Masyarakat kampus dilanda banjir yang berbahaya: maraknya geraka radikal. Hasil survei berbagai lembaga penelitian sudah mengabarkan itu semua. Ini alarm sangat berbahaya, karena yang disasar adalah kaum muda. Mahasiswa dalam sejarah gerakannya selalu menjadi faktor penentu dalam sebuah perubahan. Sejarah Indonesia, baik pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, dan masa transisi reformasi, juga selalu terkait dengan denyut nadi gerakan mahasiswa.
Beragam upaya sebenarnya sudah dilakukan pemerintah melalui Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) dan juga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kemdikbud). Upaya-upaya itu harus didukung semua kalangan, khususnya masyarakat kampus. Walaupun demikian, internal kampus sendiri harus melakukan gebrakan serius, karena aktor radikalisme sudah masuk di dalam kampus. Apa yang dilakukan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta baru-baru ini terkait larangan memakai cadar bisa dimaknai dengan banyak tafsir, tapi itu setidaknya memberikan daya gebrakan kampus ihwal menepis radikalisme.
Harus diingat juga, radikalisme juga menunggangi paham Pancasila. Atas kebebasan berpendapat, mereka juga memanfaatkan untuk menyebarkan paham radikal di kampus. Mereka menyemai kampus sebagai jantung pergerakan. Masjid kampus menjadi salah satu sentral gerakan, karena di masjid itulah mereka bebas mengekspresikan gerakannya dalam berbagai diskusi, liqo’, dan kajian. Mereka menyusup dengan sangat halus, sehingga bisa menarik banyak anak muda yang haus pengetahuan agama untuk bergabung dan berjejaring dengan gerakan mereka.
Masjid kampus di berbagai perguruan tinggi negeri, dalam laporan Bangkit (2016), menjadi sumber lahirnya pergerakan yang massif. Mereka bukan saja menjadi aktivis kajian, tetapi juga menjadi takmir masjid kampus. Mereka sudah menguasai semua kegiatan masjid kampus, kegiatan mereka juga sangat beragam. Khususnya gerakan peduli sosial yang melibatkan banyak orang untuk berderma. Dari situ, mereka menungganginya untuk mengampanyekan program dan gerakan. Sangat halus, tetapi sebenarnya mudah dideteksi oleh pihak pimpinan kampus.
Menguatkan Integritas
Salah satu gerakan penting yang bisa dilakukan kampus adalah menguatkan pendidikan integritas. Menurut Amin Abdullah (2010), sifat nilai-nilai integritas dalam pendidikan karakter adalah multidimensi dan multidisiplin, sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif, utuh, interkonektif antar berbagai disiplin ilmu, tidak sektoral-parsial, ad hoc, apalagi atomistik. Pendidikan karakter dan pendidikan integritas mengasumsikan keterkaitan erat antara dimensi moral, sosial, ekonomi, politik, hukum, agama, budaya, dan estetika. Pendidikan agama, begitu juga pendidikan kewarganegaraan pada level manapun tidak dapat berbuat banyak jika ia berdiri sendiri (self sufficiency), karena jika tidak dikaitkan dengan budaya, sosial, hukum dan politik misalnya, maka pendidikan agama hanya akan jatuh pada rumus-rumus dan preskripsi-preskripsi normatif, yang mungkin mudah dihapal, tapi seringkali tidak dapat dipraktikkan dan diimplementasikan dalam dunia sosial sehari-hari yang begitu kompleks.
Gagasan integrasi-interkoneksi ini sejalan dengan pemikiran Henry Giroux, salah seorang pegiat pendidikan dalam perspektif postmodern, yang mengkritik keras format reproduktif dunia pendidikan. Dalam karyanya Social Education in The Classroom: The Dynamics of The Hidden Curriculum (California: McCutchan Publishing Corporation, 1983), Giroux mengatakan bahwa format tersebut menempatkan institusi pendidikan hanya dalam satu perspektif atau monolitik. Seolah-olah pendidikan hanya melayani kepentingan masyarakat dominan dan melanggengkan struktur sosial yang ada. Padahal pendidikan selalu berwajah ganda: dapat melayani kepentingan masyarakat dominan dan sekaligus dapat melayani kepentingan masyarakat sub-ordinat. Artinya pendidikan sebenarnya memiliki kekuatan opresif dan sekaligus liberatif, adaptif dan sekaligus transformatif.
Henry Giroux menekankan bahwa ethics harus menjadi perhatian utama pendidikan, khususnya wacana perbedaan ethics yang akan mengantarkan mahasiswa menemukan makna yang lebih kaya dan membantu mereka memahami pelbagai perbedaan di masyarakat luas. Fungsi utama pendidikan menurutnya mendekatkan mahasiswa pada wacana sosial (social discourse) yang akan mendorong mereka untuk memiliki kepekaan sosial terhadap fenomena kemanusiaan dan eksploitasi. Sehingga tumbuh tanggung jawab sosial pada orang lain, termasuk yang dianggap sebagai “outsiders” di dalam margin kehidupan sosial.
Integritas ini harus dibangun semua masyarakat kampus, khususnya dosen dan mahasiswa. Unit kegiatan mahasiswa harus dimaksimalkan untuk menguatkan pendidikan integritas, sehingga kampus ke depan kembali ke khittahnya, yakni pusat lahirnya manusia yang berintegritas dalam membangun bangsa dan negara.