Sektarianisme sebagai sebuah fenomena perpecahan dan kebencian berbasis perbedaan identitas kerap kali tidak muncul secara terbuka alias eksplisit. Di negara yang dilanda konflik seperti negara-nagata Timur Tengah, sektarianisme beragama memang tampak secara eksplisit, bahkan vulgar. Misalnya, kaum Sunni menuding Syiah sebagai kafir. Lalu dua kelompok itu berperang.
Di negara yang damai, sektarianisme kerap kali tidak muncul secara eksplisit apalagi vulgar. Lebih sering, sektarianisme mewujud secara implisit alias terselubung melalui beragam fenomena. Salah satunya gejala sektarianisme terselubung itu adalah munculnya beragam komunitas Islam di kalangan anak muda kelas menengah perkotaan.
Hari ini, di Indonesia tidak hanya ada ormas keislaman seperti NU, Muhammadiyah, Persis, al Irsyad, LDII dan lainnya. Langkap keislaman di Indonesia hari ini jihad iwarnsi oleh beragam kemunculan komunitas keislaman di kalangan anak muda perkotaan.
Sebut saja misalnya Sister Fillah, yakni komunitas dakwah dan belajar Islam yang menyasar khusus kelompok perempuan kelas menengah terdidik perkotaan. Seperti siswi, mahasiswi, karyawan swasta, atau pegawai pemerintah, dan lainnya. Komunitas ini tersebar di seluruh Indonesia dan rajin menggelar acara dakwah, seminar, pelatihan, dan sejenisnya di hotel, kampus, masjid dan sebagainya.
Selain komunitas Sister Fillah, ada pula komunitas yang menamakan diri sebagai “Teman Hijrah”, yakni forum kajian dan jejaring keislaman yang isinya adalah muslim muda perkotaan dari beragam profesi yang hendak melakoni jalan ‘hijrah’ alias pertobatan. Sama halnya dengan komunitas Sister Fillah, Teman Hijrah ini juga memiliki jaringan di seluruh Indonesia dan rajin mengadakan acara.
Sektarianisme dalam Kemasan yang Halus
Sekilas tidak ada yang salah dengan komunitas tersebut. Apalagi mereka kerap berkilah dengan alibi “apa salahnya berdakwah dan mempelajari Islam?”. Memang dakwah dan belajar Islam itu perilaku yang mulia. Namun, jika kita melihat lebih detil, maka akan ditemui banyak hal problematik dari komunitas Sister Fillah, Taman Hijrah, dan komunitas-komunitas sejenis.
Salah satunya adalah kecenderungan untuk menganggap kelompoknya sebagai yang paling benar dalam menjalankan perintah Islam dan menganggap semua orang Islam yang tidak menjadi anggotanya itu masih belum sempurna keislamannya.
Dalam konteks komunitas Sister Fillah misalnya, anggota mereka bahkan kerap menuding muslimah yang model pakaian dan jilbabnya beda sebagai “bukan muslimah sejati” dan “bukan saudara dalam mencapai surga”. Kalimat halus itu bermakna tajam; bahwa yang berbeda bukan saudara.
Atau klaim komunitas Tekan Hijrah bahwa mereka yang belum berhijrah itu masih terjebak dalam jalan kemaksiatan. Seolah-olah bahwa hijrah yang mereka gembar-gemborkan itu adalah satu-satunya jalan pertaubatan. Klaim ini problematik karena bisa dijadikan sebagai tembok pembatas antara kelompok mereka dengan golongan lain.
Inilah yang disebut sebagai sektarianisme terselubung. Yakni narasi permusuhan dan kebencian yang dibangun dengan argumentasi yang halus sehingga tidak tampak vulgar. Jika di Timur Tengah, sektarianisme itu tampak dalam wujud paling brutal, yakni perang senjata, di Indonesia kondisinya beda. Sektarianisme lebih banyak mewujud pada perang narasi.
Kita tentu wajib waspada pada sektarianisme terselubung tersebut. Sektarianisme, apa pun wujudnya, baik itu terselubung maupun terbuka, pada dasarnya sama-sama berbahaya bagi bangsa dan negara. Kita tentu tidak bisa memberangus komunitas keislaman tersebut, karena gak itu bertengan dengan asas demokrasi yang berlaku di Indonesia.
Menjernihkan Makna Persaudaraan dan Pertaubatan
Satu hal yang bisa kita lakukan adalah mengedukasi umat tentang bagaimana berislam secara kaffah tanpa harus menjadi pribadi yang sektarian. Bahwa menjadi Islam kaffah tanpa bersikap sektarian itu sebenarnya sangat mungkin. Caranya adalah dengan memahami prinsip-prinsip kunci dalam Islam seperti persaudaraan (fillah) dan pertaubatan (hijrah) yang kerap masih disalahpahami.
Bagi kaum konservatif, konsep fillah alias persaudaraan itu kerap dipahami secara sempit sebagai saudara sesama muslim, bahkan saudara muslim yang segolongah. Pemahaman yang sempit ini memiliki konsekuensi logis, yakni bahwa semua yang bukan muslim, atau muslim namun bukan anggotanya itu bukanlah saudara. Inilah yang kerap dijadikan alat pembenaran untuk melakukan tindakan intoleran dan kekerasan.
Demikian pula, kaum konservatif masih kerap salah kaprah memahami hijrah sebagai perubahan gaya hidup dari sekuler ke gaya hidup kearab-araban. Memakai pakaian arab kemana-mana, memanjangkan jenggot, memakai cadar, dan sedikit-sedikit mengucapkan nama Allah. Padahal, hakikat hijrah atau taubat tidak sesimplistis itu.
Hijrah para sufi misalnya, jauh lebih kompleks dari sekedar memanjangkan jenggot. Menaikkan batas celana atau memakai parfum non alkohol. Taubat ala sufi memiliki beragam tingkatan yang masing-masing tahapannya memiliki tantangan terkait pergeseran batin, alias tidak hanya perubahan fisik belaka.
Sektarianisme terselubung yang mewujud pada kemunculan beragam gerakan keislaman gaya baru yang menyasar kaum muda urban adalah tantangan serius yang harus dihadapi. Diperlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga dan para tokoh agama untuk membentengi kaum muda agar tidak mudah terkecoh dengan gaya hidup kearab-arab yang diklaim islami, padahal sebenarnya sektarianistik.