Mendidik Anak Cinta Damai dengan Teladan Nabi

Mendidik Anak Cinta Damai dengan Teladan Nabi

- in Narasi
1685
3
Mendidik Anak Cinta Damai dengan Teladan Nabi

Setiap kali memasuki bulan Rabiul Awal, bulan di mana Nabi Muhammad Saw. dilahirkan, umat Islam menyambutnya dengan berbagai macam cara. Di Indonesia, misalnya, ada sebagian muslim yang merayakannya dengan cara mengadakan perayaan Maulid Nabi, diisi dengan ceramah tentang kelahiran Nabi Agung tersebut. Sementara lainnya, menganggap perayaan tersebut tidak ada contohnya pada masa awal Islam, karenanya tidak boleh dilakukan.

Terlepas dari kontroversi yang terus menggerogoti tubuh Islam ini, sebenarnya ada hal yang menarik dan jauh lebih penting untuk dipelajari, yakni perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw. Sosok idola lintas zaman ini memiliki sikap dan laku hidup yang mengagumkan, yang keteladanannya tidak lekang oleh waktu. Maka dari itu, meneladani beliau adalah hal mendesak untuk hari ini.

Terutama berkaitan dengan semakin menguatnya intoleransi yang ada di Indonesia. Sehingga, banyak terjadi konflik di dalam tubuh umat Islam. Apalagi memasuki tahun politik, semakin kentara keretakan persatuan umat mayoritas ini. Dan, momentum maulid nabi sebenarnya bisa dijadikan ajang untuk refleksi diri, dengan mempelajari laku hidup beliau lalu berupaya mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Baca juga :Pers Kampus sebagai Wadah Edukasi Ideologi Pancasila

Oleh karena paham intoleran, sebutlah radikalisme-terorisme, hari ini kian masif persebarannya, maka upaya menyelamatkan generasi penerus bangsa menjadi penting. Anak sebagai aset bangsa harus diselamatkan dari rayuan palsu radikalisme, yang kerap mengantarkan anak manusia ke liang kubur, dengan dalih jihad.

Rumah sebagai lingkungan pendidikan utama dan pertama, diharapkan bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Orang tua tidak bisa memercayakan begitu saja pendidikan anak ke lembaga pendidikan. Karena, yang bertugas mendidik anak sebenarnya adalah orang tua, sementara sekolah hanya membantu sebatas dalam hal yang tidak bisa dilakukan orang tua dengan maksimal; misalnya ilmu pengetahuan.

Radikalisme bisa datang dari arah manapun, apalagi di era keterbukaan informasi dan ketercukupan fasilitas. Sehingga tidak menutup kemungkinan jika seorang anak bisa mengakses konten-konten radikalisme dari gawai yang dipegang, tanpa pengetahuan orang tua. Sekalipun, konten itu terselip dalam game-game anak yang sepintas lalu terlihat baik-baik saja, bahkan edukatif.

Maka dari itu, hubungan emosional orang tua dengan anak harus selalu dijaga dan dirawat. Jangan sampai renggang, agar bisa membimbing dan mengawasi perkembangan anak, baik secara fisik maupun pengetahuan. Dan, karena sebagai pendidik utama, orang tua harus pandai-pandai menyelipkan pendidikan karakter kepada anak, supaya ketika dewasa, anak bisa memilah suatu perbuatan yang baik dan buruk.

Salah satu metode pendidikan yang paling disukai anak adalah cerita. Orang tua dituntut untuk memiliki keterampilan bercerita/mendongeng, supaya anak tidak mencari informasi dari luar –karena lebih tertarik cerita penuh hikmah dari orang tua. Kalaupun anak mendapat informasi dari luar lingkungan keluarga, kedekatan emosional anak-orang tua membuat anak tak segan untuk melakukan konfirmasi.

Teladan Nabi Muhammad Saw. bisa dijadikan alternatif pilihan cerita, karena memuat pendidikan karakter yang tak lekang oleh zaman. Ada banyak kisah beliau yang penuh cinta dan persahabatan, sekalipun beliau selalu disiksa oleh orang yang dengki.

Ada sebuah kisah menarik mengenai Rasulullah Saw., berkaitan dengan toleransi beliau dalam menerima tamu pemeluk agama lain. Ketika itu, beliau sedang di Madinah dan kedatangan rombongan tamu dari Nasrani Njaran. Jumlah rombongan yang tak kurang dari 40 orang ini, dikomandoi oleh Uskup Abu al-Harits bin ‘Alqamah. Dengan mengenakan jubah katun buatan Yaman, dihiasi selendang bersulam sutera, mereka sowan kepada Nabi Muhammad Saw.

Kala itu, Muhammad Saw. beserta para sahabatnya hendak menunaikan shalat Asar. Mereka, rombongan tamu Najran lantas masuk ke dalam masjid. Di dalam masjid, mereka menunaikan kebaktian/sembahyang dengan menghadap ke timur. Melihat hal ini, para sahabat bermaksud mencegahnya, namun Muhammad Saw. dengan bijaksana melarangnya.

Mereka pun dibiarkan melaksanakan kebaktian di masjid dengan disaksikan Muhammad Saw. beserta para sahabat, tanpa gangguan apapun. Mereka lantas mengadakan tukar pendapat dengan Muhammad Saw. perihal masalah keimanan. Usai sharing, mereka mohon undur diri dan kembali ke Najran. Tak seorang pun dari mereka yang memeluk Islam, karena Muhammad Saw. juga tak pernah mengajak apalagi memaksa mereka membenarkan Islam. Namun, tak selang lama kemudian, dua tokoh rombogan ini, as-Sayid dan al-‘Aqib kembali ke Madinah dan menyatakan diri masuk Islam. (Nurul H. Maarif: 2017)

Kisah ini menjadi bukti bahwa Rasulullah Saw., teladan sepanjang zaman, ternyata amat santun dengan pemeluk agama lain. Beliau tetap mempersilakan umat Nasrani beribadah, sekalipun itu di masjid. Dengan kata lain, beliau mengajari umatnya supaya bersikap baik kepada siapapun, sekalipun berbeda keyakinan. Sehingga, perdamaian pun bisa terjalin sesama manusia.

Cerita-cerita semacam inilah yang efektif untuk dikisahkan kepada anak-anak oleh orang tua. Bahwa perbedaan bukan halangan sesama manusia, apalagi yang hidup di tanah air sama, untuk tetap bersatu dan membangun peradaban bangsa. Dengan begitu, radikalisme dengan segenap programnya, adalah musuh yang paling nyata, yang sudah sewajarnya untuk dilawan. Mendidik anak dengan teladan-teladan mulia manusia hebat masa lalu, adalah cara paling sederhana untuk membentengi anak dari paham radikalisme.

Facebook Comments