Menginternalisasikan Nilai Pancasila dalam Khutbah Jum’at

Menginternalisasikan Nilai Pancasila dalam Khutbah Jum’at

- in Narasi
2056
1
Menginternalisasikan Nilai Pancasila dalam Khutbah Jum’at

Momentum hari Jum’at memang sangat istimewa. Sampai Imam Al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, dua ulama’ besar pendiri mazhab, meriwayatkan dari Sa’ad bin ‘Ubadah sebuah hadits Rasulullah yang menegaskan bahwa “rajanya hari di sisi Allah adalah hari Jum’at. Ia lebih agung dari pada hari raya kurban dan hari raya fitri.”

Penegasan Rasulullah ini sangat penting untuk digarisbawahi. Bukan semata memang ada nilai ruhaniyah yang sangat tinggi di hari Jum’at, tetapi juga ada nilai sosial yang juga sangat strategis. Ibadah sholat Jum’at itu ritual agung yang membuat masyarakat bisa berkumpul dalam satu masjid dan mendapatkan ilmu pengetahuan dan ilmu ruhaniyah dari khutbah Jum’at.

Dari sini, khutbah Jum’at memiliki posisi sangat strategis. Pertemuan agung di hari Jum’at menjadi sarana sangat efektif dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai kebangsaan dalam menata peradaban bangsa. Kalau khutbah Jum’at maah dimanfaatkan untuk melemahkan nilai berbangsa dan bernegara, maka selain upaya serius dalam merevisi para khatibnya, juga sangat tepat untuk menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap khutbah Jum’at.

Mendudukkan kembali nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memang menjadi keniscayaan, terlebih dengan fakta banyaknya kasus forum khutbah Jum’at yang malah digunakan untuk melawan Pancasila. Bagaimanapun, bangsa dan negara ini berlandaskan dasar negara bernama Pancasila yang lahir dari nilai luhur bangsa.

Bolehkan menginternalisasikan nilai Pancasila dalam khutbah Jum’at? Jawaban persoalan ini tentu saja kembali pada standar utama dalam ritual khutbah Jumat. Kalau lima rukun khutbah Jum’at sudah dipenuhi, maka khatib sangat diperbolehkan menyampaikan nasehat apa saja yang bermanfaat bagi umat Islam. Di sini, justru Pancasila sangat tepat, karena nilai-nilai Pancasila juga lahir dari nilai agama, termasuk Islam.

Menurut KH Ahmad Siddiq (1984), tugas umat Islam di Indonesia adalah bagaimana memproporsionalisasikan (wadu syaiin fi mahallihi) antara Pancasila dan agama. Sehingga benar-benar terbukti bahwa di dalam negara dan masyarakat Pancasila ini, agama dapat diamalkan dengan baik dan sebaliknya umat beragama di negeri ini merupakan tulang punggung ideologi nasional Pancasila.

Baca juga :Khutbah Jum’at untuk Membumikan Dialog dan Anti Diskriminasi

Meletakkan Islam dan Pancasila secara proporsional bisa dilakukan dalam pola internalisasikan saat khutbah Jum’at. Bagaimana bisa? Sudah sangat jelas, bagi Kiai Ahmad Siddiq, lima sila itu adalah wujud iman dan aman sholeh. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islam (al-Qur’an surah al-ikhlas). Demikian pula mengenai empat sila berikutnya yang merupakan wujud amal sholeh, atau ‘amilus shalihat.’

Seorang khatib tentu saja bisa menerjemahkan pemaknaan ini dalam suatu ayat dan konteks kebangsaan yang melingkupinya. KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam momentum idul fitri tahun 2018 ini memberikan refleksi dan acuan dalam menjelaskan makna Islam bagi umat. Dalam catatan Gus Mus itu, disebutkan sebuah hadits terkait makna bangkrut. Para sahabat menilai bangkrut sebagai orang-orang yang tidak memiliki uang dan harta benda.

Ternyata, jawaban sahabat ini diluruskan oleh Rasulullah. Nabi menjelaskan: “Sesungguhnya orang bangkrut dari umatku ialah mereka yang datang pada hari kiamat dengan membawa amal kebaikan dari shalat, puasa, dan zakat. Tetapi mereka dahulu pernah mencaci maki orang lain, menuduh orang lain, memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang lain dan memukul orang lain. Maka kepada orang yang mereka salahi itu diberikan pahala amal baik mereka; dan kepada orang yang lain lagi diberikan pula amal baik mereka. Apabila amal baik mereka telah habis sebelum hutangnya lunas, maka diambillah kesalahan orang yang disalahi itu dan diberikan kepada mereka; Sesudah itu, mereka akan dilemparkan ke dalam neraka.”

Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah ini sangat menarik. Bahwa iman saja, bahkan dibarengi dengan ritual ibadah, tidak cukup mengantarkan umat Islam menuju surga. Tetapi iman itu harus dibarengi dengan amal sholeh, yakni meninggalkan caci maki, hoax, melukai sesama, apalagi membunuh orang lain. Semua itu justru akan mengantarkan manusia menuju neraka.

Dengan hadits ini, para khatib bisa mengajarkan nilai Pancasila yang diramu secara menarik bagi jama’ah Jum’at. Hadits ini sangat serasi dengan pemaknaan Pancasila, apalagi bila dikontekstualiasiakan dengan kondisi kebangsaan hari ini. Dalam konteks ini, tepat yang ditegaskan Gus Mus, bahwa umat Islam harus mencintai rumahnya bernama Indonesia. Jangan sampai merusak, membakar, apalagi melalaikan rumah bernama Indonesia. Bahkan tanpa dalil agama sekalipun, umat Islam di Indonesia sudah sepatutnya mencintai bangsa dan negaranya.

Banyak ayat al-Quran dan hadits yang bisa dimaknai secara menarik, kemudian disampaikan dalam rangka menguatkan dan menginternalisasikan nilai Pancasila bagi umat Islam. Tidak ada yang salah, karena itu justru mengajari jama’ah Jum’at dalam mendudukkan Islam secara proporsional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Khutbah Jum’at memang forum sangat strategis. Dalam satu waktu, jutaan manusia berkumpul secara khusyu’ untuk mendengarkan khutahnya para khotib. Maka kurikulum khutbah yang menginternalisasikan dan membumikan Pancasila bagi jama’ah Jum’at justru menemukan relevaansinya, sehingga Islam hadir sebagai rahmah bagi semua semesta.

Facebook Comments