Pada dasarnya radikalisme dan terorisme di Indonesia mutakhir tak jauh dari peristiwa-peristiwa politik harian. Para aktivis kontra radikalisme dan terorisme serta pihak yang berkompeten perlu menyeksamai perhelatan politik semacam pilpres dan pilkada, sebab pada tataran diskursif ekspresi-ekspresi radikalisme Islam seperti khilafahsemakin ramai dan berkelindan dengan isu-isu politik praktis .
Taruhlah pada momen pilkada Jakarta pada 2018 dan pilpres 2019 lalu, ekspresi radikalisme keagamaan seperti membonceng atau menjadi bagian dari massa pendukung kandidat tertentu. Politik sektarian akhirnya menjadi fenomena dominan dalam percaturan politik praktis di Indonesia. Tapi patut diingat bahwa radikalisme tak juga mutlak ditunjukkan oleh sekumpulan massa yang memakai atribut dan simbol keagamaan tertentu, yang berbasis ideologi sekular pun juga turut ambil bagian dalam kelindan isu-isu politik praktis (Pancasila Sebagai Sebentuk Nalar Publik, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).
Hal itu mengindikasikan bahwa selama ini gerakan-gerakan radikalisme di Indonesia mutakhir adalah semacam gerakan-gerakan yang sudah terbentuk, meskipun samar, dan sewaktu-waktu akan menunjukkan taringnya ketika momen yang tepat—seperti perhelatan politik praktis—tiba. Dengan demikian, secara diskursif, pada dasarnya yang terjadi selama ini di Indonesia adalah adanya pengarahan dan pengerahan massa yang seringkali bersifat tak tersadari.
Populisme yang menjadi gejala dominan beberapa tahun belakangan ini di Indonesia memang menjadi keuntungan tersendiri bagi gerakan-gerakan radikal, baik yang bercorak keagamaan maupun yang non-keagamaan. Dan patut diseksamai bahwa gerakan-gerakan itu sudah dalam keadaan siap sedia, tinggal menunggu momen dan arahan yang tepat.
Seandainya disimak struktur dan karakteristik gerakan mereka senantiasa sama sejak pasca pilpres 2014: kekaburan kepentingan dan agenda yang tak gampang diidentifikasi dan apa yang pernah saya sebut sebagai histeria dan neurosis obsesional yang mendasari gerakan mereka di lapangan.
Oleh karena itu, pada dasarnya, agama (dan spiritualitas semu) serta ideologi-ideologi besar yang sekularistik hanyalah kemasan atau tutup atas sesuatu yang jauh dari itu semua. Saya kira ideologi adalah masalah yang sudah selesai pada kasus radikalisme dan terorisme mutakhir di Indonesia (Hikayat Binatang Beragama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Sebab, dari kebanyakan pelaku radikalitas dan teror yang selama ini berhasil dibekuk menunjukkan bukti bahwa mereka sebenarnya tak tahu apa-apa terkait agama ataupun ideology yang mereka bawa. Kita tak lagi menghadapi sosok seperti Nurdin M. Top ataupun Dr. Azhahari, dua gembong utama jaringan terorisme JI yang pernah mengguncang Indonesia. Gerakan radikalisme dan terorisme mutakhir di Indonesia yang umumnya berinduk pada IS (Islamic State) tak lagi mengambil pendekatan teroristik ala Al-Qaeda ataupun JI yang sangat kuat dari segi ideologinya. Kita layaknya nenghadapi sekumpulan preman atau bekas preman yang mengklaim sudah bertobat. Bukankah pendekatan terorisme purba adalah premanisme (Mengakrabkan Diskursus Kontra Radikalisme-Terorisme Pada Anak-anak, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id)?
Meskipun radikalisme dan terorisme mutakhir di Indonesia terjangkit pula oleh populisme tak berarti mereka tak menyasar kalangan berpendidikan ataupun kalangan elit. Pada tahun 2017-2018, saya masih ingat, banyak kalangan kampus—mulai dari para mahasiswa/i dan para staf pengajarnya—menjadi simpatisan dan bahkan anggota HTI (Sontoloyo, Sempalan, dan Gerakan-Gerakan Kutu Rambut, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Demikian pula pada kalangan ASN, radikalisme pernah pula menyusupinya sehingga kebijakan-kebijakan mereka kerapkali diskriminatif dengan berlatar sentimen ataupun simbol-simbol (sekte) agama tertentu yang kemudian mereka klaim sebagai “Islam” (Gelagat: Antara Pancasila dan Kerangka Pikir Para Aparatur Negara, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com).
Radikalisme mutakhir, tak terpungkiri lagi, memang perkara yang pelik dan tak gampang untuk diputus mata rantainya. Sebenarnya sungguh tak ada jaminan bahwa, ketika berbicara institusi, orang akan teradikalisasi begitu masuk pada sebuah sistem ataupun habitat tertentu. Tak sebagaimana dahulu, radikalisme di Indonesia mutakhir sudah terpupuk bahkan sejak dari keluarga atau sebelum orang yang bersangkutan masuk menjadi anggota resmi sebuah institusi. Sekarang orang seperti sudah terhubung oleh “jaringan” tertentu meski sebelumnya tak saling mengenal secara personal. Ada beragam kebijakan pemerintah pula yang saya kira dimanfaatkan oleh kalangan radikal yang sudah terlebih dahulu menyusup ke sebuah institusi dimana posisi mereka terbilang strategis. Taruhlah kebijakan pemerintah terkait sistem zonasi dan wacana full day school yang pernah pula ditengarai akan meminggirkan dan menyingkirkan kalangan Islam tertentu, kalangan yang dirasa menjadi ancaman, dan bahkan kalangan non-muslim pada tahun 2017-2018—yang berkelindan pula dengan kasus pemaksaan jilbab pada beberapa sekolah negeri umum (Perda Intoleransi, Perda Radikalisme, dan Nasib RUU Antiterorisme.