NKRI : Keputusan Final Diskursus Agama vs Negara

NKRI : Keputusan Final Diskursus Agama vs Negara

- in Narasi
1736
0

Semenjak keruntuhan kekhalifahan Turki Usmani tahun 1924, bersamaan dengan cengkeraman imperialisme Barat atas negara-negara Islam, muncullah babak baru dalam diskursus negara di wilayah Islam yakni era negara bangsa (nation state). Indonesia sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim yang juga mengalami penjajahan bangsa-bangsa Barat, turut mengalami imbas dari sengitnya percaturan negara bangsa ini. Dari pergulatan ide antara tokoh-tokoh nasionalis dan Islam, baik di BPUPKI dan PPKI, dihasilkanlah keputusan bahwa Indonesia berdiri kokoh dalam negara kesatuan yang berdasarkan atas Pancasila.

Keputusan ini adalah jalan tengah yang paling ideal mengingat bangsa ini diperjuangkan dan didiami oleh lintas golongan dan lintas agama. Jika menonjolkan identitas salah satu golongan, sudah barang tentu akan menimbulkan kecemburuan bagi golongan lain yang bisa berujung pada perpecahan. Bahkan sangat mungkin Indonesia akan berganti menjadi negara kecil yang terpisah-pisah.

Penerimaan NKRI sebagai bentuk final dalam bernegara bukan tanpa dasar agama. Para ulama pendiri bangsa sudah berpikir matang mengenai posisi NKRI dalam bingkai keislaman. Muktamar NU di Banjarmasin pada 19 Rabi’ul Awwal 1355 H/9 Juni 1936 menegaskan bahwa Indonesia yang berdasaran Pancasila adalah Darul Islam (wilayah Islam), tidak mengambil posisi sebagai Daulah Islamiyah (negara Islam).

Keputusan ini merujuk kepada kita bughyah al-mustarsyidin yang menjelaskan bahwa setiap wilayah dimana kaum muslimin yang tinggal di dalamnya mampu mempertahankan diri dari dominasi kaum harbi pada suatu zaman tertentu, maka dengan sendirinya menjadi darul islam yang berlaku padanya ketentuan-ketentuan sebagai darul islam. Meskipun (pada suatu masa) mereka tidak lagi bisa mempertahankan diri akibat dominasi kaum kafir yang mengusir dan tidak memperkenankan mereka masuk kembali.

Untuk mendukung status hukum ini, ulama memberi gelar Presiden Indonesia pertama sebagai waliyyu al-amri ad-dharuri bi asy-syaukah. Penambahan kata ad-dharuri oleh para ulama, bukan perkara yang dibuat-buat, melainkan didasarkan atas fakta bahwa Presiden Soekarno tidak memenuhi syarat imamah sebagaimana ditentukan dalam syariat, sehingga posisi Soekarno adalah “darurat” mengingat tidak ditemukan pemimpin yang ideal.

Keputusan alim-ulama yang memberi status Indonesia sebagai Darul Islam, dalam pandangan KH. Afifuddin Muhajir (2013), merupakan ijtihad yang cerdas dalam menjaga status hukum NKRI sebagai negara yang sah. Hal ini mengingat negara dalam pandangan Islam ahlus sunnah wal jamaah adalah sebagai sarana atau wasilah untuk mencapai tujuan atau ghoyah. Tujuan dari negara tak lain adalah terwujudnya kemaslahatan manusia dhahir-batin, dunia-akhirat. Karena itu, nash syariat tidak memberi konsep yang terperinci (tafshili) tentang bentuk negara dan pemerintahan, melainkan memberi panduan global (ijmali) yakni memuat prinsip-prinsip negara Islam seperti syura (permusyawaratan), ‘adalah (keadilan), musawat (persamaan), dan hurriyyah (kebebasan).

Dari ijtihad para ulama di atas, maka NKRI adalah bentuk final dalam upaya mempertemukan konsep negara dan agama di Indonesia. Sudah semestinya konsep ini menjadi jalan kemaslahatan berbangsa dan bernegara dan terus diupayakan untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan.

Rongrongan Ideologi

Konsep yang begitu brilian dari para pendiri bangsa dalam mendamaikan negara dan agama, juga harus terus dijaga dan dikawal. Tugas kita sebagai generasi penerus adalah mengisi kemerdekaan dengan pembangunan lahir dan batin. Mengisi dengan gerak positif demi kemajuan bangsa di tengah persaingan dengan bangsa-bangsa lain. Bukan lagi mempertanyakan status hukum negara, sebab sudah tuntas didiskusikan dan dikonsepkan oleh para ulama dan pendiri bangsa.

Toh demikian, dalam gerak perjalanan bangsa masih banyak yang mempertanyakan status NKRI, bahkan mulai menggugat dengan membawa ideologi baru. Gaung khilafah yang akhir-akhir ini mencuat, adalah satu dari sekian banyak ideologi yang mencoba diusung untuk menggusur Pancasila sebagai ideologi bangsa. Dengan membawa slogan syariat, kelompok ini terus bergerak dan menyusun kekuatan guna meraih cita-cita mereka yakni tegaknya khilafah, tentu saja dalam “versi” mereka.

Tentu ini sangat disayangkan, mengingat NKRI adalah negara yang sah secara agama. NKRI bukan dibentuk atas dasar ideologi sekuler, tetapi lahir dari nafas keislaman. Kalau toh NKRI belum ideal dari sisi tatanan di dalamnya, ini adalah PR kita bersama untuk menyelesaikannya. Ketidakadilan, kemiskinan, mutu SDM yang rendah, politik yang liberal, memang masih menjadi persoalan bangsa. Persoalan lain juga masih menumpuk.

Maka, persoalan ini harus diselesaikan bersama dalam satu wadah yakni NKRI. Bukan malah membuat negara baru dengan ideologi baru. NKRI yang telah lama berdiri kokoh saja masih tertatih-tatih dalam melakukan perbaikan, apalagi negara baru yang belum jelas alurnya. Akan dibawa kemana nantinya? Belum lagi kalau dihadapkan dengan persaingan global, tentu akan lebih menyita energi.

Oleh karena itu, NKRI sebagai konsep final dalam bernegara di Indonesia, harus selalu kita kuatkan dan selalu diisi dengan spirit keislaman, spirit positif untuk mencapai kemajuan. Semoga saja bangsa yang majemuk ini selalu dalam suasana damai sehingga mudah untuk melakukan perbaikan dan upaya-upaya kemajuan.

Facebook Comments