Bangsa Indonesia bukanlah negara agama, tetapi memiliki spiritualitas tinggi. Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama dalam Pancasila yang termaktub pada konstitusi. Aktualisasinya juga menjadi ruh berbangsa sejak pra kemerdekaan, mempertahankan, hingga kini mengisi kemerdekaan. Dalam rentang waktu tersebut banyak komponen saling berkontribusi dan bersinergi. Salah satunya adalah ulama.
Ulama berperan penting dalam merebut kemerdekaan dan mendirikan NKRI. Semangat kesatuan dan nasionalisme tetap dijunjung tinggi. Persatuan tetap terjaga meskipun terdapat berbagai suku dan identitas golongan.
Hari-hari ini ulama saling dibenturkan. Kepentingan politik banyak memanfaatkannya secara sesaat dan pragmatis. Meskipun proses demokrasi bersama partisipasi ulama justru kebutuhan. Kabar penyerangan beberapa ulama lepas dari skenario atau tidak juga memprihatinkan. Ulama mesti dijaga, siapapun dia, apapun mahdzabnya. Menjaga ulama sama dengan menjaga bangsa. Karena ulama terbukti menjadi penjaga ampuh ketahanan bangsa. Selain itu ummat juga penting dan berani mendorong ulama agar terus berada pada koridor penjagaan bangsa. Perbedaan pendapat keagamaan tidak seharusnya berlanjut pada gesekan berbangsa.
Ulama merupakan benteng kesatuan bangsa. Ulama selalu menunjukkan dedikasinya kepada bangsa melalui pengorbanan segalanya, termasuk nyawa. Azra (2005) mengungkap sejumlah contoh perjuangan para ulama dalam melawan penjajah.
Disebutlah contoh Syekh Yusuf al-Maqassari (1627-1629M). Ulama terkenal ini bukan hanya mengajar dan menulis kitab-kitab keagamaan, tetapi juga memimpin pasukan melawan penjajah. Tahun 1683, setelah tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf memimpin sekitar 4.000 pasukan di hampir seluruh Jawa Barat. Syekh Yusuf berhasil ditangkap dan dibuang ke Srilanka dan Afrika Selatan. Beliau justru berhasil mengembangkan Islam dengan mengajar dan menulis hingga wafatnya.
Upaya ulama mempertahankan kemerdekaan misalnya ditunjukkan KH Hasyim Asy’ari dengan fatwa jihadnya, pada 14 September1945. Isi Resolusi Jihad yang diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa Madura itu berjumlah tiga poin. Pertama, kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan, Kedua, umat Islam, terutama warga NU, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia. Ketiga, kewajiban tersebut adalah “jihad” yang menjadi kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam (fardhu ain) yang berada dalam jarak radius 94 km (yakni jarak dimana umat Islam boleh melakukan shalat jama’ dan qasar). Adapun bagi mereka yang berada di luar jarak tersebut, wajib membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak 94 km tersebut.
Pada 3 April 1950, Natsir yang dari Partai Masyumi berpidato tentang mosi integral. Mosi ini menghendaki Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mosi itu didukung oleh para politisi dan Mohammad Hatta. Akhirnya pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali ke bentuk NKRI setelah Januari 1946 hingga April 1950 berbentuk RIS.
Ulama dalam mengisi kemerdekaan juga berperan menguatkan spiritualitas anak bangsa. Tidak sedikit pula ulama yang berisisan perannya juga menjadi menteri, dosen, politisi, dan lainnya. Hanya tantangan kontemporer semakin kompleks dan mengkhawatirkan bagi kesatuan bangsa. Dalam kondisi ini, mestinya ulama mesti mendapat tempat sebagai rujukan dan ditempatkan secara optimal sebagai penjaga kesatuan bangsa.
Menjawab Tantangan Kontemporer
Sinergi harus dioptimalkan antara ulama, umara’ (pemerintah), dan ummat (rakyat). Pemerintah penting memperhatikan suprastruktur dan infrastruktur yang menunjang kontribusi ulama melalui dakwahnya. Hal ini tentu dengan tanpa maksud mengurangi independensi.
Ulama sendiri mesti disadarkan dan diberikan informasi kekinian terkait perkembangan zaman now dan tantangannya. Tidak ada tantangan yang paling membahayakan selain ancaman kesatuan. Polarisasi politik yang selalu diarahkan kesitu penting dikelola agar tidak kontra produktif. Politik dan Islam memang sebuah kesatuan tetapi mesti dikelola baik dan diorientasikan untuk bangsa.
Ulama juga penting tidak mudah terprovokasi apalagi di era proxy war seperti sekarang ini. Perbedaan cabang terkait pandangan keagamaan mestinya tidak diumbar hingga berpotensi menyulut sikap saling membenci. Saling menghargai penting dikedepankan. Debat dan diskusi tetap terbuka dalam forum ilmiah yang terpuji.
Revitalisasi spiritualisme dalam setiap diri masyarakat juga dibutuhkan. Hal ini sebagai pegangan fundamental dalam membentengi NKRI dari paham atau segala upaya yang memecah belahnya. Lagi-lagi peran ulama sangat vital terkait kebutuhan ini.
Ulama adalah pewaris para Nabi. Karenanya ajaran tetap terjaga dan terus tersebarkan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargau jasa pahlawan, termasuk kiranya adalah jasa ulama. Saatnya ulama diposisikan sentral dalam komponen stratagis kehidupan berbangsa dan bernegara.