Pernah satu ketika seorang Arab Badui kencing di satu sudut dalam Masjid Nabi yang memang belum ada batas yang jelas. Ada di antara para Sahabat marah karena sikap tidak beradab tersebut. Tetapi Nabi SAW tetap tenang dan berkata, “Biarkan dia menyelesaikan hajatnya…” Setelah orang tersebut selesai, Nabi SAW sendiri membersihkan najis itu dan kemudian barulah memberitahunya tentang adab-adab di dalam masjid.
Bayangkan seorang Rasul, Kekasih Allah, dan pemimpin Islam rela membersihkan kotoran orang lain yang dianggap salah agar tidak membuatnya tersinggung. Beliau sungguh berakhlak mulia dengan mengajarkan adab kepada orang lain dengan cara beradab. Suatu sikap yang sepertinya harus menjadi teladan bagi kita saat ini.
Saya sedang membayangkan jika kejadian serupa terjadi pada saat ini. Mungkin saja peristiwa tersebut akan menjadi viral di media sosial dengan isu, gosip dan berita hoax “Islam dikencingi”, “Islam dihina”, “Masyallah, Rumah Tuhan dikencingi, ini saatnya berjihad”, “Inilah Panggilan Membela Islam” dan berita-berita lebay lainnya yang membakar emosi dari Sabang hingga Merauke. Tidak ada teladan seperti Nabi yang mencoba menyejukkan keadaan umat dengan pembelaan yang anggun dan tetap menampilkan Islam yang indah.
Sahabat yang marah melihat seorang Arab Badui itu adalah cerminan umat dan diri kita saat ini. Kita yang sedikit-sedikit marah melihat Islam seolah dilecehkan. Cerminan umat yang selalu emosional melihat simbol Islam dihina. Sikap yang seolah ingin menunjukkan Islam itu gagah, ditakuti dan harus dihormati. Umat saat ini mudah sekali baper dan seolah terdepan membela Islam, tetapi tidak tahu cara yang benar dalam membela Islam.
Apakah umat saat ini salah? Tentu saja tidak. Umat cuma kehilangan panutan dan teladan dari pemimpin agama sebagaimana Nabi mengajarkan dengan keteladanan. Umat saat ini hanya kehilangan pemimpin agama yang menyejukkan seperti Nabi mengajarkan dengan kelembutan, bukan pemimpin yang selalu membakar emosi. Pemimpin, panutan dan keteladanan itu hampir punah. Umat akhirnya mudah tersulut emosi dengan sedikit peristiwa apapun yang menganggu eksistensi Islam.
Coba sekali lagi kita perhatikan. Rasul itu makhluk paling mulia yang doanya pasti dijawab oleh kekasihnya, Allah. Apa resep Nabi sebagai makhluk paling mulia? Akhlaknya. Nabi diutuspun untuk menyempurnakan akhlak. Nabi Muhammad citra ideal manusia dengan perangai yang anggun dan kesantunan yang tinggi. Nabi tidak ingin menampilkan Islam yang garang dan gagah tetapi ingin menampilkan Islam yang indah. Islam yang dapat menyentuh hati manusia dengan keadaban, bukan memaksakan hati manusia dengan kekerasan.
Satu lagi cerita popular yang selalu saya ingin dengarkan waktu kecil walaupun sudah kesekian kalinya mendengar cerita ini. Kisah seorang wanita tua yang selalu menyakiti Rasulullah SAW dengan meletakkan duri, najis dan lain-lain untuk mengahalangi jalan yang selalu dilewati Nabi SAW. Namun beliau tidak terbesit untuk menghardik dan membalasnya. Pada satu ketika wanita itu sakit dan orang pertama yang menjenguk wanita tua tersebut adalah Rasulullah SAW dengan menunjukkan kasih sayang terhadapnya. Wanita tua itu terharu dengan kebaikan Rasulullah, lantas memeluk Islam.
Apabila kita meneladani akhlak Nabi, sungguh kita tidak menemukan referensi cara membela Islam dengan menghardik, memaki, menghujat apalagi dengan kekerasan. Islam itu Indah, bukan gagah apalagi garang. Islam itu melindungi dan mengayomi, bukan menghardik dan menakuti. Sayangnya, cerita-cerita akhlak dan keteladanan Nabi seperti itu sudah tidak banyak terdengar. Kita sibuk mentransfer sejarah Nabi tentang peperangan. Seolah anak kita tidak absah apabila tidak kenal dengan peperangan dalam Islam.
Islam indah tidak perlu dibela, tetapi perlu dirawat keindahannya dengan sikap kesantunan kita. Kalaupun Islam harus dibela, contohlah cara pembelaan Nabi dengan penuh adab. Tepatnya membela Islam itu harus dengan benar bukan dengan sikap sangar. Mengajarkan adab terhadap orang lain itu harus dengan beradab.
Dua cerita inspiratif keteladanan Nabi di atas membekaskan dua pelajaran penting bagi saya pribadi dalam membela Islam. Pertama, selalu mengedepankan maaf atas segala tindakan kesalahan. Memaafkan jauh lebih manjur untuk menyadarkan seseorang dari pada membalas kesalahannya. Memaafkan adalah senjata terbaik dalam membela Islam.
Kedua, mengedepankan kesantunan dan kesopanan terhadap siapapun bahkan kepada mereka yang bersalah. Kegagahan Islam tidak akan luntur dengan sikap sopan dan santun terhadap umat lain. Islam tidak akan hina dan dianggap lemah dengan sikap santun dan sopan para umatnya. Nabi telah membuktikan kebesaran Islam yang ditegakkan dengan tiang akhlak yang mulia.
Akhirnya, kita sangat berharap kepada para pemimpin agama untuk selalu memberikan teladan terbaik sebagaimana Nabi mengajarkan keteladanan terhadap para sahabatnya. Kita sangat memimpikan pemimpin agama yang selalu menyejukkan hati di tengah kekerasan sosial yang dianggap sebagai suatu kewajaran. Jika anda tetap ngotot membela Islam dengan kekerasan, mungkin anda sudah menemukan figur teladan lain selain Nabi. Amin.