Menghadirkan Akhlak Rasulullah dalam Dakwah Islam

Menghadirkan Akhlak Rasulullah dalam Dakwah Islam

- in Narasi
1778
0

“Tolong para kiai, ustaz, habaib, hadirkan lagi akhlak Rasulullah Saw; kasih sayangnya Rasulullah kepada sesama, dakwahnya Rasulullah yang mengajak, tolong itu dihadirkan. Tolong dihadirkan itu kasih sayang agar orang-orang awam yang tidak paham Alquran Nur Karim, kurang paham dengan pribadi Rasulullah Saw bisa menyimak Anda sekalian yang ngerti Alquran, yang ngerti Sirah Rasulullah Saw”. Pesan itu disampaikan oleh KH. Mustofa Bishri alias Gus Mus sambil terisak pada momen ceramah virtual Haul KH. Ahmad Masduqi Machfudh dan Nyai Chasinah Chamzawi. Gus Mus, ulama besar yang juga pengasuh pondok pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang itu meminta para kiai, ulama, dan habaib terutama yang muda-muda untuk meniru akhlak dan perilaku Rasulullah dalam berdakwah secara santun, sejuk dan merangkul umat.

Pernyataan Gus Mus yang diiringi isak ini bisa ditafsirkan sebagai semacam kegelisahan beliau menyaksikan fenomena dakwah Islam Indonesia yang sudah jauh melenceng dari spirit dakwah Islam sebagaimana dijunjung oleh Rasulullah. Dan kegelisahan Gus Mus itu barangkali juga merupakan kegelisahan kita semua. Belakangan ini kita menyaksikan sendiri bagaimana banyak pendakwah yang menggaungkan pesan-pesan keislaman dengan bumbu caci-maki, kebencian, amarah, dan provokasi. Alhasil, model dakwah yang demikian itu telah mencoreng wajah Islam yang mengklaim sebagai agama rahmatan lil alamin. Ironisnya, sebagian umat justru memberikan panggung bagi para pendakwah yang tidak meneladani akhlak Rasulullah tersebut. Tidak sedikit pula yang mengglorifikasi para pendakwah yang menebar kebencian itu sebagai pahlawan Islam. Sebuah tindakan yang tidak hanya sembrono, namun juga absurd.

Jika ulama sepuh seperti Gus Mus saja sudah sedemikian gelisah dengan fenomena dakwah provokatif yang mengingkari akhlak Rasulullah, maka bisa dikatakan kondisi kita memang sudah sangat mengkhawatirkan. Maka dari itu, penting kiranya kita secara serius mencari solusi atas persoalan ini, tentu dengan melibatkan banyak pendekatan, baik itu pendekatan hukum maupun pendekatan sosial-budaya. Dari sisi pendekatan hukum, kita tentu patut mengapresiasi kinerja aparat keamanan dan penegak hukum dalam menindak para penceramah agama yang gemar menebar kebencian dan provokasi. Penangkapan dan penahanan penceramah Sugik Nur dan Soni Eranata alias Maaher At – Thuwailibi yang terjadi beberapa waktu belakangan ini menjadi semacam pernyataan tegas pemerintah bahwa dakwah provokatif dan penuh kebencian akan membawa konsekuensi hukum.

Penangkapan dan penahanan Sugik Nur dan Soni Eranata sebagai dua sosok yang menjadi ikon dakwah provokatif dan penuh caci-maki bukanlah pemberangusan atas kebebasan berpendapat. Tindakan hukum atas mereka justru merupakan bagian dari penyelamatan demokrasi. Kita menganut sistem demokrasi Pancasila dimana kebebasan berpendapat individu terikat oleh aturan hukum dan etika sosial yang berlaku. Barang siapa melanggarnya, tentu akan dikenai sanksi hukum oleh negara dan sanksi sosial oleh masyarakat. Dalam hal ini, sikap tegas pemerintah kiranya sudah memenuhi aspek keadilan publik.

Sayangnya, dari aspek sanksi sosial, para pendakwah provokatif itu kerap tidak mendapatkan hukuman yang selayaknya. Bahkan sebaliknya, mereka kerap diberikan panggung dan diglorifikasi layaknya seorang pejuang atau pahlawan. Tidak sedikit umat Islam yang mengidolakan para penceramah atau pendakwah provokatif dan menjadikannya sebagai ikon perjuangan Islam. Cara pandang yang keblinger ini tentu harus diluruskan. Memberikan panggung bagi para penceramah atau pendakwah provokatif sama saja dengan menyuburkan tumbuh kembangnya paham dan gerakan radikalisme agama di Tanah Air tercinta ini.

Membumikan Dakwah Santun

Satu hal yang patut kita sadari ialah radikalisme dan terorisme agama yang saat ini menjadi momok bagi masyarakat Indonesia, berakar salah satunya pada fenomena maraknya dakwah provokatif dan dipenuhi ujaran kebencian terhadap kelompok lain. Dan, patut disadari pula bahwa langgengnya dakwah provokatif itu dilatari oleh kenyataan masih banyaknya masyarakat yang menjadi penikmat setia konten-konten dakwah provokatif yang dapat dengan mudah diakses melalui jejaring internet dan media sosial. Tanpa pengikut atau pemuja setia yang fanatik, para penceramah dan pendakwah radikal itu akan tenggelam dengan sendirinya. Maka, tidak memberikan panggung bagi para penceramah agama provokatif ialah salah satu upaya mencegah ekstremisme agama berkembang.

Pesan Gus Mus agar para kiai, ustaz dan habaib muda menghadirkan akhlak Rasulullah, terutama ketika berdakwah ialah pesan sederhana, namun mengena pada jantung sasaran. Hari ini, kita menyaksikan perkembangan dakwah Islam demikian pesat, apalagi ketika berkelindan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Dakwah Islam di era modern ini telah sampai pada tahap-tahap yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kini, media dakwah telah berkembang sedemikian rupa dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Namun, ironisnya di saat yang sama umat Islam justru kehilangan dimensi paling penting dari dakwah Islam; yakni akhlakul karimah sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Maka, menghadirkan kembali akhlak Rasulullah dalam berdakwah ialah keharusan mutlak yang tidak bisa ditawar. Membumikan corak dakwah santun yang mengajak tanpa mengejek, menawarkan rahmat tanpa melaknat, dan merangkul tanpa memukul; itulah yang menjadi tugas dan tanggung jawab khususnya di kalangan pendakwah saat ini. Sedangkan tugas umat Islam awam secara keseluruhan ialah memberikan panggung seluas-luasnya pada para penceramah dan pendakwah yang santun dan sejuk serta meneladani akhlak Rasulullah. Dengan cara ini, kita patut optimistik bahwa wajah corak Islam Indonesia bisa didominasi oleh wajah yang santun, sejuk dan mencerahkan. Semoga.

Facebook Comments