Menenun Keberagaman dengan Kepekaan Sosial

Menenun Keberagaman dengan Kepekaan Sosial

- in Narasi
1235
0

Adalah sebuah fakta, bahwa, Indonesia memiliki ribuan etnik yang tersebar pada belasan ribu pulau yang terhampar dari sabang sampai merauke. Setiap suku tentu memiliki ideologi masing-masing disebabkan adat istiadat dan tradisi kebudayaan yang berbeda. Meski demikian, di balik warna kulit, bahasa, dan kebudayaan, kita dinaungi oleh satu awan suci yang menjadi semboyan negara yaitu, Bhineka Tunggal Ika tempat berdirinya ideologi pancasila. Semboyan menjadi semacam penutup bagi seluruh celah yang memungkinkan kita untuk mencari perbedaan. Sehingga memunculkan rasa ukhuwah wathaniyah dengan memegang prinsip “kamu adalah aku yang lain”.

Belakangan ini muncul semacam hama yang mencoba merusak alam sadar kita tentang kebhinekaan. Isu yang dimainkan pun variatif, mulai dari isu dominasi suku yang turut serta dalam memperjuangkan negeri ini, sampai kepada isu adanya suku atau daerah yang dianak tirikan pemerintah. Tak tanggung-tanggung, upaya untuk mencongkel kebhinekaan dalam masyarakat ini pun mendapat reaksi dari masyrakat bahkan ada yang meluap-meluap sehingga menjadi gerakan anti suku ini dan itu.

Di lain hal, adanya gerakan-gerakan transnasional yang ikut memperkeruh susana, datang dengan semboyan adu domba untuk mengikat rasa emosional setiap warga agar menambahkan kekecewaannya terhadap pihak-pihak ataupun etnik yang diuntungkan oleh negeri ini, mempermudah gerak laju misi dari gerakan tersebut, hingga berakhir pada tindakan kekerasan. Pengeroyokan suporter bola, Kerusuhan Ambon, anti Jawa di Aceh, konflik sekte agama di Madura adalah potret-potret kecil dimana kekuatan asing ingin melemahkan kita dari dalam. Hingga kita rabun (untuk mengatakan tidak buta sama sekali) membaca semoboyan yang sudah lama menempel dalam alam sadar kita masing-masing.

Spektrum di atas, adalah angin segar dan momentum bagi para teroris menggambarkan betapa semerawutnya bangsa ini. Kejadian-kejadia di atas mereka rekam dan mereka selalu pertontonkan kepada orang-orang yang tidak mengerti seluk beluk perkara. Dengan bumbu etnis dan agama satu persatu korban cuci otak terbakar dan siap melakukan aksinya, dengan menamakan diri pengantin surga. Bhineka Tunggal Ika lenyap seketika, mereka hanya menganggap diri merekalah yang layak tinggal di negeri ini bahkan merasa lebih punya wewenang sebab etinis merekalah yang paling banyak meneteskan darah merebut negeri ini, Agama merekalah yang paling dominan dalam perjuangan, dan aliran merkalah paling getol membela negeri ini. Agaknya, tidak berlebihan, bila dikatakan, kelompok, etinis, penganut aliran yang merasa paling berhak atas negara ini adalah orang-orang yang rapuh dan tidak memiliki pemahaman kebangsaan yang utuh. Kebiasaan membedakan tanpa melihat persamaan yang menyatukan kita sebagai anak bangsa adalah pemicu awal yang menimbulkan ego sentris dan merasa lebih berhak di negeri ini. Tentunya, sikap yang terkena virus seperti ini butuh penyadaran kembali, agar mampu melihat jalan yang benar tentang ke-Indonesia-an.

Jalan damai yang mesti ditempuh untuk menenunnya kembali yaitu dengan memperkuat kepekaan sosial kembali. Sebagai motor penggerak utama yang bisa menyatukan kita, kepakaan sosial menyuruh kita untuk tidak berbeda, dengan itu juga kita akan merasa bahwa orang lain adalah diri kita yang lain. Kepakaan sosial memberi kita pandangan dengan naluri kemanusiaan, tanpa memandang etnis dan agama. Hilangnya toleransi, perdamaian dan menguatnya rasa ego berangkat dari hilangnya perasaan sosial dalam diri. Karakter kebudayaan kita yang memiliki sistem kekerabatan adalah jati diri bangsa yang menjadi bukti bahwa indonesia sejak pra-kemerdekaan sudah memiliki kepekaan sosial, baik antar sesama maupun kepada etnis lain.

Akhirnya, rasa solidaritas hanya bisa terwujud dengan perasaan sosial, perasaan sosial membentuk kepekaan sosial dan kepekaan sosial melahirkan jiwa kebersamaan, menghilangkan keegoan dan selalu mempraktikkan sikap cinta damai. sebaliknya, hilangnya perasaan moral membidani lahirnya sikap ego yang bermuara pada kegagalan-kegalan yang lain, termasuk kegagalan meamahmi falsafah Bhineka Tunggal Ika.

Facebook Comments