Kafir Secara Sosial

Kafir Secara Sosial

- in Keagamaan
5217
0
photo by: fourseasons.con

Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi menghitung, setidaknya ada 525 kata jadian kafara (al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Qur’an al-Karim, h. 605-613). Penulis al-Munjid fî al-Lughah wa al-A’lam (h. 691), Louis Ma’luf, memaknai kafara dengan satara dan ghaththa. al-Kufr sendiri dimaknainya sebagai khilaf al-iman (kebalikan percaya).

Sedang al-kafir dimaknainya sebagai al-jahid li ni’ami Rabbih (pengingkar nikmat Allah SWT). Dikatakan penulisnya, al-kuffâr sebagai bentuk plural dari al-kafir dengan makna kebalikan iman lebih banyak dipakai dalam berbagai ayat al-Qur’an. Sedang al-kafarah sebagai bentuk jamak dari al-kafir lebih banyak dipakai untuk kafir al-ni’mah atau pengingkaran terhadap nikmat-Nya.

al-Tahir Ahmad al-Razi, dalam Qamus al-Muhith (h. 64) menuliskan, kafara bermakna satara atau ghaththa, yang berarti menutupi. al-Kufr (dengan harakat dammah) bermakna dhidd al-iman (lawan keimanan). Dan al-kafir adalah al-jahid li an’um Allah (pengingkar nikmat Allah SWT). Arti menutupi ini juga dipakai al-Raghib al-Asfahani, dalam Mu’jam Mufradat Alfadh al-Qur’an (h. 451). Sedang Munir Ba’albaki, dalam Qamus al-Maurid (h. 1006), mengartikan kafir dengan unbeliever.

Dalam Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya (h. 63), Muhammad Galib Mattola menjelaskan, secara umum kata kufr beserta kata jadiannya yang terdapat dalam al-Qur’an, memiliki makna berbeda-beda sesuai konteksnya. Karena itu, bahkan jadian kata ini (kuffar) ada yang bermakna para petani (Qs. al-Hadid [57]: 20). Petani disebut kuffar karena pekerjaannya menutupi/menimbun benih tanaman dengan tanah untuk ditanam.

Pengertian ini menunjukkan, terma kufr dalam al-Qur’an tidak selamanya bermakna pengingkaran terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya. Jika demikian, maka perilaku kufr tidak selamanya identik dengan kelompok ateis, musyrik, atau non muslim lainnya. Orang muslimpun bisa terjerumus pada perilaku kufr dalam pengertiannya yang khusus.

Quraish Shihab, dalam karyanya Wawasan al-Qur’an (h. 216) menyatakan, kafara yang berarti menutup-nutupi, diantara maknanya adalah melupakan nikmat dan menutup-nutupinya (Qs. Ibrahim [14]: 7). Menurutnya, pengertian ini menunjukkan jika kafara adalah lawan dari syakara yang bermakna membuka.

Ulama lain banyak yang menawarkan definisi kekafiran secara berbeda-beda. Dikutip oleh Nashir bin ‘Abd al-Karim al-‘Aql, dalam Islamiyyah la Wahhabiyyah (h. 254), Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab misalnya menyatakan, rukun atau pondasi keber-Islam-an (arkan al-Islam) itu lima; syahadatain (dua penyaksian) dan empat rukun yang lainnya. Jika keempat rukun terakhir ini diabaikan atas dasar penyepelean (tahawunan), maka jikapun pelakunya dibunuh atas perbuatannya, namun ia tidak boleh dikafirkan. Menurut pendiri aliran Wahabiyah ini, pihaknya tidak mengafirkan siapapun kecuali ia mengingkari apa yang telah disepakati seluruh ulama, yaitu syahadatain (kesaksian tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad utusan-Nya). Jika dua hal ini diingkari, maka pengingkarnya baru bisa disebut kafir.

‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abi al-‘Izz al-Dimasyqi, dalam kitabnya Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah (I/204) menyatakan, tidak ada keraguan perihal kekafiran orang yang mengingkari al-Qur’an sebagai firman Allah SWT. Menurutnya juga, siapa mengingkari apa yang datang dari Rasulullah SAW adalah kafir. Siapa yang mengaku mengetahui kegaiban, juga kafir (I/343). Hal serupa dinyatakan penulis al-Tafsir al-Munir (XXX/342), Wahbah al-Zuhaili. Terkait Qs. al-Bayyinah [98]: 1 misalnya, al-Zuhailî menyatakan, bahwa kufr dalam ayat ini dialamatkan kepada orang-orang yang menolak dan menentang kerasulan Muhammad SAW.

Namun demikian, ada juga yang menilai bahwa terminologi kufr yang ada terkadang cenderung ideologis dan politis. Pandangan ini misalnya, dilontarkan oleh Islah Gusmian dalam Khazanah Tafsir Indonesia (299-300). Dicontohkannya, Amerika Serikat (AS) yang oleh sebagian muslim di negeri ini dicap sebagai negara kafir, tak lain karena alasan visi dan kebijakan politiknya dianggap senantiasa merugikan umat Islam di berbagai belahan dunia, disamping dipimpin orang non-muslim. Penyerangan atas Afganistan, tuduhan teroris pada muslim militan, dan sebagainya, adalah bukti kekafiran itu. Kebijakan yang tidak menguntungkan dan berarti merugikan kaum muslim, oleh beberapa pihak juga menyebabkan pelakunya dicap kafir.

