Menjadi Islam; Menjaga Kearifan Lokal

Menjadi Islam; Menjaga Kearifan Lokal

- in Narasi
1116
0
Menjadi Islam; Menjaga Kearifan Lokal

Islam bukanlah agama yang “gegirisi” (baca: menakutkan). Di manapun dan apa pun keadaan sekelompok orang bisa berislam dengan baik. Mereka tidak harus menjadikan diri sebagai “orang lain” untuk menjadi muslim sejati. Dengan tetap menjalankan adat istiadat yang berlaku di daerah masing-masing, setiap muslim dapat berislam dengan baik. Bahkan, tidak benar jika ada sekelompok orang yang mendewa-dewakan adat istiadat Arab disebut muslim sejati.

Agama Islam memang memiliki batasan-batasan yang menjadi benteng bagi setiap pemeluknya. Dalam bermuamalah (baca: bergaul) dengan orang lain, dalam berpakaian, menyantap makanan, hingga hal-hal kecil semisal mengenakan pakaian. Di dalam aturan ini ada yang dihukumi halal (sangat baik), haram (tidak boleh), mubah (boleh), makruh (sebaiknya ditinggalkan), wajib (harus), hingga sunnah (sebaiknya dilakukan). Semua hokum ini bersifat umum, bikan parsial-parsial semisal menghalalkan tradisi satu dan mengharamkan tradisi lainnya.

Dalam hal berbusana, misalnya; agama Islam memberikan batasan-batasan bagi setiap muslim laki-laki, perempuan, ataupun waria. Batasan tersebut dikhususkan pada penutupan badan, bukan bentuk/model pakaian. Sebagai missal, dalam shalat seorang laki-laki, wajib mengenakan pakaian dari pusar hingga lutut. Namun, apakah pakaian tersebut model Arab Saudi, Indonesia, ataupun daerah lain, semuanya sama. Yang menjadi poin lain adalah kesucian, kebersihan, dan warna. Dan, semua ini tidak ada kaitannya dengan tradisi daerah satu dengan yang lainnya.

Yang menjadi persoalan sekarang adalah adanya kelompok yang “mendewakan” tradisi luar (baca: Arab) dalam beragama Islam dengan mendiskreditkan budaya lokal. Mereka berpendapat bahwa berbusana Arab adalah berislam yang sempurna. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa berpenampilan sebagaimana orang Arab adalah berislam yang baik. Parahnya, mereka memaksakan pendapatnya pada orang lain dengan mengatakan bahwa orang-orang Islam yang tidak berpakaian ataupun berpenampilan sebagaimana dirinya dianggap Islamnya tidak sempurna, bahkan kafir (karena pakaian/penampilannya sesuai dengan kondisi daerah tempat tinggal yang juga dihuni oleh orang kafir).

Uniknya, di saat kelompok yang mendewakan atribut Arab ini mengaku sebagai seorang muslim yang paling sempurna, banyak di antara mereka yang justru meninggalkan substansi Islam. Banyak di antara mereka yang suka mengumbar nafsu amarah di ruang publik, suka mengadu domba umat, hingga memfitnah. Padahal, semua itu merupakan larangan agama Islam. Islam merupakan agama kedamaian yang tidak saja menuntut penganutnya shalih kepada Tuhan belaka namun juga shalih kepada sesama.

Realita yang terjadi saat ini, kelompok Islam transnasionalis justru membuat umat Islam pribumi merasa tidak nyaman. Segala amal usaha ibadah yang selama ini dilakukan dengan baik justru disalah-salahkan lantaran tidak sama dengan yang ada di Arab. Humanisme dalam beragama yang selama ini telah terjadi di tanah air justru berusaha ditumpas. Padahal, semua ini tidak pernah bertentangan dengan agama Islam. Dan, yang terjadi bukan ajaran agama Islam yang semakin diminati banyak orang, namun Islam berwajah muram yang banyak dikenal dunia.

Bermula dari sinilah, setiap diri kita harus selalu meningkatkan kualitas keilmuan dalam beragama. Marilah terus belajar sehingga dalam beragama bisa menjalankan dengan semakin membaik. Jangan sampai kita berislam hanya sekadar mementingkan atribut tanpa memperhatikan substansi.

Wallahu a’lam.

Facebook Comments