Kurikulum Khutbah Berbasis Fenomena Sosial

Kurikulum Khutbah Berbasis Fenomena Sosial

- in Narasi
950
1
Kurikulum Khutbah Berbasis Fenomena Sosial

Maraknya konten radikalisme dan kebencian sering kali kita dengar dari mimbar-mimbar Masjid. Dari pendakwah yang di mabuk dogma, tanpa melihat fenomena sosial. Sehingga, acapkali pendakwah luput dari substansinya sebagai penebar pesan damai dan cinta kasih.

Sebagaiman riset Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) tahun 2018. Dengan objek penelitian Masjid lingkup kantor pemerintahan; 35 masjid di kementerian, 28 masjid di lembaga negara, dan 37 masjid di BUMN. Hasilnya cukup menakjubkan, dari 100 masjid yang telah disurvey sebanyak empat kali salat Jumat ditemukan kategori masjid terindikasi radikal sejumlah 41 masjid.

Tidak mengagetkan, seperti yang ditulis oleh Diego Gambetta dan Stefen Hertog dalam bukunya yang berjudul Para Perancang Jihad, terjemahan Penerbit Gading. Ia menyebutkan selain adanya peran kaum terdidik eksak dalam aksi teror, ada juga dari kalangan menengah. Kalangan menengah ekonomi di sini diterjemahkan seperti halnya pekerja kantoran.

Berdasarkan temuan di atas, di mana khutbah Jumat di masjid sebuah lembaga, kerap kali menebar konten radikal. Karena dirasa masyarakat menengah menjadi sasaran empuk. Di mana mereka sangat memungkinkan untuk dipengaruhi – menjadi radikal.

Isi khutbah radikal itu tidak hanya terjadi di masjid perkantoran, akan tetapi banyak pula tersebar di kota metropolis. Di kota yang serba modern, tidak diimbang dengan pemahaman keagamaan yang mapan. Selain itu, terdapat indikasi adanya separatisme beragama.

Baca juga :Menginternalisasikan Nilai Pancasila dalam Khutbah Jum’at

Akhir ini, banyak yang menjadikan agama sebagai komoditas politik. Agama menjadi alat politik yang menjijikkan hingga ke mimbar-mimbar Masjid. Sialnya, penodaan nilai khutbah menjadi ajang kampanye semata- dan ritual keagamaan yang suci terdistorsi dengan hal remeh temeh- dalam hal merebutkan kekuasaan.

Dengan adanya fenomena tersebut, apa yang bisa dilakukan? Apakah kita hanya diam dan terus-terusan menjadi pendengar setia pendongeng radikalisme di mimbar Masjid? Atau kita harus berubah, dengan bersama mengkritisi yang pernah terjadi.

Diam tentu bukan solusi tepat. Secara filosofis khutbah sebagai bagian dari proses pencarian kebijaksanaan. Khutbah kebencian tentunya tidak bisa menjadikan kita manusia yang bijaksana, apalagi dalam mencapai taqwa.

Konsep khutbah Jumat perlu didekonstruksi, bukan berarti merubah tata cara khutbah. Akan tetapi, bagaimana khutbah mampu memberikan makna kepada hadirin/ jamaah. Oleh karena itu, sebagai terobosan untuk memperbaiki isi khutbah adalah dengan memperbaiki kurikulum.

Kurikulum seperti apa yang diharapkan? Bukankah persoalan radikalisme yang terjadi di mimbar masjid tidak hanya terjadi saat khutbah Jumat? Tentu saja iya, banyak faktor yang mempengaruhinya, di antaranya adalah konten khutbah atau isi khutbah.

Konten khutbah memang perlu dirumuskan, apalagi di Indonesia, agama menjadi center of view. Agama menjadi perhatian bangsa ini. Sehingga tidaklah mustakhil, melalui kementerian agama (islam) atau organisasi massa seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah turut merumuskan kurikulum khutbah.

Kurikulum yang penulis tawarkan adalah kurikulum khutbah berbasis fenomena sosial. Mengapa demikian? Khutbah acapkali dijadikan sebagai ajang pencarian surga semata. Pencarian surga dengan memusatkan laku pada spiritualitas vertikal – hablum min allah. Dan meluputkan nilai yang dekat dengan kita, manusia.

Aspek humanisme ini juga penting untuk diinternalisasikan dalam cakupan khutbah. Sebagaimana islam menganjurkan kita pada aspek wasathiyah beragama. Sehingga selain jalinan antar manusia dan Tuhan, ada pula agar kita merawat jalinan antar manusia – manusia dan alam.

Mengapa demikian? Banyak intisari dalam Al Quran dan Hadits yang berpesan agar kita memuliakan manusia dan alam. Nilai- nilai persaudaraan dan kepedulian terhadap lingkungan. Di antaranya adalah memberi makan orang miskin, mengayomi anak yatim dan menghormati tetangga.

Kepedulian sosial dapat mengatasi persoalan sosial yang dibenturkan dengan skriptualis agama – yang hanya memandang secara tekstual. Kemudian berakibat pada pola pikir radikal dan mengganggu keamanan berbangsa dan bernegara. Sehingga, kurikulum berbasis fenomena sosial ini juga patut diangkat.

Kurikulum khutbah berbasis fenomena sosial ini adalah penerjemahan ayat Ilahiyah menjadi lebih dekat kepada aktivitas sosial kemasyarakatan. Sehingga, khutbah selain berfungsi untuk menyejukkan hati dari hal buruk duniawi – perlu juga menjadi sebuah pencerah atau penyelesai persoalan sosial kemasyarakatan.

Misalnya dalam isu-isu kemiskinan, anak, sains, teknologi, pendidikan. Kurikulum khutbah bisa dibikin tematik dan insidentil. Tematik dalam artian disesuaikan dengan momentum. Misal saat kemerdekaan Republik Indonesia, menjadi sebuah topik integratif antar semangat islam dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Sedangkan topik insidentil ini lebih pada sebuah insiden yang tidak direncanakan sebelumnya – misal bencana alam.

Isu-isu di atas dapat diruntut menjadi kurikulum khutbah yang mampu mencerahkan hati dan pikiran – sehinga masyarakat mampu melakukan transformasi sosial. Dengan transformasi sosial masyarakat dapat hidup lebih baik secara ekonomi dan sosial. Kehidupan yang layak di dunia itu lah yang akan menjadikan manusia lebih kuat menjalin hubungan baik dengan Allah.

Oleh karena itu, ungkapan atau janji surga tidak akan bisa kita capai dengan pincangnya relasi sosial. Sebagaiman kisah bapak yang rajin sholat jamaah ke Masjid, tapi membiarkan anak istrinya kelaparan. Surga ada di akal sehat dan kejernihan hati kita untuk menyelesaikan persoalan sosial menuju kebaikan dan kebaikan berikutnya.

Facebook Comments