Mitologi Qurban dan Jembatan “Spiritualitas Kemanusiaan”

Mitologi Qurban dan Jembatan “Spiritualitas Kemanusiaan”

- in Narasi
2987
0
Mitologi Qurban dan Jembatan “Spiritualitas Kemanusiaan”

“Ibrahim melihat ke atas dan di tengah semak belukar ia melihat seekor domba jantan terperangkap oleh tanduknya. Ia pergi mengambil domba jantan itu dan mempersembahkan-nya sebagai korban, sebagai pengganti anaknya. Jadi Ibrahim menamai tempat itu “Tuhan menyediakan”, dan sampai hari ini dikatakan, “Di atas gunung Tuhan itu akan disediakan”. (Kejadian 22: 13-14).

Secara kajian mitologi, nama “Ibrahim” (Abraham) dalam bahasa Taurat. Dalam kata “Tuhan akan menyediakan” merupakan bentuk kata kerja yang akan datang the order of life afterwards. Karena 500 tahun setelah itu, kata “Tuhan akan menyediakan” terus disebutkan. Jelas ini sebagai substansi hukum dinamis untuk semangat kebaikan tatanan manusia. Bagaimana “napak tilas” sejarah Nabi Ibrahim dalam Islam ini dijadikan festival penguatan nilai kemanusiaan dalam bentuk ibadah Qurban tersebut.

Ketika Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya yang bernama Ismail, lalu pada akhirnya (dinisbatkan) kepada hewan ternak. Maka sebetulnya dalam metodologi spiritualitas Islam, ini juga disebut sebagai Dalalah-lafdzi sebagai cara Allah SWT di dalam menuntun umat manusia ke dalam perilaku dan tindakan yang selalu ikhlas dan tulus untuk mengorbankan sesuatu yang dicintai. Karena akan manis di akhir. Membentuk jalan spiritualitas Qurban yang “transcendent dan imanen” untuk bisa menjembatani kemanusiaan dan solidaritas saling membantu satu sama lainnya.

Dalam ranah etymological spirituality, Ibadah sejatinya tidak hanya sekadar stagnan kepada amanah ketundukan. Bukan sesuatu yang sifatnya “transcendent imanen” dan bukan hanya sekadar “formalitas beragama”. Tetapi substansi di dalamnya harus membuka pintu-pintu (metafisika spiritualitas) untuk membentangkan kesadaran sosial. Bahwa sangat mutlak sebagai kebenaran di dalam membentuk kebudayaan masyarakat high quality dalam nilai “Civil Society”. Karena jalan spiritualitas Qurban tersebut sebagai refleksi ilahiah akan terbentuknya nilai-nilai kemanusiaan tadi.

Baca Juga : Menilik Kesalahan Paham Khilafah Islamiyah dari Kacamata Islam

Apa daya apabila peradaban umat manusia bergerak stagnan tanpa kepedulian sesama untuk saling membantu satu sama lainnya. Tatanan umat manusia terbentuk bebal dengan konsep manajemen diri yang sulit merelakan sesuatu yang paling berharga untuk diberikan kepada orang lain. Konsep embrio kapital yang hanya memiliki kepentingan nilai personal. Tanpa berpikir ulang akan kesadaran untuk berbagi kepada mereka yang sangat membutuhkan.

Maka agama hadir untuk mengusut tuntas persoalan tersebut dengan segenap ajaran-Nya. Karena kita tahu, bahwa perintah teologis dalam Al-Qur’an yang sangat serat dengan jawaban di balik fenomena sosial masyarakat. Apakah itu berbentuk peringatan, aturan-aturan hukum, maupun yang sifatnya ibrah dari sejarah yang dapat diambil. Seperti kisah Nabi Ibrahim tersebut yang bukan hanya sekadar untuk nilai-nilai ketundukan kita. Tetapi bagaimana untuk bisa melatih kita untuk selalu ikhlas dan tulus dalam mengorbankan segala harta benda yang sangat disayangi sekalipun.

Karena seseorang yang mampu secara ekonomi, untuk bisa mengeluarkan hartanya dalam bentuk hewan Qurban. Sehingga bisa disalurkan kepada mereka yang membutuhkan. Maka nilai-nilai spiritualitas Qurban adalah cara bagaimana merawat kemanusiaan tersebut. Untuk saling berbagi kepada mereka yang sangat membutuhkan uluran tangan kita bersama.

Karena perjalanan spiritualitas kita adalah jalan. Bagaimana membentuk perilaku yang baik. Utamanya kesadaran untuk memanusiakan manusia. Apakah itu lahir dari semangat kita ketika shalat untuk selalu berjamaah. Karena kita tidak terlepas dari yang lainnya.

Bahkan dalam ibadah puasa sekalipun sejatinya sebagai kesadaran yang inklusif terhadap nilai-nilai kemanusiaan tadi. Dengan redaksi kesadaran dalam arti pentingnya kesamaan derajat satu sama lainnya. Yaitu sama-sama merasakan haus dan lapar. Begitu juga ibadah dalam Qurban yang menjadi kesadaran umat Islam yang sejatinya harus membentuk kesadaran untuk tulus dan ikhlas dalam mengorbankan segala sesuatu yang dimiliki untuk disalurkan kepada orang lain.

Maka sebetulnya tolak-ukur dari baiknya spiritualitas seseorang adalah seberapa besar berpengaruh-nya kepada lingkungan sosialnya. Karena perjalanan spiritual akan melahirkan kecerdasan spiritual. Bagaimana berpikir untuk mau membantu orang lain di tengah kesulitan dan kegentingan hidup yang diderita. Karena jembatan spiritualitas dalam Qurban sejatinya sebagai kunci utama. Bagaimana substansi ajaran-Nya lahir untuk bisa merawat kemanusiaan dengan baik.

Facebook Comments