Merawat Spirit (Pasca) Ramadan dan Lebaran di Tahun Politik

Merawat Spirit (Pasca) Ramadan dan Lebaran di Tahun Politik

- in Narasi
462
0

Bukan suci Ramadan telah berlalu. Momentum perayaan Idul Fitri pun segera usai dengan berakhirnya masa cuti bersama. Sebagian pemudik akan kembali ke perantauan. Para pegawai akan kembali berkutat ke pekerjaan masing-masing. Anak-anak juga kembali ke bangku sekolah. Rutinitas akan kembali berjalan seperti semula. Pertanyannya kemudian adalah “apa yang tersisa dari Ramadan dan Lebaran?”.

Di dalam sebuah acara talkshow keagamaan, Prof. Dr. Quraish Shihab ditanya oleh seorang jemaah tentang apa ciri muslim yang mendapat keberkahan malam Lailatul Qadar. Prof. Quraish pun menjawab bahwa ciri muslim yang mendapat Lailatul Qadar salah satunya dapat dilihat dari perilakunya setelah Ramadan dan Lebaran yang lebih berperilaku saleh, rajin beribadah, serta lebih tenang dan santun dalam menyikapi kehidupan.

Prof. Quraish menganalogikan seorang muslim yang mendapat Lailatul Qadar seperti orang yang mendapat gaji mabrur. Haji mabrur menurut Prof. Quraish tidak dapat dilihat dari hal-hal simbolik atau mistis selama menjalani ibadah di ranah suci. Seseorang yang hajinya mabrur justru dapat dilihat dari perilakunya pasca menunaikan ibadah haji. Jika ia bersikap lebih takwa dan lebih tawadhu setelah pulang dari ranah suci, maka dipastikan hajinya mabrur. Begitu juga sebaliknya.

Layaknya ibadah haji, puasa Ramadan juga merupakan laku perjalanan spiritual. Di tengah perjalanan itu pasti ada hambatan dan rintangan. Namun, sebuah perjalanan apalagi yang dilalui dengan banyak rintangan dan hambatan pastilah mendatangkan banyak makna dan pelajaran yang bisa dipetik ketika kita sampai pada ujungnya. Jika Ramadan adalah perjalanan, dan lebaran adalah garis finisnya, lalu apa makna dan pelajaran yang bisa dipetik dan dijadikan modal menjalani rutinitas pasca lebaran?

Pelajaran Penting Ramadan dan Lebaran untuk Bangsa

Salah satu pelajaran penting puasa Ramadan ialah komitmen kita untuk melawan hawa nafsu negatif. Tidak hanya nafsu biologis (keserakahan dan sensualitas), namun juga nafsu psikologis (amarah, kecemasan, keterasingan, dan sejenisnya). Pelajaran tentang melawan hawa nafsu negatif ini kiranya penting sebagai modal menjalani rutinitas pasca Ramadan dan Lebaran.

Seperti kita tahu rutinitas kita dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta beragama kerap menjebak kita dalam perilaku individualis, arogan, bahkan intoleran. Tarik-menarik kepentingan di ranah sosial, agama, terlebih politik kerap menimbulkan friksi, gesekan, atau bahkan konflik komunal. Apalagi tahun ini akan menjadi tahun politik yang dipastikan akan riuh oleh debat opini dan arus dukung-mendukung kubu politik yang tidak jarang diwarnai ujaran kebencian.

Seperti kita lihat belakangan ini, di hari raya pun media sosial nyaris tidak pernah sepi dari sebaran siar kebencian berlatar isu politik. Di level akar rumput, masyarakat yang berbeda pilihan politik terlibat saling serang di media sosial. Kontestasi politik 2024 memang masih lama, namun aroma persaingan tampaknya sudah mulai terasa sejak sekarang. Jika tidak dimitigasi dengan baik dan efektif, persaingan politik ini dikhawatirkan akan mengganggu relasi kebangsaan kita.

Adalah hal yang penting untuk menjaga spirit Ramadan dan Lebaran terutama menghadapi tahun politik ini. Menjalani tahun politik ini, seluruh elemen bangsa harus pandai menahan diri dari sikap amarah, arogan, dan intoleransi. Jangan sampai perbedaan pilihan politik diekspresikan melalui ujaran kebencian dan permusuhan. Persaingan politik idelnya disikapi secara bijak.

Dukung-mendukung capres seharusnya diletakkan dalam kerangka mencari sosok pemimpin bangsa yang adil dan kompeten. Disaat yang sama para elite politik idealnya setia pada prinsip demokrasi yang sehat. Demokrasi yang sehat dicirikan dengan proses suksesi kekuasaan yang berlangsung aman dan damai, steril dari konflik dan perpecahan. Di titik ini, para elite politik harus mengembangkan model kampanye politik yang berbasis pada gagasan dan program kerja, bukan mengeksploitasi sentimen identitas belaka.

Selain pelajaran menahan amarah, salah satu pelajaran penting terkait momentum Lebaran adalah sikap saling legowo dan memaafkan kesalahan. Perilaku ini relevan untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari terutama di tahun politik yang panas ini. Di tahun politik ini, kita perlu gerakan rekonsiliasi kebangsaan yang bertujuan mengikis konflik dan kebencian antar-kelompok masyarakat. Tradisi silaturahmi dan halal bi halal yang menjadi tradisi Lebaran kiranya bisa menjadi jembatan untuk mempertemukan berbagai pihak yang selama ini berjarak karena konflik kepentingan.

Spirit Ramadan yakni menahan nafsu negatif dan spirit Lebaran yang identik dengan silaturahmi dan saling memaafkan kiranya bisa dirawat dan dilestarikan. Dengan merawat spirit Ramadan dan Lebaran, kita patut optimistik mampu melewati tahun politik ini dengan aman dan damai steril dari narasi kebendian dan provokasi perpecahan.

Facebook Comments