakat.
Internet kebencian adalah segala jenis ungkapan verbal maupun non-verbal yang bertendensi merendahkan martabat manusia berdasar identitas SARA. Lantas, apa makna peringatan Hari Melawan Ujaran Kebencian Internasional di tengah panasnya konflik Timur Tengah, terutama antara Iran dan Israel yang masuk dalam pusaran isu Palestina?
Setiap konflik yang terjadi di negara lain, rawan menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat dunia. Dukung mendukung, kubu-kubuan itu sudah menjadi hal yang niscaya. Demikian pula dalam konteks konflik Iran dan Israel. Pendukung kedua negara sama besarnya di media sosial. Alhasil, medsos pun menjadi arena perang opini dan narasi yang tidak terbendung.
Masing-masing kubu pendukung berusaha membangun opini dan narasi untuk mendeskreditkan lawan. Pendukung Israel menuding Iran menyerang warga sipil. Sebaliknya pendukung Iran menuding Israel memainkan startegi playing victim. Merasa seolah paling menjadi korban, padahal sejatinya adalah pelaku utama kekerasan.
Di tengah sengitnya perang narasi itu, fenomena ujaran kebencian pun tidak dapat dihindarkan. Di satu sisi, muncul narasi anti semitisme dari kalangan Islam. Antisemitisme adalan sentimen kebencian terhadap komunitas Yahudi. Siapa pun yang beragama atau keturunan Yahudi dicap sebagai musuh yang layak dienyahkan. Jangan lupa, sentimen antisemitisme ini juga melatari munculnya genosida warga Yahudi Eropa oleh Nazi Jerman.
Di sisi lain, muncul pula seruan Islamofobia dan anti-Islam di tengah serangan Iran terhadap Israel. Banyak tudingan yang menyebut serangan Iran adalah bentuk terorisme yang menyasar warga sipil.
Baik islamofobia maupun antisemitisme, merupakan pandangan yang tidak seharusnya kita toleransi dan disikapi secara permisif. Kebencian terhadap kelompok lain yang didasarkan atas identitas agama, bangsa, atau etnis hanya akan melahirkan perpecahan bahkan kekerasan. Kebencian dijadikan dasar legitimasi untuk melakukan tindakan kekerasan dan peperangan.
Dalam konteks Indonesia, ujaran kebencian menjadi problem dan tantangan kebangsaan baru. Ujaran kebencian yang dilatari isu politik dan agama menjadi momok yang mengancam keutuhan bangsa saat ini. Dalam satu dekade terakhir, ujaran kebencian telah menjadi salah satu ancaman bagi integritas bangsa.
Terkait gejolak Timur Tengah misalnya, ujaran kebencian banyak menyasar ke kalangan agama minoritas, terutama Kristen yang kerap dituding ikut membela Israel. Padahal, tidak semua umat tokoh dan umat agama Kristen mendukung Israel. Lebih banyak tokoh dan umat agama Kristen yang menyatakan solidaritasnya pada Palestina.
Paus Fransiskus misalnya, saat masih hidup rajin menelpon uskup di Gaza untuk menyatakan solidaritasnya terhadap penderitaan masyarakat di sana. Di Indonesia, seorang pendeta bernama Shepard Supit dikenal aktif menyuarakan perjuangan atas kemerdekaan Palestina.
Ia sering datang ke acara yang digelar umat Islam untuk bersolidaritas terhadap warga Palestina. Sayangnya, fakta ini kerap luput diperhatikan. Alhasil, sebagian kalangan kerap menggeneralisasi semua umat Kristen sebagai pendukung zionisme Israel. Konsekuensinya, ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas ini pun menjadi tidak terhindarkan.
Dalam resolusi PBB tentang melawan ujaran kebencian, ada poin tentang pentingnya tokoh agama terlibat dalam gerakan melawan ujaran kebencian. Mengapa tokoh agama menjadi penting.
Di satu sisi, tokoh agama memiliki kekuatan sosial dan kultural untuk memobilisasi pandangan umat beragama terhadap kelompok agama lain. Modal ini kiranya dipakai untuk melawan ujaran kebencian yang berkembang di tengah umat beragama.
Kedua, ujaran kebencian selama ini memang lebih banyak dilatari oleh faktor keagamaan. Isu keagamaan selama ini menjadi faktor pemicu utama merebaknya ujaran kebencian. Dibanding isu ras atau etnis, isu keagamaan memang cenderung lebih dominan memantik merebaknya ujaran kebencian.
Dalam konteks isu konflik Timur Tengah, peran tokoh agama dalam meredam ujaran kebencian sangatlah strategis. Selama ini, pars tokoh agama menjadi salah satu corong informasi terkait apa yang terjadi di Timur Tengah.
Harus diakui, umat Islam Indonesia lebih banyak mendengarkan pendapat para tokoh agama, ketimbang ahli kajian Timur Tengah. Sayangnya, masih banyak pandangan tokoh agama tentang Timur Tengah yang mengandung misinformasi sehingga kerap menyesatkan umat. Tidak hanya itu, lebih parahnya lagi banyak tokoh agama yang menyebar ujaran kebencian terhadap pemeluk agama lain dengan membonceng isu Timur Tengah.
Peringatan Hari Melawan Ujaran Kebencian kiranya menjadi momentum penting untuk melawan sentimen kebencian terhadap kelompok agama minoritas yang muncul di tengah panasnya konflik Timur Tengah. Para tokoh agama harus mengambil peran untuk melawan ujaran kebencian yang membonceng isu Timur Tengah.