Dalam Alquran, Allah menyebut dua kali kata khalifah. Pertama, terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 30,”Inni jaa’iunl fi al-ardh khalifah” dan yang kedua, terdapat pada surat al-Shad ayat 26,”Ya Dawud Inna ja’alnaka khalifah fi al-ardh“. Khalifah dapat diartikan sebagai pengganti atau wakil, dalam hal ini pengganti atau wakil Allah di muka bumi dan dapat diartikan juga sebagai pemimpin (Mahbub Siraj, 2018). Khalifah dalam arti wakil atau penerus, tentu saja tidak boleh bertindak atas nama dirinya, tetapi apa yang dilakukan itu atas nama yang diwakilkannya. Dalam hal ini adalah warga negaranya. Jika khalifah itu sebagai wakil Tuhan, maka ia sebagai pemimpin atau imam harus bertindak atas nama aturan-aturan Tuhan.
Meski konsep khalifah muncul dalam agama Islam, sejatinya relevansi khilafah harus menggema untuk seluruh umat manusia. Dalam konteks masyarakat Indonesia, seorang khalifah atau pemimpin harus dirasakan oleh seluruh raknyatnya. Tidak memandang identitas agama, bahasa, suku, dan ras yang dikenakan.
Karenanya, dalam menyongsong kepemimpinan nasional yang mampu mengantarkan Indonesia pada cita-cita kemerdekaan, menghayati nilai-nilai Pancasila dan merefleksikan dalam kebijakan kenegaraan adalah sebuah keharusan. Konsep negara Pancasila yang disepakati oleh para founding father NKRI sudah tepat karena dirumuskan untuk memberikan kemaslahatan bagi setiap warga negaranya. Semangat Pancasila dapat mendorong pemenuhan sluruh kewajiban negara terhadap rakyat dan penunaian hak-hak setiap warga negara, terutama hak beragama. Hal ini karena dalih agama akhir ini sering digunakan untuk memukul kelompok lain yang berbeda.
Sila pertama Pancasila merupakan inti dari penjagaan agama bagi tiap-tiap individu yang harus dijamin oleh pemerintah. Bagi Muslim sila pertama ini merupakan manifestasi dari konsep tauhid yang harus diyakini dalam lisan dan perbuatannya. Sedangkan sila lainnya berkaitan dengan aspek urusan hubungan manusia di dunia yang itu pun harus dijaga agar dapat memberikan kemaslahatannya hidup di dunia (Nurizal Ismail, 2019).
Baca Juga :Dari Ideologi Khilafah ke Manusia Khalifah
Sebagai khalifah dalam konteks saat ini, pemimpin Indonesia ke depannya harus mampu untuk mengintegrasikan peran agama dengan urusan dunia bagi warga negaranya dengan memberikan kemaslahatan. Agama bukanlah penghalang pembangunan negara sebagaimana yang dikonsepsikan oleh sebagian pemikir/tokoh Barat. Agama adalah inti dari pembagunan negara. Lalu, agama bukanlah jargon yang hanya muncul dalam pesta demokrasi lima tahunan. Dia adalah way of life yang harus diterapkan dalam bernegara (Nurizal Ismail, 2019).
Berkenaan dengan itu, salah satu misi penting yang harus ditunaikan oleh khalifah saat ini adalah menuntaskan problem praktik-praktik intoleransi dan radikalisme yang berseberangan dengan cita-cita kebangsaan menjadi bangsa yang tenteram, aman, dan nyaman bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini hanya bisa digunakan apabila pemimpin mau mengambil peran sebagai penyebar pesan-pesan perdamaian.
Pertama, menjadi teladan. Ketika seseorang telah mengemban amanah sebagai khalifah, niscaya setiap langkahnya akan disorot oleh rakyatnya. Maka, sebagai role model ia harus memberikan teladan baik kepada rakyatnya dalam aktivitas sehari-hari maupun aktivitas kenegaraan. Mendahulukan kepentingan umum daripada pribadi atau kelompok dan mengarusutamakan toleransi dan perdamaian daripada konflik merupakan beberapa contoh karakter yang perlu diteladankan oleh pemimpin di era penuh dengan adu domba dan politik identitas. Agar, jagat nusantara tetap harmoni dan sejuk di tengah keberagaman yang majemuk.
Kedua, mempersiapkan kebijakan yang tidak tebang-pilih dan selaras dengan prinsip kemanusiaan dan keberagaman NKRI. Dalam konteks bernegara, seringkali kita menemukan aturan-aturan yang tebang-pilih – memihak pada salah satu kelompok saja. Padahal, kewajiban negara adalah memastikan seluruh rakyat dapat terpenuhi setiap hak-haknya tanpa diskriminasi.
Apabila kebijakan berwatak tebang-pilih tetap dilanjutkan, perlawanan bisa lahir dimana-mana. Rakyat yang merasa mendapatkan diskriminasi bisa melawan negara dan akhirnya timbullah perpecahan. Padahal, jika perpecahan terjadi, niscaya usaha untuk mencapai cita-cita kebangsaan akan sulit ditunaikan. Sebab, butuh sinergi seluruh elemen untuk mewujudkan negara yang berdikari, maju, adil, makmur, sejahtera, dan nyaman dihuni oleh siapapun.
Akhirnya, penulis hanya mengingatkan, “kullukum ra’in wakullukum mas’uulun ‘an ra’iyyatihi” (H.R. Bukhari Muslim). Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang pertanggungjawaban kalian. Dari sini, saya berharap, khalifah atau pemimpin yang ada di seluruh Indonesia menyadari peranannya sebagai pembawa pesan rahmat dan perdamaian bagi rakyatnya. Sadar akan amanah dan tanggung jawab besar yang sedang diembannya. Sehingga, senantiasa berusaha menahkodai wilayah yang dipimpin menjadi baldatun thayyibatun warabbun ghafuur. Wallau a’lam.