Di era media sosial, beragam kemudahan menyebarkan informasi telah mengubah paradigma netizen atau pengguna internet dalam banyak sektor kehidupan. Terutama, dalam paradigma keagamaan. Banyak situs atau postingan keagamaan viral yang disebarkan di antara kalangan milenial berisi narasi-narasi dakwah yang menggunakan narasi beragama secara hitam-putih. Saya benar dan kamu salah. Akibatnya, seringkali muncul ujaran-ujaran di medsos yang anti-toleran. Tidak mempropagandakan serta menerapkan konsep-konsep beragama secara damai dan sejuk.
Padahal, apabila kita mau menelusuri lebih jauh, Islam merupakan agama rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya’: 107). Dan, Nabi Muhammad SAW juga merupakan teladan umat Islam yang sungguh-sungguh dalam memanusiakan manusia. Diriwayatkan, Nabi Muhammad selalu memberi menyuapi makanan kepada pengemis buta di pojok Pasar Madinah secara lemah lembut, meskipun setiap kali memberi makan selalu mendengar cacian dan hinaan yang dilayangkan oleh pengemis tersebut kepadanya. Akan tetapi, Rasulullah tidak marah dan tetap konsisten berbuat baik kepada pengemis tersebut hingga suatu hari pengemis itu masuk Islam sebab diberitahukan keluhuran akhlak Nabi Muhammad Saw. Sungguh begitu luhur akhlak Rasulullah yang tidak sedikit pun membuka ruang untuk menebarkan kebencian kepada sesama.
Dalam konteks dakwah Islam, seharusnya praktik-praktik akhlak mulia dalam tutur kata dan perbuatan sebagaimana Rasulullah Saw. juga harus dipertontonkan oleh ustaz atau kyai sebagai rujukan dan teladan umat. Ini karena kedalaman ilmu seorang ulama sungguh seharusnya tercermin dari akhlak yang baik. Hanya saja, di era media sosial konsep dakwah Islam yang seharusnya mengedepankan akhlak dan kedalaman pemahaman ilmu agama tidak lagi menjadi rujukan utama. Justru tingkat ketenaran seseorang sebagai seorang ustaz, kyai atau pendakwah di media sosial yang menjadi tolak ukurnya.
Hal ini membuka ruang bagi siapapun yang bisa berbicara perihal keagamaan di medsos dengan narasi yang menyentuh emosi netizen –meskipun tanpa pemahaman keagamaan yang mumpuni– untuk viral dan selanjutnya menjadi rujukan umat. Dan, itulah yang terjadi di masa-masa sekarang. Ustaz muda yang viral karena mampu memikat emosi kalangan milenial meskipun tanpa memiliki legitimasi ilmu agama layak, kini justru menjadi rujukan umat. Parahnya, semua isu keagamaan dikomentari dengan membabi buta. Mereka juga dengan mudah melabeli sesama dengan sebutan bid’ah, syirik atau kafir.
Baca Juga : Badai Remaja, Radikalisme, dan Islam Washatiyah
Banyak ustaz viral ini mengaku kembali kepada al-Qur’an dan Hadits secara kaffah,padahal tools untuk memahami bahasa Alquran dan hadits saja tidak memilikinya. Tidak sedikit yang hanya belajar agama dari terjemahan Alquran dan sunnah. Padahal, terjemahan merupakan bentuk interpretasi penerjemah terhadap teks pula. Tentu saja, pengakuan kembali pada Alquran dan hadits sungguh tidak berdasar dan salah kaprah. Adapula yang mengaku belajar dari Rasulullah secara langsung. Hanya saja, karena ribuan tahun lalu Rasulullah telah wafat dan di sisi lain, konsep dakwah yang diusung juga sangat berbeda dengan yang dipraktikkan nabi, maka legitimasi tersebut sungguh sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan. Karena, Islam yang benar adalah Islam yang diteladankan Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat yang melihat serta meneladani sikap rasulullah secara langsung.
Meresonansikan Islam Wasathiyah
Sungguh praktik dakwah sebagaimana penulis ungkapkan di atas berseberangan dengan prinsip Islam yang menganut wasathiyah sebagaimana diteladankan Nabi Muhammad Saw. Wasathiyahbermakna tawasuth. Bermakna, jalan tengah yang lurus. Tidak ekstrem kanan dan kiri. Wasathiyah juga berarti i’tidal, berlaku proporsional, adil, dan tanggung jawab. Wasathiyah juga mengandung makna tasamuh, toleran, mengakui dan menghormati perbedaan dalam semua aspek kehidupan. Ia juga berarti syuro, bersandar pada prinsip musyawarah dalam menyelesaikan masalah untuk mencapai konsensus.
Wasathiyahjuga membawa arti islah, terlibat dalam tindakan yang reformatif dan konstruktif untuk kebaikan bersama. Berikutnya, wasathiyah juga bermakna qudwah, melahirkan inisiatif yang mulia dan memimpin untuk kesejahteraan manusia. Terakhir, wasathiyah juga berarti muwathonah, mengakui negara bangsa dan menghormati kewarganegaraan.
Prof. Quraish Syihab menyebut, penerapan konsep Islam wasathiyahberkaitan erat dengan pemahaman keagamaan. Artinya, semakin seseorang memiliki kedalaman ilmu agama, sungguh ia mencerminkan akhlak-akhlak mulia yang meresonansikan Islam wasathiyah. Sebaliknya, seseorang yang dengan mudah menyakiti hati sesama dengan melabeli bid’ah, syirik atau kafir, maka sungguh mereka masih memiliki pemahaman keagamaan yang dangkal. Mereka masih perlu banyak belajar pemahaman keagamaan menyeluruh sebelum mendakwahkan Islam secara benar.
Hanya saja, seseorang yang terlebih dahulu viral sebagai ustaz sebelum memiliki pemahaman keagamaan yang kaffah umumnya bebal untuk belajar agama secara menyeluruh. Akibatnya, jamaahnya pun turut memiliki pemahamaan keagamaan yang serupa dengan ustaznya. Sama-sama menganut paham Islam hitam-putih dan intoleran. Itulah sebab, politik identitas, kekerasan atas nama agama, bom bunuh diri serta tindakan-tindakan radikal dan terorisme lainnya masih menjadi hantu di bumi NKRI. Maka itu, marilah bersama memperdalam pemahamaan keagamaan secara benar dan meresonansikan dakwah Islam yang menganut prinsip wasathiyah. Apabila ustaz viral secara masif menyebarkan konten-konten berhaluan wasathiyah, toleran dan damai, niscaya pesan tersebut akan mudah sampai di tangan generasi milenial yang haus keagamaan. Perlahan tapi pasti, fenomena keagamaan Islam akan mengarah pada iklim positif. Mengedepankan cinta kasih dan toleransi terhadap sesama. Wallahu a’lam bish-shawaab.