Meniru Prinsip Ukhuwah Wathaniyah dalam Mengelola Keberagaman Madinah Periode Awal Hijrah

Meniru Prinsip Ukhuwah Wathaniyah dalam Mengelola Keberagaman Madinah Periode Awal Hijrah

- in Narasi
430
0

Perbedaan suku, ras, bangsa, dan agama di Yatsrib—sekarang Madinah—tidak menjadi penghalang bagi Nabi Muhammad SAW. dalam membangun sebuah negara yang bersatu dan berdaulat. Justru, keadaan tersebut menjadi kesempatan baginya dalam mempersatukan umat yang bahkan sempat terjebak dalam konflik saudara selama beberapa puluhan tahun.

Hal inilah negara yang kemudian dikenal dengan nama negara Madinah. Bangsa yang bersatu di tengah perbedaan rakyatnya, sampai saat ini mampu berdiri kokoh dengan semangat persaudaraan bangsa tanah airnya. Kisah apa yang melatar belakanginya? Dan siapa saja yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Aus dan Khazraj

Sebelum Rasulullah dan umat Muslim hijrah ke Madinah dan mendirikan negara baru di sana, terlebih dahulu Rasul membuat pribumi Yatsrib (nama sebelum Madinah) beriman. Dengan begitu, jika nanti sudah tiba saatnya hijrah, umat Muslim Makkah mendapat sambutan baik dari penduduk setempat. Salah satu upaya yang Nabi lakukan adalah mendamaikan suku Aus dan Khazraj yang terjebak dalam konflik saudara selama puluhan tahun.

Hingga sekali waktu pada 620 M, enam orang dari suku Khazraj datang ke Makkah untuk menemui Rasulullah. Kedatangan mereka karena mendengar kabar bahwa pada tahun ini akan diutus nabi akhir zaman di Makkah. Setelah berhasil menemui Rasul, mereka akhirnya menyatakan masuk Islam. Selain karena percaya pada ajaran Nabi, harapan mereka Rasul bisa menyelesaikan konflik suku yang sudah cukup melelahkan.

Enam orang ini adalah As’ad bin Zurarah dari Bani Bajjar, Auf bin al-Harits dari Bani Najjar, Rafi’ bin Malik dari Bani Zuraiq, Quthbah bin Amir dari Bani Salamah, Uqbah bin Amir dari Bani Ubai bin Ka’ab, dan Jabir bin Abdullah dari Bani Ubaid bin Ghanm. Sekembalinya ke Yatsrib mereka turut menyebarkan agama Islam dan berhasil mengajak sejumlah penduduk.

Upaya enam orang ini membuahkan hasil. Pada tahun ke-11 kenabian, datang 11 penduduk Yatsrib ke Makkah untuk menemui Rasulullah dan berbai’at untuk masuk Islam. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Bai’at ‘Aqabah Pertama. Seperti kelompok pertama dulu, sepulangnya ke kampung halaman mereka turut menyebarkan Islam. Selain itu Nabi juga secara khusus mengutus Mush’ab bin ‘Umair ke sana sebagai duta yang ditugasi mengajarkan syari’at Islam. (Safyurrahman al-Mubarakfuri: 133-134)

Dua tahun berikutnya atau bertepatan tahun ke-11 dari kenabian, datang 70 penduduk Yatsirb ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus berbai’at kepada Rasulullah. Ini menunjukkan agama Islam berkembang pesat di Yatsrib sebelum Nabi dan umat Muslim hijrah. Kini Nabi tidak hanya berhasil merukunkan Aus dan Khazraj, tetapi juga membuat mereka memeluk Islam. Mereka inilah yang kelak disebut dengan Kaum Anshar. (Safyurrahman al-Mubarakfuri: 136)

Muhajirin dan Anshar

Setelah berhasil menebar benih-benih komunitas Muslim di Yatsrib, seiring dengan penindasan kaum Quraisy Makkah terhadap umat Muslim yang semakin menjadi-jadi, Nabi Muhammad bersama umatnya hijrah ke negara yang kelak dinamainya Madinah pada 622 M. Ada yang menarik pada peristiwa ini, yaitu Nabi mempersaudarakan kaum Muhajirin sebagai pendatang dan kaum Anshar sebagai pribumi.

Nabi menyadari para Muhajirin migrasi ke negara baru tidak membawa apa-apa. Semua harta tidak bisa mereka bawa. Sebagai solusinya, Nabi mempersaudarakan mereka dengan Muslim pribumi. Keputusan ini disambut baik oleh kedua belah pihak, bahkan kaum Anshar rela membagi separuh hartanya untuk saudara baru mereka. Padahal, secara ekonomi kaum pribumi juga sedang tidak membaik. Keimanan dan semangat persatuan dalam jiwa merekalah yang telah berhasil menyatukan.

Muslim dan Yahudi Madinah

Ternyata Yatsrib tidak saja terdiri dari rakyat yang multi suku, ras, dan budaya saja, tetapi juga umat agama lain yaitu kaum musyrik Yahudi. Hidup bertetangga antarumat beragama -belum lagi Yahudi menyimpan dendam terhadap umat Muslim- sangat mungkin terjadi konflik jika tidak ada tindakan dari negara. Sebab itu, Nabi kemudian membuat perjanjian untuk mewanti-wanti hal itu dalam sebuah dokumen negara yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah.

Di antara isi butir-butir perjanjian itu adalah agar kedua belah pihak Muslim dan Yahudi saling melindungi, menyatakan musuh bersama kepada siapa saja yang bermaksud menyerang Madinah, dan siapapun yang melanggar perjanjian ini berarti telah berbuat zalim. (Safyurrahman al-Mubarakfuri: 127)

Dari kisah Rasulullah dalam membangun negara Madinah terdapat banyak hikmah yang dapat kita terapkan, di antaranya adalah perbedaan bukan menjadi penghalang untuk menciptakan perdamaian dankerukunan, akan tetapi justru harus dijadikan sebagai peluang untuk menjadi modal mweujudkan persatuan dan kesatuan negara Indonesia.

Facebook Comments