Merawat Toleransi, Menjaga Kerukunan Bangsa

Merawat Toleransi, Menjaga Kerukunan Bangsa

- in Narasi
3561
0

Mengutip hasil dari The Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XV di Manado dengan mengangkat tema “Harmony in Diversity: Promoting Moderation and Preventing Conflict in Socio Religious Life” (Fathurrahman Ghufron, 2016). Ada lima butir “Deklarasi Manado” yang perlu dicermati bersama. Pertama, meyakini bahwa keragaman bangsa Indonesia adalah sumber kekuatan. Kedua, bertekad menjaga suasana damai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk Indonesia yang kuat, sejahtera, dan berdaulat. Ketiga, akan bahu membahu dengan semua komponen bangsa untuk mencegah setiap usaha, gerakan, dan pemikiran yang dapat mengusik kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat, mendukung setiap langkah negara untuk mencegah berkembangnya segala bentuk fanatisme, ekstrimisme, dan radikalisme yang mengatasnamakan suku, agama, ras, dan golongan. Kelima, mengajak semua komponen bangsa untuk berperan aktif dalam menegakkan nilai-nilai kebersamaan dan menjaga kedamaian.

Kelima point tersebut diatas sekiranya sangat tepat untuk kemudian kita refleksikan dan kontekstualkan kembali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Point of interest yang perlu digarisbawahi bersama yakni adanya sikap saling menghormati keragaman yang menjadi fitrah bangsa ini untuk kemudian bersama-sama menjaga kedamaian serta kerukunan dengan mencegah segala pemikiran yang secara sistematis ingin merusak kenyamanan publik. Publik harus memiliki kohesi sosial yang kuat sehingga tidak lahir rasa saling curiga, apalagi saling menuduh atas umat beragama.

Adapun pada zaman Orde Baru, kita mengenal istilah Tri Kerukunan Umat Beragama dengan penjabarannya yakni: kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Konsep kerukunan umat beragama tersebut tentunya cukup relevan untuk kemudian dijadikan pegangan bagi setiap individu maupun kelompok beragama untuk kemudian mengedepankan nilai-nilai penghormatan dalam menjalin relasi sosial. Secara sosiologis, ikatan sosial yang seharusnya mengakar dalam pola relasi-komunikasi antar umat beragama di Indonesia adalah ikatan yang didasarkan pada pemahaman atas toleransi.

Kita tidak bisa memungkiri pada setiap relasi sosial yang terjadi sudah menjadi keniscayaan akan terjadi gesekan yang kemudian jika tidak dikelola dengan baik akan memunculkan konflik. Gesekan tersebut sangat mungkin terjadi dikarenakan adanya perbedaan dalam memahami persoalan, seperti salah satunya memahami teks (ayat) dalam kitab suci, sebagai contoh mengenai ucapan selamat Natal. Ada sebagian umat Islam yang berpegang teguh bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan secara hukum Islam, namun di sisi yang lain ada sebagian umat Islam yang menganggap ucapan tersebut masih diperbolehkan dalam kerangka muamalah. Jika kemudian publik hanya berpegang pada perspektif masing-masing, sudah tentu nalar yang terbangun adalah “pokoke” sehingga hanya ada satu tafsir kebenaran yang muncul, maka tidak mengherankan jika perdebatan serta konflik menjadi situasi yang tidak terelakkan.

Pada konteks inilah kedewasaan sosial sebagai overview menjadi penting, sudah tentu persoalan tersebut tidak hanya berhenti pada umat Islam ansich, namun begitu juga sebaliknya dengan umat beragama yang lain. Kedewasaan sosial tersebut hanya bisa dilakukan jika masing-masing meletakkan cara pandang toleransi sebagai pijakan dasarnya. Ini berarti bahwa tidak perlu saling menuding, tidak perlu saling menghakimi, dan tidak perlu saling merasa benar. Penting kemudian untuk membangun konstruksi kebenaran bersama, tanpa kemudian menegasikan kebenaran yang diyakini secara personal. Dengan nalar seperti ini niscaya, potensi konflik akan lebih mudah diredam, dan akan lebih mudah untuk membangun konsensus bersama.

Kerukunan umat beragama adalah keniscayaan bagi bangsa ini, karena secara fitrah kita memang dilahiran dalam rahim multikulturalisme. Artinya, kita tidak boleh gagap melihat diri kita sendiri. Justru keberagaman inilah menjadi kekuatan dan kunci kerukunan karena dalam Al-Qur’an Surat Al Hujurat ayat 10, dijelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah menciptaan umat manusia secara bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Konteks saling mengenal inilah yang menandakan bahwa kita diperintahkan untuk saling memahami, mengerti, dan mengedepankan prasangka baik, dengan kata lain Islam telah mengajarkan umat nya untuk memegang teguh toleransi, lakum dinukum waliyadin.

Menjaga kerukunan adalah tugas bersama seluruh elemen bangsa, utamanya umat beragama. Oleh karena itulah merawat toleransi adalah satu-satunya cara agar kerukunan tersebut tetap terjaga. Disamping itu, hal penting yang harus menjadi pemahaman bersama yakni hindari sikap saling menuding dan memberikan label kepada orang lain.Wallahu’alam

Facebook Comments