Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Siaran pada Bulan Ramadan (23/3/21). Edaran ini sebagai panduan dalam bersiaran pada bulan suci Ramadan 1442 H nantinya.
Salah satu poin utama dari surat edaran itu, KPI hanya mengizinkan TV dan Radio menampilkan dai moderat (dai wasyatiyah). Ini dilakukan oleh KPI karena mengingat makin dekatnya Bulan Suci Ramadan, di mana intensitas ceramah, dakwah, pengajian, entah apa pun namanya itu, semakin meningkat.
Dalam poin enam huruf d secara tegas dinyatakan bahwa pendakwah yang ditampilkan di TV dan Radio harus memenuhi tiga syarat utama. Pertama, dai itu harus berkompeten dan tidak berafiliasi dengan organisasi terlarang. Kedua, dai itu harus sesuai dengan standar MUI. Ketiga, pendakwah itu harus menjunjung tinggi Pancasila.
“Mengutamakan penggunaan dai/pendakwah yang kompeten, kredibel, dan tidak terkait dengan organisasi terlarang sebagaimana telah dinyatakan hukum Indonesia, dan sesuai dengan standar MUI, serta penyampaian meterinya senantiasa menjunjung nilai-nilai Pancasila.” demikian bunyi SE KPI No. 2 Tahun 2021 itu.
Ini merupakan hadian indah menjelang Ramadan. Pengambil kebijakan, bisa dengan sigap membuat keputusan jika ustad/penceramah yang bersangkutan terafiliasi dengan organisasi terlarang.
Sejauh ini, meski Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) sudah jelas-jelas dilarang oleh hukum Indonesia, akan tetapi para ustad, tokoh agama, dan simpatisannya masih bebas memasarkan pemahaman di tengah-tengah masyarakat, baik melalui TV dan radio mereka maupun lewat media sosial.
Menjaga Kesucian Ramadan
Surat Edaran itu sesuatu yang istimewa. Jelang Ramadana –apalagi kita masih dalam suasana pandemi –peningkatan penayangan ceramah membanjiri televisi, radio, dan media sosial secara umum. Peningkatan ini antara suka dan duka.
Secara kuantitas kita patut bersyurkur, sebab intesiatas meningkat, dan minat masyarakat terhadap pemahaman agama juga naik. Akan tetapi, secara kualitas, ini adalah bencana, sebab tidak semua yang tampil dan ditampilkan sebagai ustad/penceramah itu berkompetensi.
Tahun lalu, kita masih ingat bagaima ada ustadzah yang mempunyai banyak kesalahan menulis ayat Al-Quran. Ustad yang tak pandai men-tashrif –suatu hal yang tak bisa dipisahkan dari keustadan. Penceramah yang salah menerjamahkan ayat.
Belum lagi, para juru dakwah yang tidak tau konteks. Asal comot aja. Terjamahkan teks Quran atau Hadis langsung terapkan ke realitas sekarang. Tanpa ada pertimbangan konsteks sosial, historis, dan politik yang mengitarinya.
Ditambah –apalagi dengan penetrasi media sosial dan mudahnya mendirikan TV lokal –banyak para penceramah agama yang provokatif, tidak tahu etika berdakwah, mengabaikan kesantunan, main hajar saja. Apa yang benar menurut dia, langsung diutarakan, tanpa memperhatikan orang/kelompok/agama lain –yang boleh jadi nanti mendengarkan ceramahnya.
Di tengah situasi seperti ini, Surat Edaran KPI ini mendapat momentumnya. Kita sudah lama menunggu surat edaran seperti ini. Kita tidak mau nantinya, Ramadan sebagai bulan suci, bulan beribadah, bulan untuk membersihkan jiwa, justru dikotori oleh oknum-oknum tertentu, dijadikan ajang untuk mempromosikan pemahaman/proyek kelompoknya.
Media Sosial, Bagaimana?
Meski demikian, bukan berarti dengan surat Edaran ini permasalahan sudah selesai. PR kita bersama masih banyak, selain terus-menerus mengawal dakwah moderat, masih ada yang tersisa dari lingkup Surat Edaran KPI ini. Yang tersisa itu adalah media sosial.
Penetrasi media sosial, membuat siapa pun –bahkan orang yang tak punya kompetensi sama sekali – bisa di panggil sebagai ustad. Hanya membuat video motivasi, membuat kata-kata bijak, membagikan cerita-cerita sedih penuh haru, tak jarang seseorang sudah di panggil ustad.
Para penceramah provokatif, pencermah yang tidak mengindahkan kebhinekaan, justru bermain di media sosial, You Tube, Facebook, Instagram, dan sebagainya. Bukan rahasia umum lagi, media sosial jadi lahan subur persemaian paham-paham yang bertolak belakang dengan Pancasila.
Kita dengan mudah mendapatkan video ceramah yang menghina agama lain, memprovikasi masyarakat untuk membangkaang kepada pemerintah, sengaja melakukan ujaran kebencian, mengatasnamakan umat untuk melaknat kelompok tertentu.
Inilah yang absen dari Surat Edaran itu, dan ini di luar jangkauan KPI. Adalah tugas kita bersama untuk tetap bersama-sama mangawasi media sosial. Kita tetap berpatroli dan meantau mana-mana saja ceramah yang membuat polarisasi dan kebencian.
Selain itu, yang sering luput dari pantau KPI juga masyarakat umut, para penceramah provokatif itu justru bermain di TV dan radio lokal milik mereka sendiri. Ratusan TV lokal yang berafiliasi dengan kelompok radikal bahkan organisasi terlarang, sampai detik ini, masih bebas berkeliaran. Ini adalah PR kita bersama untuk memberikan dakwah meoderat sebagai alternatif pilihan kepada masyarakat.