Patriotisme Santri Melawan Propaganda

Patriotisme Santri Melawan Propaganda

- in Narasi
2131
0

Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2015 menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, kiranya telah memacu spirit publik. Penetapan itu bukan sekadar mengkristalkan kaleidoskop siklik, tetapi lebih substantif, ia menjadi bukti sejarah bahwa santri memiliki kontribusi riil dalam mempertahankan NKRI. Secara sederhana, Hari Santri adalah justifikasi historis atas prinsip patriotisme kalangan tradisionalis Muslim (kiai-santri) tempo dulu. Mereka menanggalkan ‘nafsu personal’ untuk secara integral-masif merebut kedaulatan dari para koloni. Merekalah yang secara definite disebut santri.

Kronik sejarah patriotisme santri dimulai sejak 19 Oktober 1945. Fatwa jihad yang digelorakan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari waktu itu telah memantik spirit kaum muda pesantren untuk berperang melawan penjajah. Konteks sosial-religi waktu itu mewedarkan kayakinan yang sahih: melawan para koloni. Pada 21-22 Oktober 1945, dilangsungkan rapat konsul se-Jawa-Madura di Kantor Nahdatul Ulama, Surabaya. Mereka berkumpul bermusyawarah tentang situasi perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Lahirlah Resolusi Jihad yang juga mengamini fatwa jihad KH. Hasyim Asy’ari.

Resolusi Jihad adalah ‘legitimasi teologis’ untuk memacu semangat kepahalawanan. Disebutkan dalam sebuah kisah, bahwa Presiden Soekarno membujuk KH. Hasyim Asy’ari untuk mendorong ghirah NKRI kaum Muslim waktu itu. Secara eksplisit, Soekarno menyadari bahwa kalangan Muslim tradisionalis (kiai-santri) menjadi driving force kekuatan negara. Sekali lagi, momentum ini juga membuktikan bahwa, relasi Islam dan negara terjalin harmonis. Tak ada tendensi untuk mengunggulkan entitas salah satu secara sepihak. Bahkan, relasi Islam-Indonesia menjadi term yang dibanggakan tidak hanya oleh masyarakat kita, tetapi bahkan oleh masyarakat dunia.

Hari Santri juga menjadi ‘kaca benggala’ bersatunya semua elemen Islam. Surabaya menjadi bukti riil, bagaimana Harun—seorang santri Tebuireng—bersedia syahid dengan meledakkan bom di mobil Brigjen Mallaby, seorang Jenderal Belanda NICA yang kembali menjajah Indonesia, untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Harun, tentu saja, tidak melakukan aksi heroiknya karena sentimen sepihak tentang paham. Bukan! Mempertahankan kemerdekaan negara dari para imprealis-kolonialis, sebagaimana disebut dalam fatwa KH. Hasyim Asy’ari, adalah keharusan. Tapi sayang, kadang orang menafsirkan ini secara sempit-keliru.

Agen Propaganda

Pada kurun waktu Agustus-Desember 1945, begitu jelas harmonisasi keislaman-keindonesiaan berjalin sejajar untuk merebut dan mempertahankan kedaulatan. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana usaha mempertahankan kemerdekaan tempo dulu tanpa andil Laskar Hisbullah, Sabilillah, dan santri yang dipimpin oleh kiai tradisionalis Muslim seperti KH. Zaenal Arifin, KH. And. Wahab Hasbullah, KH. Mas Manshur, dan sebagianya. Jihad fisikal—perlawanan fisik—kiranya menjadi resolusi paling mujarab waktu itu. Perang melawan koloni.

Tetapi, situasi mutakhir ini memili corak berbeda dengan dulu. Penetrasi globalisasi—yang kemudian menelurkan domain modernitas—telah meleburkan batas-batas imajiner masyarakat. Kecanggihan tekhnologi-informasi begitu luwes dan luas masuk ke setiap dimensi kehidupan. Masyarakat kontemporer, tua ataupun muda, sama-sama memiliki fantasi maya dan kehausan media sosial. Berita tersebar lintas teritorial. Bahkan, pihak yang memiliki kecenderungan paham sempit, akan secara leluasa bisa menyebarkan idenya melalui konten yang bisa dibaca publik. Inilah, yang menurut hemat penulis, kolonialisme halus.

Media daring menjadi justifikasi atas paham sempit mereka. Konten-konten itu akan segera disebar di lini masa media sosial dengan tagline yang provokatif. Pada wilayah ini, para pengguna media sosial kemudian “ribut” oleh isu yang disebutkan dalam konten tersebut—meskipun kebenarannya diragukan. Mereka menjadi “agen propaganda” yang terus memprovokasi dan mengadu domba. Dalil disebutkan sekadar untuh dalih.

Berita di media sosial, terutama di facebook, telah melakukan personalisasi informasi dalam sistem rekomendasi mereka. Konten yang sering kita baca akan secara sistemik muncul dalam timeline beranda kita. Hal ini sesuai dengan penelitian Eli Pariser dalam bukunya The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding From You. Pada konteks ini, konten informasi telah menggiring pegiat media sosial kepada—seperti disebutkan Ika Karlina Idris—polarisasi opini. Informasi disajikan dengan fokus pada 2 titik ekstrem: pro-kontra. Inilah sebenarnya penyebab suburnya perilaku ekstremis-sektarianisme.

Dengan dasar itu, penting untuk sekali lagi membangkitkan semangat kesantrian dalam merespon fenomena di atas. Agen propaganda selalu hadir dengan topengnya yang beragam dan seabrek dalilnya yang panjang. Tetapi, spirit kesantrian tetap akan menelaah secara ilmiah-progresif hal ihwal apapun yang berkaitan dengan keutuhan berbangsa-bernegara. Santri tidak fanatis dan primordialis. Melawan para agen propaganda di atas sebagai bagian dari kolonialisme gaya baru, tentu harus dengan model pendekatan yang juga baru dan halus.

Konten informasi di media sosial kadang bukan fakta riil di masyarakat. Target jurnalistik mereka kadang untuk urusan propagandis dan komodifikasi. Citra dimainkan sedemikian rupa untuk mengadu-domba. Makanya, para pemuda harini, dengan spirit patriotisme kesantrian, harus juga menghadirkan “informasi tandingan” dengan konten yang berimbang. Bagaimanapun, bersikap anti terhadap internet dan media sosial hari ini, bukanlah praktik jitu. Tetapi, menghadirkan kaidah informasi yang benar dan berimbang terhadap publik melalui internet dan media daring, adalah kemungkinan yang tepat. Inilah “Resolusi Jihad” gaya baru hari ini.

Facebook Comments