“Inti ibadah haji adalah wukuf di Arafah . “al Haj ‘Arafah,“ demikian sabda Nabi saw. Wuquf berarti “berhenti“ walau sejenak. Dari segi pandangan hukum Islam, siapa yang berhenti walau sejenak di Padang Arafah setelah tergelincirnya matahari 9 Dzulhijjah, maka wukufnya dapat dinilai shahih, walau yang dituntut oleh hukum Islam demi kesempurnaan wukuf adalah keberadaan di tempat ini walau sesaat sebelum matahari terbenam sampai dengan walau sesaat sesudah terbenamnya. Mengapa walau sesaat, karena sesaat atau sedikit dapat menghasilkan atau mengakibatkan banyak dan langgeng jika itu diberkati atau dikehendaki Allah,” (Quraish Shihab, 2015).
Rasulullah saw. berpesan: “Ada saat–saat dalam perjalanan masa ini di mana Allah menganugerahkan aneka anugerah, maka berusahalah menemukan saat-saat itu.”
Salah satu saat itu yaitu wukuf di Arafah. Sebab itu, kita maknai apa yang dikemukakan KH. Quraish Shihab, bahwa wukuf telah sah walau sejenak, karena sejenak pada saat datangnya anugerah Allah itu–bila kita memanfaatkannya dengan baik–sudah cukup untuk memperkuat kerukunan bangsa menjadi jauh lebih baik.
Mempelajari Kasus Saracen
Momentum wukuf, Allah menyiapkan situasi dan kondisi yang dapat mengantar pikiran dan jiwa agar lebih terarah kepada pencapaian kesempurnaan insan sebagai makhluk dwi dimensi; Makhluk yang diciptakan Allah dari debu tanah dan Ruh Ilahi, tapi bukan untuk menetap di dunia, melainkan membangunnya guna mengekalkan kita di akhirat.
Padang pasir yang terbentang luas di mana berkumpul sekian banyak manusia dengan aneka suku, bangsa, latar belakang kedudukan sosial dan taraf hidup, mengantar yang berhaji menyadari tentang “Padang Mahsyar” di mana semua manusia akan berkumpul di hadapan Allah di hari kiamat itu. Selain itu, dapat dipahami manusia memiliki derajat kedudukan yang sama di sisi Allah.
Bagi yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji, cobalah “berwukuf“, yakni menghentikan segala aktivitas walau sejenak dari hiruk-pikuk kesibukan. Tenangkan jiwa, merenunglah untuk membaca permasalahan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Contohnya, membaca terungkapnya kasus Saracen baru-baru ini.
Dari pemberitaan terkini Detik.com (28/08/2017), CV Jadi Jaya awalnya bergerak di bidang penyaluran guru. Namun, lewat usaha itu, mereka juga melayani jasa pembentukan opini via medsos. Selembar surat berkop surat CV Jadi Jaya, yang beralamat di Jalan Kasah, Marpoyan Damai, Pekanbaru, Riau, kini jadi barang bukti Direktorat Tindak Pidana Kejahatan Siber Bareskrim Polri. Surat itu berisi proposal dana kampanye pilkada via media sosial (medsos), baik Facebook maupun Twitter. Di proposal itu tercantum juga besaran biayanya.
Saracen menggunakan konten gambar meme yang sedang populer di kalangan masyarakat, khususnya kaum muda, yang rata-rata berusia 16-25 tahun. Meme ini digunakan sebagai propaganda untuk menyebarkan isu-isu SARA dan ujaran kebencian (hate speech), yang dikhawatirkan akan memperkeruh suasana di Indonesia.
Cukup jelas kasus kelompok Saracen ini motifnya ekonomi dengan cara menyebarkan isu-isu SARA demi memperoleh keuntungan. Para komplotan pembentuk opini di Saracen ini memang sengaja mengusik kerukunan bangsa Indonesia yang beragam. Oleh karena itu, Saracen adalah musuh kita bersama. Marilah kita perangi Saracen dengan cerdas dalam membaca isu-isu SARA yang beredar di media sosial.
Idul Adha Perkuat Kerukunan
01 September 2017 yang bertetapan dengan 10 Dzulhijjah 1438 Hijriah adalah hari Raya Idul Adha. Hari yang dijadikan Allah untuk mendorong manusia kepada persatuan dengan menyuruh umatnya saling santun menyantuni yang dha’if dan kurang mampu; yang kaya menyantuni yang fakir miskin demi menanamkan perasaan kasih sayang diantara sesama manusia.
Sebab, hanya dengan kasih sayanglah, persatuan akan terwujud dan dengan persatuan itu kita bisa meningkatkan taraf hidup manusia secara lahir dan batin. Peningkatan itulah yang kita namakan sekarang dengan istilah “Pembangunan Materiil dan Mental Spiritual” di mana dengan pembangunan akan membawa kemakmuran yang adil dan keadilan yang makmur.
Akan tetapi, Idul Adha seyogianya dipahami sebagai perlambang untuk apa yang seharusnya kerjakan di hari-hari yang lain. Maksudnya adalah tidak cukup bagi orang kaya hanya dengan menyembelih beberapa ekor ternak pada hari raya kurban, kemudian merasa bebas untuk tidak menyantuni fakir miskin di hari-hari berikutnya.
Idul Adha yang dikenal sebagai hari yang besar dan mulia ini, telah dimuliakan oleh Allah swt. sebagai hari sosial, hari perlambang untuk seluruh tahun, agar manusia berjiwa dan berbuat sosial. Marilah kita pelihara jiwa yang hidup dari pengaruh dari kelompok-kelompok Saracen dengan memupuk rasa saling mencintai antar sesama demi terwujudnya cita-cita bangsa. Insya Allah, dengan cara demikian, akan tercapai kerukunan, persatuan dan pembangunan yang kita cita-citakan.