Musyawarah: Tuntunan Teologi Dan Tuntutan Konstitusi

Musyawarah: Tuntunan Teologi Dan Tuntutan Konstitusi

- in Narasi
1204
1
Musyawarah: Tuntunan Teologi Dan Tuntutan Konstitusi

Musyawarah adalah ruh pengelolaan bangsa. Melalui musyawarah para founding fathers meletakkan pilar negara. Musyawarah mufakat konon telah menjadi jati diri budaya nusantara sejak era kerajaan silam.

Perkembangan global kemudian mengenal dan mengembangkan konsep demokrasi. Namun prinsip musyawarah tidak kalah dan hilang bahkan turut menyempurnakan dan mewarnainya. Demokrasi barat kental dan menonjolkan aspek kuantitas melalui voting. Sedangkan Demokrasi Pancasila mengkombinasikannya dengan memprioritaskan musyawarah untuk mufakat. Prinsip ini langsung termaktub dalam konstitusi yaitu Pembukaan UUD NRI, khususnya dalam Pancasila sila keempat. Motivasi mengaktualisasikan prinsip musyawarah semakin bulat dengan dukungan konsepsi teologi. Kedua faktor inilah yang menjadi pegangan fundamental seluruh komponen bangsa hingga tetap teguh mengaktualisasikan musyawarah hingga kini dan selanjutnya.

Teologi Musyawarah

Musyawarah ternyata menjadi bagian ajaran Islam. Kemungkinan tidak berbeda dengan agama lainnya. Eksistensinya dianggap istimewa hingga satu di antara 114 surat dalam AlQuran bernama “Assyura” artinya musyawarah.

Dalam Surat Asyura ayat 38 Allah berfirman: “Dan orang-orang yang memperkenankan perintah Tuhan mereka dan mendirikan shalat dan segala urusan mereka dan bermusyawarahlah diantara mereka dan mereka menginfaqkan apa yang telah kami berikan.” Musyawarah adalah konsekuensi adanya komunitas, kebersamaan, jamaah, atau entitas lainnya. Sebelum sholat saja diperintahkan bermusyawarah meski singkat memilih imam atau tatkala bepergian bermusyawarah menentukan pimpinan rombongan.

Prinsip musyawarah adalah terbukanya ruang dialog, debat dan saling adu argumentasi secara berkeadilan dan beretika dalam forum. Namun ketika keputusan atau ketetapan telah disepakati sebagai hasil musyawarah, maka semua pihak wajib satu suara melaksanakannya. Inilah ujian terberat yaitu melaksanakan hasil musyawarah yang berlainan dengan pendapat pribadi.

Kaidah bermusyawarah dalam Islam diperlukan agar mendapatkan hasil keputusan terbaik dan mendapat ridha Allah SWT. Suharno (2015) merincikan lima kaidah tersebut dengan mendasarkan pada QS Ali Imran: 159. Pertama, bersikap lemah lembut. Setiap peserta musyawarah harus dapat bersikap lemah lembut, baik dalam sikap, ucapan dan tindakan, serta menghindari sikap emosional, berkata-kata kasar, dan lainnya.

Kedua, mudah memberi maaf. Sikap ini harus dimiliki oleh setiap peserta sebab musyawarah itu tidak akan berjalan dengan baik jika masing-masing peserta masih diliputi kekeruhan hati. Ketiga, membangun hubungan yang kuat dengan Allah melalui permohonan ampun. Dalam musyawarah dimungkinkan terjadi kesalahan, baik yang disadari maupun tidak.

Keempat, membulatkan tekad. Peserta musyawarah mesti membulatkan tekad dalam mengambil suatu keputusan yang disepakati bersama (mufakat), bukan saling ingin menang sendiri tanpa ada keputusan. Jika suatu keputusan harus diputuskan melalui voting maka setiap peserta musyawarah hendaknya dapat menerima hasilnya dengan lapang dada.

Kelima, bertawakal kepada Allah. Setelah bermusyawarah semestinya keputusan yang telah diambil, baik secara mufakat maupun voting,hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah.

Pertumbuhan dan perkembangan musyawarah dalam Islam sendiri hampir sama dengan pertumbuhan demokrasi di kota-kota Yunani kuno. Islam tidak mengikat dengan salah satu sistem demokrasi, sehingga masing-masing masyarakat Muslim bebas memilih sistem apa yang paling sesuai dengan masyarakatnya (Djalil, 2011).

Aktualisasi Konstitusi

Sebagaimana telah ditegaskan di atas bahwa musyawarah adalah nilai luhur budaya bangsa. Musyawarah telah diikat menjadi bagian konstitusi. Ialah ruh pelaksanaan Demokrasi Pancasila. Seluruh komponen bangsa berkewajiban mengaktualisasikannya dalam seluruh sektor kehidupan bernegara. Musyawarah mufakat sebagai prioritas adalah amanat dan tuntutan konstitusi.

Musyawarah mesti dibumikan melalui pendidikan sejak dini. Anak penting diajari sejarah, filososi hingga nilai aplikatif dari musyawarah. Tentunya mulai dari hal kecil di lingkup keluarga atau sekolah. Orang tua dapat mengajak anak bermusyawarah menentukan lokasi berlibur misalnya. Anak dilatih mengutarakan pendapat dan alasannya. Setelah itu diputuskan bersama. Pelaksanaannya juga penting dievaluasi bersama agar dilangsukan dengan ikhlas.

Regulasi juga sudah semestinya mengadopsi prinsip musyawarah sebagai amanat konstitusi. Misalnya dalam penentuan jabatan ASN, perencanaan program pembangunan dan lainnya. Musyawarah harus dilaksanakan dengan sepenuh hati bukan hanya kamuflase atau formalitas. Prinsip keadilan, transparansi dan kedudukan yang setara mesti dijunjung tinggi. Kualitas musyawarah akan tergerogoti jika ada praktik politik uang, kolusi dan nepotisme yang menodai. Noda tersebut mesti diantisipasi dan dibuang jauh-jauh sejak awal.

Jika akhirnya harus voting, maka itu dalah sah dan menjadi bagian musyawarah. Hal yang penting diperhatikan adalah tidak mudah atau langsung melaksanakan voting itu sendiri. Kecuali tentunya untuk skala yang tidak memungkinkan atau lebih optimal dengan voting. Misalnya pemungutan suara dalam Pemilihan Umum.

Terjaganya musyawarah dalam semua level dan sektor kehidupan menjadi kunci kerukunan dan persatuan bangsa. Untuk semua pihak bertanggungjawab terus membumikan musyawarah khususnya mufakat sebagai prioritas.

Facebook Comments