Dalam Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (549-550), Khaled Abou El Fadl menyatakan, dalam konteks teologi Islam, kufr berarti menutup kebenaran ketika kebenaran tersebut telah tampak jelas. Ia juga memaknai kufr dengan tidak berterima kasih, tidak percaya kepada-Nya. Kafir, dengan demikian, diartikan sebagai orang yang menentang Tuhan atau kenabian Muhammad SAW (h. 548).

Intelektual muslim Afrika Selatan, Farid Esack, dalam karyanya Qur’an, Liberation and Pluralism (h. 177), memberikan tawaran reinterpretasi radikal terhadap term kufr. Menurutnya, jika istilah ini disalahmaknakan dan tidak dipahami secara dinamis, maka akan sangat rawan menimbulkan kesenjangan, bahkan konflik sosial. Dalam merefleksikan makna kufr ini misalnya, Farid Esack yang berlatar belakang orang yang tertindas oleh rezim Apartheid dan sekaligus aktivis gerakan pembebasan di Afrika Selatan, acap berpijak pada Qs. Ali ‘Imran [3]: 21-22.

Menurut Esack, teks ayat ini menggabungkan yang doktrinal (kufr) dengan yang sosiopolitis (keadilan). Bukan hanya mencela kufr dan orang-orang yang menghalangi keadilan, teks ini bahkan menjanjikan bagi mereka “siksaan yang pedih” dan hilangnya dukungan. Dan kalimat “orang-orang yang menolak ayat-ayat Allah” adalah salah satu cara untuk menggambarkan kaum lain dalam al-Qur’an, dengan memakai bentuk-bentuk dari kufr. Bentuk lain adalah kafir dan jamaknya kuffar atau kafirun (h. 178). Farid Esack juga menyatakan dalam On Being a Muslim (h. 90), dosa terbesar di dalam al-Qur’an adalah kufr, mengingkari karunia Allah SWT. Ia lantas merujuk Qs. Ibrahim [14]: 7.

Dikatakan Esack, penggunaannya yang lebih luas sebagai penolakan keyakinan, kafir pertama kali dipakai untuk menunjuk warga Makkah yang menghina Nabi Muhammad SAW, dan, kemudian di Madinah, juga kepada unsur di kalangan Ahli Kitab. Setelah wafat Nabi Muhammad SAW, penggunaannya diperluas oleh berbagai kelompok untuk mengeluarkan kelompok lain yang berbeda dengannya (Qur’an, Liberation and Pluralism, h. 180).

Karena itu, lebih jauh Esack menyatakan, ada beberapa hal penting yang mesti diindahkan. Misalnya, Pertama, yang dicela al-Qur’an sebagai kufr adalah perilaku bermusuhan terhadap Islam dan Muslim, dalam pengertian tunduk kepada Tuhan dan orang-orang yang ingin mengorganisasi keberadaan kolektif mereka atas dasar ketundukan ini. Kedua, al-Qur’an menggambarkan kafir sebagai sosok yang mengetahui keesaan Tuhan dan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya, namun memilih menolak mengakuinya. Ketiga, al-Qur’an juga menerangkan secara spesifik soal motif keputusan kufr untuk menolak memegang keyakinan tertentu.

Pemikir muslim India, Asghar Ali Engineer dalam Islam dan Teologi Pembebasan (h. 10) menyatakan, yang disebut al-kafiruna haqqan sebagaimana diisyaratkan Qs. al-Nisa’ [4]: 150-151, adalah mereka yang tidak menerima semua nabi yang diutus oleh Tuhan dan membeda-bedakan diantara mereka. Nyatanya tidak semua nabi namanya tertera di dalam al-Qur’an (Qs. al-Nisa’ [4]: 164).

Di kesempatan lain, Asghar mengaitkan kekafiran dengan kemiskinan. Mengutip Hadis Nabi “Aku berlindung kepada Tuhan dari kemiskinan dan kekufuran” (Shahih Ibn Hibban, III/300, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, I/712), ia menyatakan, Nabi Muhammad SAW mengidentikkan antara penderitaan, kemiskinan dan kekafiran. Ketiganya sangat tercela dan perlu dihapuskan dari muka bumi. Kufr sendiri adalah lawan iman, sedang penderitaan dan kemiskinan adalah masalah moral dan budaya; dan keduanya merupakan negasi dari fî ahsan taqwim.

Karena itu, menurut Asghar Ali, jika seorang muslim harus memerangi kekafiran, berarti secara otomatis ia juga harus memerangi kemiskinan. Membiarkan kemiskinan sama halnya dengan memelihara kekafiran. Dengan demikian, perang melawan kemiskinan merupakan bagian integral dari keyakinan Islam (h. 99-100). Asghar Ali juga meyakini, orang yang berupaya menancapkan dominasinya dan menindas golongan masyarakat lemah adalah kafir, apapun aliran agamanya. Dan permulaan kekafiran menjadi awal dari dominasi bumi oleh si kuat terhadap si lemah, sehingga yang kuat akan mengubah bumi ini menjadi neraka (h. 163).

Facebook Comments