Menyapu Konten Radikal Dari Pemikiran Milenial

Menyapu Konten Radikal Dari Pemikiran Milenial

- in Narasi
1579
0

Media sosial merupakan wilayah baru berkomunikasi dan berinteraksi langsung tanpa berjumpa. Sebagai tempat pertemuan, dunia maya haruslah dijaga keamanannya agar menjadi wahana pertemuan yang berkualitas. Karena menjadi wilayah yang menyenangkan, media sosial menjadi ruang publik yang digunakan hampir semua lapisan masyarakat. Media sosial menjadi idola baru untuk mencari beragam informasi.

Namun, tidak jarang ditemukan pengunjung media sosial yang menyebarkan Informasi yang berbau radikal dan mengancam kedaulatan bangsa. Hal ini semakin diperparah dengan lemahnya pengawasan masyarakat dalam dunia maya. Masyarakat seolah abai dengan keamanan media sosial yang menjadi wajah baru di era digital. Akibatnya isu-isu hoaks serta informasi radikal bebas berselancar di media sosial tanpa ada pengawasan.

Banyaknya akun palsu untuk melancarkan dakwah radikal yang mengusung ideologi khilafah menjadi wajah baru di media sosial. Akun ini dibuat dengan mudah tanpa melalui proses yang menyulitkan mereka. tinggal menyiapkan nomer ponsel ataupun e mail mereka sudah berhasil membuat satu akun. Akibatnya, ajaran khilafah tersebar luas tanpa identitas yang jelas.

Bebasnya ajaran khilafah keluar masuk internet, akan berdampak buruk terhadap pola pemikiran masyarakat yang semakin tidak toleran dalam menyikapi perbedaan. Masyarakat terbiasa mendahulukan emosi daripada kejernihan berfikir dalam menghadapi suatu permasalahan. Akhirnya perilaku intoleran yang merupakan cikal bakal ajaran khilafah sedikit demi sedikit mulai terbentuk.

Keadaan ini akan berbuntut panjang terhadap masa depan bangsa dan generasi penerusnya. Generasi muda yang belum mempunyai kesetabilan emosi harus dihadapkan oleh gejolak informasi berbau kekerasan dan radikal. Bagai api tersulut bensin, mereka terpengaruh dan tega melakukan tindakan anarkis sebagai penyaluran hasrat emosinya. Daya pikir yang belum matang ditambah dengan bumbu provokatif agen radikal sangat pandai memikat emosi anak muda.

Sebanyak 10% kelompok muda setuju menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan boleh menggunakan kekerasan untuk membela agama. Kecenderungan itu terjadi karena mereka terpapar situs atau akun di sosial media beraliran intoleransi maupun radikalisme, yang diklaim cukup menarik dari segi konten. Hasil penelitian yang dilakukan lembaga survei dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga itu dilakukan tahun lalu dengan menyaring 2.300 responden di seluruh Indonesia.

“Yang sangat signifikan, siswa dan mahasiswa itu banyak beraktivitas di media sosial cenderung lebih intoleran dibanding yang tidak mengakses internet. Ini menunjukkan ada korelasi tentang cara keberagamaan generasi milenial dengan sosial media,” ujar Guru Besar UIN Jakarta, Jamhari, kepada wartawan, Rabu (20/02) (bbc.com, 2019).

Melihat hasil penelitian ini, sangat jelas posisi media sosial sangatlah strategis untuk menyebarkan konten radikal. Apalagi sistem keamanan yang relatif mudah, tidak ada rasa takut lagi bagi kelompok radikal menyebarkan ajarannya. Generasi muda yang menjadi harapan bangsa serentak berbalik menyerang negaranya sendiri dengan paham radikal yang mereka yakini. Tidak akan ada lagi rasa kasihan apalagi wajah toleransi pada dirinya, yang ada hanyalah wajah ambisius untuk memaksakan pemikirannya diterima semua warga negara. Hal ini dibuktikan dengan kemunculan kasus-kasus terorisme yang dilakukan oleh anak muda.

Pada tahun 2016, remaja yang baru lulus SMA (Sekolah Menengah Atas) yang berinisial IAH melakukan aksi teror pada salah satu gereja di Medan. Kemudian ada aksi peledakan bom bunuh diri di Pos Pengamanan Polisi di Kartasura. Pelakunya adalah seorang pemuda berinisial RA yang berusia sekitar 22 tahun. Kedua pelaku sama-sama terpapar paham radikal melalui media sosial. Keduanya belajar merancang bom melalui internet dengan arahan anggota kelompok radikal. Terbaru, ada aksi peledakan bom di Katedral, Makasar yang disusul dengan serangan ke Mabes Polri.

Menanggapi fenomena tersebut, pemerintah mencoba memblokir sejumlah situs dan akun media sosial yang terindikasi memuat konten radikal. Namun, mengingat begitu banyaknya situs serta web yang ada, pemerintah tidak bisa melakukan aksi memutus rantai radikal secara individu. Pemerintah memerlukan peran aktif masyarakat untuk ikut serta memberantas konten-konten radikal.

Masyarakat diharapkan berfikir kritis ketika menerima suatu informasi melalui media sosial. Selain itu, masyarakat tidak harus pasif menjadi konsumen informasi, melainkan harus menjadi produsen informasi persatuan dan wawasan kebangsaan. Melalui facebook, twitter, instagram, atau akun media sosial lainnya, masyarakat yang menguasai wawasan kebangsaan haruslah menyebarkannya melalui akun miliknya. Sadar dan aktif di media sosial sangat dibutuhkan, karena kerukunan serta keberlangsungan negara tergantung konten yang disebarkan di media sosial.

Apabila yang lebih unggul konten radikal, maka masyarakat akan dipenuhi keresahan dan kebencian. Sebaliknya, jika konten wawasan kebangsaan dan nasionalisme yang menguasai media sosial, maka tentramlah negeri ini. Menjadi masyarakat yang proaktif di media sosial bisa juga dengan melaporkan konten yang berbau radikal kepada pihak yang berwajib serta menjadi pengawas di media sosial.

Menyingkirkan sifat masabodo terhadap penyebaran paham radikal yang berselancar bebas di media sosial adalah harga mati. Karena bagaimanapun media sosial merupakan sebuah pisau yang dapat membawa keburukan dan kebaikan. Maka peran pengguna sangatlah penting untuk membawanya kepada kebaikan.

Facebook Comments