Membangun Koalisi Negara dan Masyarakat Sipil untuk Mencegah “Soft-Anarchy”

Membangun Koalisi Negara dan Masyarakat Sipil untuk Mencegah “Soft-Anarchy”

- in Narasi
1155
0

Kontroversi Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja membuat suasana nasional menghangat. Di sejumlah daerah, aksi demonstrasi diwarnai bentrokan mahasiswa dan aparat keamanan serta perusakan fasilitas umum. Barangkali tidak ada satu pun negara yang bisa memprediksi kapan dan dimana kekacauan sosial muncul, lantaran hanya para pembuat skenario kerusuhan itu sendiri yang tahu. Namun, demikian negara tentu bisa mengantisipasi gejala penanda awal pecahnya kekacauan sosial. Jangan sampai, gelombang protes massa itu bertransformasi menjadi ajang unjuk kekerasan jalanan yang berpotensi menimbulkan efek destruktif yang lebih besar.

Mengekspresikan ketidaksetujua pada pemerintah ialah hak warganegara. Dalam demokrasi, demonstrasi merupakan media penyampai aspirasi yang dijamin konstitusi. Demikian pula di Indonesia, dimana demonstrasi menjadi sarana komunikasi untuk merespons isu yang tengah berkembang di masyarakat. Meski demikian, demonstrasi idealnya tidak boleh mengalpakan setidaknya tiga variabel penting.

Pertama, konsistensi dan kefokusan pada isu atau agenda yang diusung. Misalnya, dalam konteks demonstrasi UU Omnibus Law Cipta Kerja, tuntutan massa idealnya fokus pada pasal-pasal yang diperdebatkan dalam UU tersebut. Di lapangan ternyata kondisinya tidak demikian. Di sejumlah wilayah, ada demonstran yang menyuarakan ujaran kebencian, bahkan ajakan melengserkan presiden Jokowi. Praktik ini tentu bisa dikategorikan sebagai tindakan subversif.

Kedua, cara atau mekanisme menyampaikan tuntutan. Demonstrasi pada dasarnya merupakan sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan kepada pihak lain. Dalam leksikon ilmu sosial, keberhasilan komunikasi tidak terletak pada seberapa agresif komunikator (pembicara) menyampaikan pesan pada komunikan (pendengar). Namun, keberhasilan komunikasi lebih sering ditentukan oleh bagaimana pesan itu disampaikan secara efektif dan efisien serta simpatik.

Sarah McGillan dalam bukunya berjudulDemocracy and Demonstrationmenjelaskan bahwa dalam sistem demokrasi modern, mekanisme demonstrasi yang mengedepankan kultur kekerasan, vandalisme bahkan anarkisme seperti perusakan fasilitas umum, pemblokiran jalan, pemogokan massal, apalagi pembangkangan sipil cenderung kurang efektif sebagai alat tekan untuk mengubah kebijaka pemerintah. Alih-alih itu, cara-cara diplomatis seperti lobi dan negosiasi politik cenderung lebih efektif untuk menyampaikan pesan publik dan mengubah keputusan pemerintah.

Dalam konteks demonstrasi UU Omnibus Law Cipta Kerja, para demonstran agaknya perlu mempertimbangkan tesis Sarah tersebut. Selama ini, demonstrasi penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja terkesan lebih mengedepankan aksi vandalisme, kekerasan dan amuk massa yang tidak terkendali. Aksi para demonstran itu menyiratkan pesan bahwa seolah-olah pintu komunikasi dan dialog telah tertutup. Konsekuensinya seperti dapat kita lihat, pesan penolakan terhadap pasal-pasal dalam UU Omnibus Law Cipta kerja itu nyaris tidak tersampaikan.

Maka tidak mengherankan apabila aksi demonstrasi rusuh itu cenderung mendapat sentimen negatif di kalangan publik luas. Di Yogyakarta misalya, muncul demonstrasi tandingan yang menolak aksi kekerasan dan vandalisme yang sebelumnya terjadi di kawasan Malioboro. Demonstrasi yang tidak mendapat simpati publik bisa dikatakan sebagai kegiatan yang mengkhianati kepentingan rakyat banyak.

Variabel ketiga yang tentu saja tidak boleh dilupakan ialah persoalan etika publik dalam menyampaikan aspirasi. Kita memang negara demokrasi, namun bukan demokrasi liberal ala Barat yang mengakui kebebasan individu sebebas-bebasnya. Demokrasi Indonesia ialah demokrasi Pancasila yang berakar pada adat ketimuran. Nenek moyang kita tidak memiliki tradisi kekerasan dalam menyelesaikan masalah, alih-alih lebih memakai cara-cara yang mengedepankan akal sehat.

