Yang Hilang dari Dakwah: Kesejukan!

Yang Hilang dari Dakwah: Kesejukan!

- in Narasi
1484
0

Seorang kawan pernah berkomentar ketika dia melihat saya mendengarkan ceramah agama di Youtube: “Kamu masih suka dengarin ceramah?” “Ya sesekali” saya jawab. “Saya udah lama tak mau mendengarkan ceramah agama.” “Kenapa?” Saya bilang. “Muak saya dengarin ceramah. Isinya marah-marah, kata-kata kotor, melaknat, dan menyesatkan agama orang lain.”

Saya sebenarnya pengen menjelaskan kepadanya, bahwa masih banyak ustad, tokoh agama, yang menyampaikan pesan-pesan agama penuh dengan kelembutan dan kesejukan. Tapi toh, dari awal si kawan ini sudah bersikap apriori dan sudah kapok terhadap bahasa dakwah di media sosial.

Alangkah terkejutnya saya, ternyata si kawan yang tadi tidak sendirian. Banyak kawan lain yang mulai “ogah” mendengarkan ceramah agama. “Dari pada dengarin ustad yang itu ngomel-ngomel, mending nonton Upin dan Ipin” komentar mereka.

Fenomena ini tentu menjadi alarm bagi paru ustad dan juru dakwah. Apa yang salah dari dakwah kita selama ini? Apa yang hilang dari bahasa dakwah di media sosial?

Ketika pertanyaan itu saya ajukan kepada kawan-kawan. Jawaban mereka hampir sama: Kesejukan dan Kesantunan. Menurut mereka, ustad sekarang cuma mulutnya yang besar, hati dan otaknya kecil. Katanya ustad, tokoh agama, tapi ucapan dan prilakunya tak mencerminkan ajaran agama.

Minus Kesejukan

Apa yang dikatakan kawan-kawan di atas itu adalah fakta. Panggung dakwah kita direbut oleh oknum-oknum ustad yang tidak paham akan kebhinekaan. Tidak bisa mengkontekstuliasikan ajran agama yang normatif kepada realitas masyarakat yang majemuk. Akibatnya terjadi benturan.

Ditambah lagi bahasa yang digunakan adalah bahasa-bahasa kotor yang tak pantas. Anehnya, masih ada saja sebagian ustad yang merasa dakwah dengan kata-kata kasar itu seolah-olah direstuai oleh Tuhan. “Mengatakan bejat kepada wanita bejat adalah sedaqah” komentar salah satu ustad yang suka menggunakan kata-kata kotor.

Kita butuh ustad dengan bahasa yang santun. Ramah bukan marah. Mengajak bukan mengejak. Menasehati bukan melaknat. Merangkul bukan memukul. Kesejukan dalam dakwah bak oase di tengah padang pasir. Umat sudah muak, bosan, bahkan ada sebagian yang sudah anti dan bersikap ap riori.

Kesejukan dalam berdakwah adalah tanda dari kearifan seorang dai. Kesantunan dalam berdakwah adalah ciri dari kedewasaan seorang mubalig. Kita butuh sosok seperti KH. Zainuddin MZ, ceramahnya yang mencerdaskan, enak didengar, tidak marah, dan penuh dengan kata-kata bijak yang meneduhkan.

Meniru Dakwah Nabi

Yang kita jadikan sebagai rule model dalam berdakwah adalah Nabi. Nabi bukan hanya sejuk dalam perkataan tetapi juga sejuk dalam perbuatan. Sifat dan kesejukan Nabi inilah yang dipuji oleh Al-Quran, dengan mengatakan, seandainya Nabi Muhammad bersifat kasar, pasti oarang-orang disekitarnya akan menjauh.

Dalam berdakwah, Nabi selalu mengedepankan Kemanusian terlebih dahulu ketimbang soal Ketuhanan. Sewaktu ada orang yang baru masuk Islam, kemudian bertanya kepada Nabi: Apa yang harus saya lakukan Ya Rasulallah? Nabi menjawab: jangan berbohong! Singkat, padat, dan penuh pesan kemanusian.

Metode seperti inilah yang seharusnya diikuti oleh para penceramah agama. Penceramah agama harus paham betul kondisi sosial di mana dia tinggal. Keragaman budaya, agama, dan tradisi harus dipertimbangakan. Buang segala arogansi. Karena kami mayoritas, maka kami boleh berbuat dan mengatakan apa saja.

Kini saatnya kita tinggalkan metode dakwah –yang dalam ilmu mantik –disebutmusyakalah, api dibalas api. Kata-kata kotor dibalas dengan kata-kata kotor, bukan hanya membuat citra Islam rusak, melainkan juga membuat penganut agama menjauh.

Kelembutan dan keteduhan membuat orang tahan berlama-lama memandang wajah para penceramah agama. Pituahnya selalu ditinggu. Wejangannya dijadikan alat penerang dalam kegelapan.

Facebook Comments