Belum lama ini, kita berduka atas “traged Sigi’ yang diduga dilakukan oleh 8 orang kelompok teroris DPO MIT (Mujahidin Indonesia Timur) pimpinan Ali Kalora di Kabupaten Sigi, Palu, Sulawesi Tengah, yang mengancam kesatuan dan kebersatuan kita dalam berbangsa. Peristiwa itu, dengan berdasar laporan ANTARA,terjadi pada Jumat (27/11) jam 09:00 WITA yang mengakibatkan 4 rumah warga terbakar habis dan menewaskan satu keluarga yang terdiri dari 4 orang.
Barang tentu, kita sangat mengutuk terhadap aksi kekerasan dan terror atas nama agama ini. Selain atas aksi kebiadabannya itu, karena agama pada dasarnya (Islam khususnya yang kerap dijadikan kambing hitam) tidak mengajarkan seperti itu. bahkan, pada tatanan praksis-filofis agama selalu mengajarkan kita untuk berbuat baik pada sesama. Sebab, agama adalah ruang yang menampung segala macam moral dan kebaikan. Sedangkan perintah paling dasar dari moral itu sendiri adalah berbuat kebaikan dan menghindari keburukan. Apa pun alasannya, “tragedi Sigi” tetaplah tidak dapat dibenarkan.
Menanggapi apa yang terjadi di Sigi itu, rasa duka dan perih tentu masih ada. Membekas. Bahkan masih ingar-bingar dalam ingatan kita. Namun ironisnya, di balik rasa duka mendalam kita akan tragedy Sigi itu, aksi intoleransi kembali dihidangkan kehadapan kita, yakni aksi intoleransi yang terjadi di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur yang melibatkan para anggota dan simpatisan Front Pembela Islam (FPI) pada Selasa (1/12/2020) yang menggeruduk kediaman ibunda Menkopolhukam Mahfud MD.
Dalam laporan beberapa media, hal itu katanya adalah respon atas pernyataan Mahfud MD yang menyayangkan Habib Rizieb Shihab yang menolak dilakukan penelusuran kontak karena menurut Mahfud MD Habib Rizieq Shihab melakukan kontak erat dengan pasien Covid-19. Apa yang terjadi itu, memang tidak menimbulkan banyak akibat, tapi setidaknya hal itu telah menciptakan ketakutan dan trauma mendalam bagi ibunda Mahfud MD yang telah lanjut usia.
Seharusnya, oknum-oknum FPI ini, jika memang merasa keberatan atas pernyataan Mahfud MD tersebut tidak menggerebek ibunda Mahfud MD, sebab beliau tidak tahu apa-apa karena Mahfud MD sendiri ada di Jakarta. Apalagi FPI adalah bagian dari ormas Islam di Indonesia. Sedangkan dalam Islam kita diajari untuk mengedepankan cara-cara persuasif dan baik dalam mengatasi sebuah masalah atau problem yang sedang terjadi. Bukan dengan cara keras, provokatif dan tidak sopan seperti yang dilakukan oknum-oknum FPI di Madura itu. Karena, mengatasi masalah dengan nada-nada provokatif tidak akan menyelesaikan masalah. Semakin memperkeruh bahkan.
Karena itu, meminjam bahasa Alfie Mahrezie Cemal dalam tulisannya yang berjudul Tragedi Sigi, Alarm Keras untuk Umat Islamdi jalandamai.org—FPI harus segera berbenah diri. Mengingat beberapa minggu terakhir tampak menjadi penyulut api bermusuhan dalam dinamika keberislaman kita di Indonesia. FPI harus sadar diri bahawa eksistensinya sebagai ormas Islam di Indonesia telah menciptakan banyak keresahan bagi umat Islam lainnya dan sebagian masyarakat Indonesia. Dan, perlu disadari pula, bahwa tindakan-tindakan itu bukanlah bagian dari cita-cita Islam rahmatan lil’alamin. Karena Islam yang rahmatan lil’alamin selalu mendambakan kemaslahatan dan kedamaian masyarakat dari meresahkan dan menciptakan kegaduhan.