Milenial menjadi satu kelompok paling menjadi sorotan beberapa tahun belakangan. Jumlahnya yang mendominasi, membuat milenial menjadi generasi paling berdampak signifikan bagi bangsa ke depan. Tanpa terkecuali, dalam kehidupan beragama di masyarakat. Milenial muslim misalnya, menjadi kelompok yang menarik dicermati dalam menerpong kehidupan beragama di Indonesia hari ini dan masa depan.
Milenial begitu dekat dengan teknologi informasi digital. Generasi pengguna gadget dan media sosial ini sehari-hari hidup bergelimang informasi, termasuk informasi atau konten keagamaan. Tak heran jika milenial muslim banyak dipengaruhi ajaran keagamaan dari internet.
Di satu sisi, milenial muslim memiliki gairah belajar agama yang besar. Ketaatan beragama menjadi hal penting. Mereka bahkan menganggap identitas dan atribut keagamaan juga penting ditunjukkan, sebagaimana terlihat dari tren busana muslim, makanan halal, wisata halal, dan sebagainya.
Namun, generasi muda biasanya belum memiliki kemapanan psikis dan spiritual. Gairah beragama yang besar, psikis dan spiritual yang masih lemah, ditambah mudahnya akses ke konten keagamaan membuat milenial muslim rentan terpengaruh berbagai ideologi lain di dunia maya. Termasuk, ideologi radikalisme agama yang menjerumuskan mereka dalam pandangan kekerasan dalam beragama.
Baca Juga : Badai Remaja, Radikalisme, dan Islam Washatiyah
Ada banyak contoh kasus pelaku teror yang berasal dari kalangan anak muda. Mereka juga diketahui terpapar paham radikalisme-terorisme dari internet dan media sosial. Di samping itu, survei Alvara Research Center (ARC) menemukan, dari 4.200 milenial di Indonesia ada 17,8 persen yang setuju khilafah sebagai bentuk negara. Menurut CEO ARC Hasanuddin, paparan konservatisme dan radikalisme di kalangan milenial tersebut tak bisa lepas dari konsumsi internet yang sangat tinggi (cnnindonesia.com, 07/03/2018).
Dakwah digital yang menarik milenial
Melihat kondisi tersebut, penting menguatkan pandangan keagamaan moderat bagi milenial. Sebagai generasi yang sangat berpengaruh, milenial muslim di Indonesia harus memiliki semangat beragama yang moderat: pertengahan, santun, toeran, damai, dan membawa pada kebaikan dan persaudaraan. Bukan beragama yang penuh kebencian, kekerasan, dan membawa perpecahan.
Milenial muslim yang moderat akan menjadi investasi penting bagi terjaganya keharmonisan bangsa di masa depan. Sebab, bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, kaya akan perbedaan. Sehingga, untuk menciptakan keharmonisan, butuh sikap saling menghormati, menghargai, toleran, dan persaudaraaan.
Milenial adalah generasi yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka punya karakteristik tersendiri, terutama terkait kedekatannya pada teknologi digital. Oleh karena itu, pendekatan dakwah terhadap milenial juga harus dengan strategi-strategi khusus.
Menurut penulis, sangat penting menguatkan dakwah moderasi beragama secara digital dengan kemasan menarik. Sekarang ini zamannya serba digital. Pun, dakwah moderasi beragama juga tak boleh ketinggalan. Dakwah konvensional memang tetap berjalan, namun menyepelekan dakwah digital hari ini jelas kesalahan fatal. Maka, situs-situs dakwah Islam moderat mesti terus dibangun dan terus menyebarkan ajaran-ajaran agama secara ramah dan damai. Jangan sampai, dunia maya justru dikuasai situs-situs penyebar ideologi radikalisme agama.
Selain terus memperbanyak penetrasi dakwah digital tersebut, tampilan, narasi, dan kemasan yang menarik juga penting diperhatikan. Peneliti Universiti Kebangsaan Malaysia, Hew Wai Teng (2015), dalam tulisannya tentang dakwah digital di Indonesia dan Malaysia menyebutkan bahwa keberhasilan dakwah dai milenial karena tiga aspek: estetika visual, menggunakan cara yang komunikatif (seperti forum tanya-jawab), dan strategi marketing (Muhammad As’ad, 2019).
Artinya, boleh jadi kualitas atau isi suatu dakwah berkualitas, namun tidak maksimal diterima kalangan milenial karena tiga aspek tersebut tidak begitu diperhatikan. Jadi, untuk bisa menguatkan pandangan Islam moderat di kalangan milenial, dakwah harus benar-benar memerhatikan aspek-aspek seperti visual, strategi komunikasi, dan marketing tersebut.
Selain itu, penulis melihat penting juga untuk melahirkan pendakwah atau da’i muda. Kita tahu, yang lebih tahu dan mengerti anak muda biasanya adalah kalangan anak muda juga. Dengan banyaknya da’i muda yang menyebarkan Islam moderat, diharapkan makin banyak generasi milenial atau anak-anak muda yang tertarik dan terus mendalami keberagamaan yang moderat dan damai.
Seperti juga diungkapkan pengamat terorisme Ridlwan Habib, sulitnya situs NU dan Muhammadiyah mencuri perhatian kaum milenial disebabkan nihilnya tokoh muda. Selain itu, narasi dan kemasan yang disuguhkan di situs atau media sosial mereka (NU dan Muhammadiyah) kalah renyah. Ia bahkan menyarankan untuk memperbanyak konten-konten keagamaan dengan pendekatan yang disukai anak muda, seperti percintaan dan pencarian jati diri (bbc.com, 20/02/2019).
Kita berharap, dengan memaksimalkan dakwah moderasi Islam secara digital kepada kaum milenial, akan tumbuh banyak generasi muda yang memiliki semangat moderasi dalam beragama. Semangat beragama yang moderat atau Islam Washatiyah tersebut akan menjadi benteng yang melindungi generasi milenial dari berbagai ideologi atau paham-paham radikal yang beterbaran di dunia maya.
Berbekal pemahaman agama yang moderat, anak-anak muda milenial tersebut akan tumbuh menjadi individu-individu penebar Islam Rahmatan Lil alamin, yakni Islam yang membawa rahmat dan kebaikan bagi seluruh alam semesta. Beragama menjadi jalan menyebarkan kasih sayang, persaudaraan, dan kebersamaan, sehingga membawa kebaikan dan kemanfaatan bagi semesta. Wallahu a’lam