Nabi Pemersatu Umat, Tak Alergi Perbedaan

Nabi Pemersatu Umat, Tak Alergi Perbedaan

- in Narasi
1328
0

Dakwah Islam yang mestinya santun, kerap berubah menjadi garang di tangan muslim garis keras. Mereka cenderung memaksakan apa yang diyakini sebagai kebenaran, dan menyalahkan pemahaman keagamaan muslim lain yang berbeda. Tak jarang, dengan dalih nash al-Qur’an, kelompok garis keras melakukan kekerasan dalam bentuk verbal, berupa tuduhan “kafir”, “sesat”, “toghut”, dan ujaran lainnya yang menyakitkan. Beberapa kasus –yang berawal dari pemikiran cupet- bahkan sampai kepada kekerasan fisik.

Islam sebagai agama yang cinta damai tentu tak mengajarkan umatnya untuk berlaku keras dan kejam kepada sesama. Dalam etika perang pun, Rasulullah Saw. pernah berpesan agar jangan sampai ada tumbuhan yang terlukai. Pernah juga dalam peperangan, sahabat mengurungkan niatnya membunuh musuh, hanya karena sang musuh meludahi wajahnya. Sang sahabat khawatir jika ia tetap membunuh musuh tersebut, niatnya jihad fi sabilillah ternodai, digantikan dengan emosi lantaran diludahi.

Ada banyak teladan mulia yang dicontohkan oleh para sahabat dan tabi’in serta orang setelah mereka yang setia pada jalan ketaatan. Tentunya, teladan mulia tersebut bersumber dari Rasulullah Saw., yang sedari awal memang diutus untuk menyempurkana akhlak. Bahkan dikatakan pula dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah Saw. merupakan pengejawantahan dari al-Qur’an. Artinya, tak perlu ada keraguan lagi untuk meneladani Rasulullah Saw., karena ucapan dan perbuatan beliau disandarkan pada ajaran mulia Islam yang termaktub dalam al-Qur’an.

Memang ada perbedaan mencolok antara masa sahabat dan umat Islam kini. Jika dulu ketika sahabat mendapati masalah, ia bisa langsung bertanya kepada Rasulullah Saw., dan tak lama kemudian mendapat jawaban yang memuaskan. Berbeda dengan umat Islam kini, yang sangat mengandalkan tokoh agama untuk menjelaskan ajaran Nabi Saw., sebagian juga hanya mengandalkan buku dan internet.

Persoalan muncul ketika berbagai penafsiran yang dipaparkan tokoh agama dan juga internet atau buku, dipahami sebagai kebenaran mutlak oleh masyarakat. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa tidak ada kebenaran lain di luar mereka. Sehingga kerap terjadi aksi kekerasan di kalangan sesama muslimin, hanya karena perbedaan pemahaman agama atau madzhab fikih.

Masing-masing kelompok merasa paling benar, dan mewajibkan diri untuk menyadarkan saudara seiman yang dianggap telah menyimpang. Sebagian dengan cara santun, dan ini tidak jadi soal. Namun, tak sedikit yang menggunakan jalan kekerasan, untuk ‘menyadarkan’ orang lain. Kelompok semacam inilah yang membahayakan bagi persatuan umat dan bangsa. Orang atau kelompok yang lebih mendahulukan ‘kebenaran’ versi mereka, oleh Jalaluddin Rahmat dikatakan “mendahulukan fikih di atas akhlak”.

Bahwa dalam berislam, kita memang tak bisa lepas dari madzhab fikih. Namun perlu disadari juga, fikih merupakan produk ijtihad ulama, yang memiliki kemungkinan salah, juga kemungkinan benar. Dengan demikian, tak dibenarkan jika kita berjuang mati-matian hanya untuk memegang salah satu madzhab fikih. Fikih digunakan untuk memudahkan kita dalam menjalankan syariat Islam, yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.

Rasulullah Tidak Alergi Perbedaan

Ketika kita tidak menemukan teladan yang baik di lingkungan sekitar, maka keputusan terbaik adalah mencari sosok teladan yang telah terukir dalam sejarah. Mereka adalah orang-orang yang fisiknya telah menyatu dengan bumi, tapi tidak dengan pikiran dan perbuatannya. Pikiran dan perbuatan mereka tetap hidup, mewujud pada laku hidup orang-orang setelahnya.

Adalah Rasulullah Saw., sosok teladan sepanjang masa, yang meski jasadnya telah dikebumikan berabad-abad lalu, kemuliaan akhlaknya masih tetap bersinar hingga kini. Beliau bukan sekadar teladan umat Islam, tetapi umat-umat lainnya yang hidup di muka bumi. Beliau adalah milik peradaban, yang dengan kelahirannya, kabut hitam yang menyelimuti bumi sirna seketika, digantikan cahaya yang menerangi setiap lekuk kehidupan.

Rasulullah Saw. dikenal sebagai sosok penyayang dan pembela orang-orang yang lemah. Ia juga tidak menyukai kekerasan, dan sangat mengakomodir perbedaan yang muncul di kalangan para sahabat. Bahkan dengan santunnya, beliau kerap membenarkan dua bahkan lebih pendapat dari sahabat yang berlainan.

Kebesaran hati Rasulullah Saw. dalam menerima perbedaan terlihat jelas dalam beberapa peristiwa. Misalnya, ketika Nabi Saw. sampai di Mina (Rahmat: 2007) dan memasuki hari penyembelihan. Para sahabat mendatangi dan menanyai Nabi Saw. berkaitan dengan tata cara berhaji. Ada sahabat yang berkata, “Aku bercukur dulu sebelum menyembelih”. Nabi Saw. bersabda: Sembelihlah dan la haraj. Sahabat lain juga berkata, “Aku melempar dulu sebelum bercukur”. “Aku thawaf sebelum melempar”. Bahkan, ada lebih dari dua puluh empat cara haji disampaikan banyak sahabat kepada Nabi Saw. Dan Nabi Saw. selalu menjawab: la haraj, yang artinya boleh-boleh saja, tidak keliru.

Kisah lain, bercerita tentang dua sahabat dalam perjalanan yang tidak menemukan air untuk berwudhu, sementara waktu shalat Dzuhur telah tiba. Mereka bertayamun dan melaksanakan shalat. Belum jauh melangkah, mereka menemukan air sementara waktu shalat belum habis. Seorang di antara mereka merasa sudah shalat dan tidak mengulangi shalatnya. Seorang lainnya, mengambil wudhu dan mengulangi shalatnya.

Kejadian ini disampaikan kepada Rasulullah Saw., yang kemudian direspon dengan membenarkan kedua keputusan sahabat tersebut. Kepada orang yang tidak mengulangi shalat, beliau bersabda: Ashbahta al-sunnah! Kamu sudah benar menjalankan Sunnah. Adapun kepada orang yang mengulangi shalatnya, beliau bersabda: Bagimu pahala dua kali.

Respon Rasulullah Saw. atas perbedaan amatlah dewasa. Beliau tidak membela salah satunya, melainkan membenarkan keduanya, karena tidak menyimpang dari ajaran Islam. Inilah teladan dari sosok paling agung sepanjang masa, mengakomodir perbedaan-perbedaan demi persatuan umat. Jika demikian, masihkan kita alergi dengan perbedaan yang memang sudah sunnatullah?

Facebook Comments