Datang dari lingkungan yang identik dengan paham wahabi tak menyurutkan nyali seorang Ahmad Syafii Maarif untuk menjadi sesosok “pemberontak.”
Sumatera Barat, di akhir abad ke-18, yang lekat dengan puritanisme Islam, adalah wilayah subur untuk persemaian paham wahabisme—konflik antara kaum mudo (Islam puritan) dengan kaum tuo (adat), perang padri, babak ke-2 sejarah organisasi Muhammadiyah yang lekat dengan besutan tokoh-tokoh yang pernah bersinggungan dengan pendidikan keislaman di Sumatera Barat.
Buat saya pribadi, ada satu pertanyaan yang patut saya utarakan: masihkah seorang Ahmad Syafii Maarif identik dengan orang Muhammadiyah—sebuah ormas keagamaan di mana saya pribadi sejak belia tak pernah sreg?
Ditengok dari pemikirannya, saya sama sekali tak merasakan bias kemuhammadiyahan di sana—yang acap saya rasakan pada para pemikir yang berlatarbelakang sama.
Barangkali, dengan inklusivitas yang tak pernah kita temukan pada para pemikir Muhammadiyah inilah ia juga dicacimaki di kalangan sendiri.
Ada satu karakter khas kalangan pemikir Muhammadiyah ketika sudah bersinggungan dengan masalah hubungan antara agama dan negara yang selama ini melekat: sektarianisme. Benar, realitas Indonesia memang majemuk, tapi Islam di negara ini adalah mayoritas, jadi—kesimpulan mereka—orang-orang Islam patut menjadi warga negara kelas pertama di negara ini.
Tapi cara berpikir semacam ini tak saya temukan pada sosok Ahmad Syafii Maarif. Pada peristiwa pilkada Jakarta akhir tahun yang lalu, ia—seperti biasa—“marah” ketika melihat kejumudan berpikir semacam itu. Dua esai pemikirannya kemudian lahir untuk merespon gejala radikalisme keagamaan yang ia bahasakan sebagai sebentuk “arabisme sesat jalan” ataupun “rongsokan peradaban Arab yang kalah.”
Renik Politik Identitas di Indonesia
Bagi saya, “Indonesia” hanyalah wadah kosong di mana segala macam kepentingan bertarung, bernegosiasi, berdialektika, untuk menemukan titik-temu. Atau wadah kosong di mana, melalui nalar publik, satu kepentingan menghegemoni atau bahkan mendominasi kepentingan-kepentingan lainnya.
Ada beberapa teori yang mengungkapkan perihal politik identitas tersebut. Satu di antaranya, seperti yang dinyatakan oleh Ahmad Syafii Maarif. Bagi Guru Besar UNY ini politik identitas memang dijamin oleh konstitusi Indonesia. Namun untuk membatasinya, dengan mengelaborasikan pemikiran Nurcholish Madjid, Pancasila mestilah menjadi wahana bagi terjadinya titik-sambung segala perbedaan kepentingan (Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, 2010).
Yang luput dari pemikiran Ahmad Syafii Maarif, dan juga Nurcholish Madjid, saya kira adalah proses logis bagaimana politik identitas itu terbentuk dan terburai dalam konteks keindonesiaan.
Di dunia ini ada dua macam realitas: realitas subjektif dan realitas objektif. Realitas subjektif adalah realitas yang dialami sesuai konteks, atau realitas yang dialami secara individual atau interindividual yang sangat mungkin tak bersifat sosial (menyangkut semua kalangan dan lapisan). Orang Papua atau Aceh misalnya, akan sangat berbeda dalam memaknai “kebangsaan” dengan orang Jawa, Bali, atau Sunda. Pun, untuk menghubungkan dengan identitas keagamaan, orang Islam akan sangat berbeda dalam memaknai “kebangsaan” dengan orang Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, ataupun Aliran-aliran Penghayat.
Batak, China, Jawa, Bugis, Madura, ataupun Katolik, Islam, Aliran Penghayat, dan seterusnya, adalah realitas subjektif. Adapun “Indonesia” adalah realitas objektif. Hal ini akan tampak ketika masing-masing identitas tersebut saling berkontestasi untuk menjadi the rulling class. Contoh yang paling mengena adalah perihal sistem nilai (suprastruktur). Nilai ketegasan, keberanian dan harga diri tentu berbeda derajat dan aktualisasinya antara orang Bugis atau Madura dengan Jawa, misalnya. Bugis-Makassar mengenal adanya tradisi sirri’ na pesse’ dan Madura mengenal yang namanya tradisi carok. Dua tradisi tersebut tentu tak kita temukan dalam tradisi Jawa ataupun China.
Pertanyaannya kemudian, manakah yang semestinya menjadi ukuran dalam hal karakter nasional yang diidealkan mewakili apa yang disebut “Indonesia”? Tak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Tapi saya kira ilustrasi di atas dapat menggambarkan apa yang saya sebut sebagai “Indonesia” yang diidealkan.
Dan di sinilah, saya kira, perbedaannya, baik Ahmad Syafii Maarif maupun Nurcholish Madjid tampak sangat menerima Pancasila tanpa reserve (Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, 2010). Apakah sejarah Pancasila selalu ajeg, dari era Soekarno, Soeharto, hingga kini?
Pada dasarnya, Pancasila adalah sebuah “nalar publik” dan, seperti kata Rawls, adalah wahana di mana masing-masing kepentingan saling berkontestasi untuk menerapkan ukurannya yang bersifat partikular (sesuai konteks) agar bersifat universal (diterima semua kalangan).
Tak pelak lagi, hal tersebut musykil terjadi tanpa adanya hegemoni ataupun dominasi (Pancasila di era Orde Baru, misalnya). Bisa jadi Pancasila pada periode tertentu sangat tampak “Jawa” dan “islami.”
Orang barangkali terkaget, bagaimana mungkin Pancasila—selain tampak “Jawa”—bersifat pula “islami” di era Orde Baru? Secara administratif, pemaksaan untuk memeluk satu dari lima agama “resmi”—yang kebanyakan terpaksa memilih Islam—kepada kalangan penghayat adalah fakta sejarah atas hal ini, yang bersinggungan pula dengan stigma “komunis” ketika tetap mempertahankan jati dirinya sebagai penganut aliran penghayat.
Atau yang lebih kontemporer, yang berhubungan dengan Pembangunan Karakter Nasional, bagaimana bisa karakter khas dari “orang Indonesia” adalah yang “halus” perangai dan seterusnya, seturut dengan karakter nasional yang diklaim sebagai pancasilaistis?
Di sinilah yang saya kira luput dari perhatian Ahmad Syafii Maarif maupun Nurcholish Madjid tentang terbentuk dan terburainya apa yang disebut sebagai politik identitas: hegemoni—sejak kapan hoax soal karakter orang Indonesia adalah yang “halus” peribahasa dan perangai?
Namun apapun itu, saya kira, dengan melihat kiprah dan pemikiran seorang Ahmad Syafii Maarif selama ini, ia-lah satu di antara segelintir orang yang saya sebut pantas bernama “orang Indonesia.”