Secara sosiologis, ada satu kondisi di balik hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Sebagaimana, Nabi lebih memilih untuk tidak meladeni apalagi membalas segala bentuk kebencian dan intimidasi dari kaum kafir Quraisy. Beliau lebih memilih untuk hijrah ke Madinah dan hijrahnya Nabi memberi pelajaran berharga kepada kita, bahwa kebencian itu harus ditinggalkan.
Pelajaran hijrah Nabi pada dasarnya membangun satu pola sikap. Bahwa, kebencian itu tidak akan pernah kunjung padam jika dibalas dengan kebencian. Sebab, akan mengakibatkan dampak mudharat yang lebih besar seperti konflik dan pertumpahan darah. Maka, dari sinilah titik-point penting, di balik kebijaksanaan Nabi lebih memilih hijrah ke Madinah tanpa membalas segala bentuk kebencian itu.
Point pertama yang dapat kita pelajari, bahwa Nabi Muhammad SAW membawa ajaran Islam yang tak pernah sedikit-pun membenarkan perilaku kebencian, kekerasan atau-pun intoleransi. Sehingga, beliau lebih memilih (meninggalkan kebencian) itu dan tidak sedikit-pun membalas. Karena ini merupakan satu jalan Beliau dalam menjaga ke-authentikkan ajaran Islam yang penuh rahmat dan maslahat itu.
Hijrahnya Nabi Muhammad SAW meninggalkan Makkah banyak menyisakan pelajaran penting. Akan kesadaran cinta tanah air/nasionalisme yang begitu kuat. Nabi meneteskan air mata dan begitu berat meninggalkan tanah airnya (Makkah) menuju ke Madinah. Demi menjaga Makkah agar tidak terjadi konflik/kehancuran jika Nabi membalas kebencian dan intimidasi itu, sehingga Beliau lebih memilih untuk hijrah ke Madinah.
Dalam kehidupan kita hari ini, segala bentuk kebencian itu pada dasarnya perlu kita tinggalkan. Lalu kita hijrah dalam pengertian subtansial, kita mengubah pola-pikir, mengganti sikap-sikap ego/kebencian dengan pola-pikir dan perilaku yang penuh persaudaraan/kasih-sayang. Hal ini tidak terlepas dari pelajaran berharga di balik hijrahnya Nabi yang mampu meninggalkan segala bentuk kebencian itu hingga membangun peradaban Madinah yang begitu gemilang.
Peradaban Madinah yang kokoh dan menjadi sorotan dunia bukan karena Islam diunggulkan apalagi menjadi super power atas identitas lain. Tetapi, Nabi Muhammad SAW membangun semacam prinsip sosial yang disebut dengan bersatu di tengah perbedaan (ummatan wahidah). Hal ini disebut dengan piagam Madinah yang mengikat perjanjian antar suku/agama untuk hidup bersama, mendapatkan hak sama dan saling menghargai tanpa berpecah-belah.
Jadi, hijrahnya Nabi bukan pergi dari satu kondisi lalu pindah ke dalam kondisi yang penuh dengan keburukan. Tetapi, hijrahnya Nabi di tengah kondisi yang penuh kebencian menuju kondisi yang penuh saking-sayang dan persaudaraan. Sehingga, itu menjadi substansi penting dalam hijrah Nabi yang harus kita jadikan pelajaran berharga. Karena, dalam kehidupan kita saat ini, trend hijrah sering-kali mengarah ke dalam perilaku yang justru semakin membawa kemudharatan sosial seperti sikap merasa paling suci, paling benar dan paling agamis.
Sebagaimana dalam argument di awal, penulis menekankan ke dalam satu substansi penting di balik hijrahnya Nabi. Bahwa, segala bentuk kebencian itu pada dasarnya bukan dibalas dengan kebencian pula. Tetapi, kita lebih baik memilih untuk meninggalkan kebencian itu atau dalam bahas teologis, hijrah dari kebencian menuju kasih-sayang hingga menciptakan peradaban yang begitu gemilang.
Tidak ada gunanya bagi kita meladeni apalagi membalas kebencian itu. Bahkan justru akan membawa dampak mudharat yang akan menjadi satu penyebab kehancuran sebuah tatanan sosial. Maka, dari hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah ini sejatinya kita bisa mengambil pelajaran penting. Bahwa kebencian itu harus ditinggalkan menuju kasih-sayang dan persaudaraan hingga menjadi kunci kesuksesan dalam membangun peradaban bangsa yang begitu gemilang.