Kiai Nyentrik Membela Pemerintah

Kiai Nyentrik Membela Pemerintah

- in Narasi
1314
1
Kiai Nyentrik Membela Pemerintah

Judul di atas saya cuplik dari buku karangan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur secara mendalam mengisahkan relasi para kiai kharismatik dengan pemerintahan saat itu, Orde Baru. Gus Dur memotret sisi lain penyikapan kiai atas lika-liku kebijakan Orba. Para kiai disebut nyentrik oleh Gus Dur, boleh jadi memberikan artian kepada kita bahwa kiai tidak melulu berurusan dengan santri dan pengajian (ukhrawi). Para kiai “diam-diam” juga berkecimpung di ranah politik dan menjadi jujugan para pejabat meminta nasihat.

Dengan kata lain, para kiai tersebut melek politik. Namun, penekanannya lebih dimaksudkan demi tercapainya kemaslahatan umat, masyarakat. Bukan sekali-kali sang kiai bertujuan individual pragmatis keduniawian. Semisal, ketika sang kiai masuk gelanggang parlemen, toh hanya bertujuan memperjuangkan urusan masyarakat agar bisa terakomodasi dengan baik melalui pembuatan undang-undang; terutama pada babakan sosial-keagamaan. Pun tidak sedikit kiai, baik secara struktural maupun non fomal, dijadikan orang pemerintahan (eksekutif).

“Kedekatan” kiai dan pejabat senyatanya masih mengundang polemik. Lantaran kiai adalah ikon sakralitas yang tidak semestinya bergandeng tangan dengan keprofanan politisi yang serba ingar-bingar. Namun, setidaknya melalui paparan Gus Dur di buku tersebut, akan tersimpul bahwa, lakon yang ditempuh para kiai tersebut membawa banyak kefaedahan. Dengan romantisme ulama-umara, justru para kiai bisa leluasa mengamanatkan petuahnya secara langsung (face to face) kepada pemerintah agar segala macam koridor kebijakannya sebisa mungkin jangan sampai menabrak ajaran agama. Mauidzah kiai kepada umara, memungkinkannya lebih bisa dan cepat diterima karena satu sama lain menganggap sebagai mitra, bukan oposisi.

Garis politik para kiai kita sekiranya tersemat dalam kaidah fikih: Tasharruful imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah. Kebijakan pemerintah (imam) seyogianya/seharusnya berkorelasi dengan kemanfaatan masyarakat. Karena itu, kebijakan umara mesti didukung demi tercapainya kebaikan bersama. Lantaran menjadi acuan banyak orang, dukungan ulama tentunya sangat berpengaruh bagi kelancaran sebuah kebijakan pemerintah. Berangkat dari sini, kiranya timbul pertanyaan: lantas bagaimana cara sang kiai menilai suatu peraturan pemerintah terkata maslahah atau tidak?

Pada suatu dialog di radio, Gus Dur menceritakan dengan baik tamsil kiai kita merumuskan arti “maslahah”. Di zaman Orba, kebijakan kontroversial pernah muncul sembari mengundang reaksi, terutama dari ulama. Pemerintahan kala itu mewedarkan aturan Keluarga Berencana (KB). Kebijakan ini mendapat tentangan keras lantaran dianggap bertolak belakang dengan sabda Nabi Saw, agar memperbanyak keturunan. Pemerintah perlu memandang urusan demografi lantaran laju tumbuh penduduk kian tahun makin meningkat tajam. Populasi manusia yang besar dirasa akan mengundang risiko besar pula pada pemenuhan kebutuhan pangan dan papan. Populasi besar yang tidak terkendali memicu meningkatnya problem sosial.

Di sinilah kemudian para kiai nyentrik dengan keluasan ilmunya “membela” kebijakan pemerintah. Mereka mencoba membaca teks agama/hadis tersebut secara komprehensif berlandas maqashid as-syar’iyyah, bukan leterlek alias hitam-putih. Dalam bahasa Gus Dur –yang boleh kiranya termasuk bagian kiai nyentrik—perintah Nabi tersebut mengandung juga perintah pada pemenuhan kualitas, bukan semata kuantitas jumlah anak. Memperbanyak anak dan lantas tidak tercukupi kebutuhan gizi-kesehatan dan pendidikan tentu menibakan pada kemunculan generasi lemah; bukankah hal ini bertentangan dengan tujuan agama? Kebijakan “dua anak cukup” tersebut bermaksud baik: menghasratkan adanya optimalisasi sumber daya manusia Indonesia agar unggul dan bermutu. Inilah kiranya sikap bijak nan arif dari kiai nyentrik dalam memahami ajaran agama serta aplikasinya dalam bertatanegara.

Tidak selamanya ulama dan umara berpadu-padan. Namun, sekali lagi, para kiai telah meneladankan cara terbaik memberikan imbauan atawa kritik kepada umara. Pertama, sama sekali tidak ada ujaran kebencian apalagi cacian kepada umara. Kedua, para kiai tidak memobilisasi santri dan jemaahnya untuk menentang kebijakan umara –meski hal itu bisa dilakukan. Ketiga, bilamana terjadi kegaduhan di masyarakat atas suatu kebijakan, kiai bakal lekas menyampaikan aspirasi umat dan imbuhan solusi kepada umara. Keempat, dengan kedekatannya dengan pemerintah dan lebih-lebih kepada rakyat, kiai pun bisa menjadi mediator bagi keduanya bila terjadi sengkarut.

Meski beberapa kali tidak satu suara dengan umara, para kiai kita tidak pernah sama sekali bercita menggulingkan pemerintahan. Usia suatu rezim mestilah ditunaikan secara penuh-seluruh –menyesuaikan batas waktu yang telah diundangkan. Berpantang menghentikannya di tengah jalan. Menggulingkan pemerintahan yang sah sama saja telah berbuat bughat alias makar. Dan, bughat merupakan pelanggaran/dosa besar. Apalagi aksi bughot atau dalam taraf antipati/kebenciaan terhadap pemerintah bakal bermuara pada perseteruan horisontal dan perang saudara; seperti apa yang terjadi di sebagian wilayah Timur Tengah hari ini.

Para kiai nyentrik dalam buku Gus Dur itu telah menorehkan tamsil ideal sinergitas ulama dan umara. Merawat keindonesiaan dan menjaga kesinambungan harmoni umara dan umat merupakan basis dakwah para kiai nyentrik. Hal itu terus dikhutbahkan oleh para kiai agar negeri ini senantiasa aman dan kondusif. Para kiai nyentrik seakan menyorongkan pesan bahwa, terlalu mahal harga yang harus dibayar apabila kemerdekaan Indonesia dan kebersatuan masyarakatnya yang beraneka kultur itu harus buyar oleh kepentingan politik pragmatis. Kiranya inilah arti sesungguhnya dari diktum “membela pemerintah” ala para kiai tersebut; meski sesekali mereka tidak sejalan-sepandangan dengan pemerintah. Wallahu a’lam

Facebook Comments