Sinergi Bersama Menghalau Narasi Radikalisasi dan Provokasi Anarkisme

Ketiga variabel itu kiranya wajib ada dalam setiap demonstrasi, lantaran jika tidak maka ada kemungkinan demonstrasi akan berujung pada munculnya apa yang diistilahkan oleh Louis J. Amstrong sebagai “soft-anarchy”. Terminologi Soft-anarchy dapat dimaknai sebagai sebuah kondisi ketika ada kekuatan di luar otoritas negara (pemerintah) yang mampu melucuti kewenangan negara dan melakukan kontrol sosial terhadap masyarakat. Dalam kondisi soft-anarchy, negara kehilangan kekuataannya (powerless) sementara masyarakat sipil kehilangan rasionalitasnya. Kekuatan di balik soft-anarchy ini memang tidak tampak di permukaan, namun jejaringnya begitu kuat bergerak di bawah tanah.

Mereka inilah yang memanfaatkan gejolak sosial akibat munculnya sebuah isu dengan menyusun skenario kekacauan dan menghidupkan mesin-mesin pembuat ketakutan (horror machine). Mereka hadir dalam setiap isu sosial-politik, bukan untuk menjernihkan suasana namun untuk memperkeruhnya dengan narasi radikal dan hasutan bertindak vandalis-anarkis. Tujuannya tiada lain ialah untuk membikin negara ini lemah dan akhirnya hancur dari dalam. Dan, jika agenda itu tercapai, maka mereka akan segera mengambil alih situasi layaknya pahlawan kesiangan.

Situasi belakangan ini memang tidak menguntungkan bagi bangsa Indonesia. Di satu sisi, pandemi Covid-19 belum teratasi. Di sisi lain, publik kembali terpolarisasi oleh UU Omnibus Law Cipta Kerja. Kelompok pro UU Cipta Kerja mendukung langkah pemerintah dan meyakini bahwa UU tersebut akan membawa dampak positif bagi ekonomi nasional. Sebaliknya, kelompok kontra menuding UU Cipta Kerja rentan menghadirkan ketidakadilan bagi pekerja (buruh) serta melegalkan perusakan alam oleh investor. Ironisnya, sampai saat ini draf UU tersebut sebenarnya masih mengalami sejumlah penyempurnaan di DPR. Ini artinya, kita sebenarnya meributkan hal yang belum final.

Tidak ada jalan lain kecuali membangun koalisi nasional yang melibatkan negara dan elemen masyarakat sipil untuk mencari jalan tengah yang mengakomodasi kepentingan semua pihak. Koalisi nasional negara dan masyarakat sipil itulah yang akan menjadi senjata ampuh untuk membendung narasi radikal dan provokasi vandalisme yang menggiring demontrasi pada situasi soft-anarchy.

Louis Althusser dalam Power and Ideology menuturkan bahwa negara idealnya mempertahankan otoritasnya dengan ide atau wacana, bukan dengan kekuatan represif. Di saat yang sama, Althusser juga mewanti-wanti bahwa gerakan sosial berbasis masyarakat sipil idealnya dilaksanakan dengan teroganisir dan fokus. Gerakan sosial yang didominasi oleh aksi kekerasan hanya akan merugikan masyarakat itu sendiri sekaligus mengaburkan esensi dan agenda gerakan. Tidak hanya itu, gerakan sosial yang didominasi praktik kekerasan rawan ditunggangi oleh kelompok-kelompok tertentu.

Dalam konteks kontroversi terkait UU Omnibus Law Cipta Kerja, kita patut mewaspadai kelompok radikal yang berniat membonceng isu ini untuk menciptakan kekacauan sosial yang lebih besar. Dalam konteks inilah pentingnya membangun koalisi nasional antara negara dan masyarakat sipil untuk menghalau setiap narasi radikalisasi dan provokasi vandalisme yang potensial melahirkan situasi “soft-anarchy”. Negara di satu sisi, perlu menjelaskan segamblang-gamblangnya pada publik ihwal UU Omnibus Law Cipta kerja agar tidak menimbulkan mispersepsi di masyarakat. Sebaliknya, masyarakat juga harus bersikap rasional dalam mengekspresikan ketidaksetujuan atas keputusan pemerintah.

Facebook Comments