Pandemi, Provokasi dan Analisis Wacana Kritis

Pandemi, Provokasi dan Analisis Wacana Kritis

- in Narasi
1977
0
Pandemi, Provokasi dan Analisis Wacana Kritis

Lebih dari sebulan kita menghadapi pandemic Covid-19. Lelah, bosan, dan khawatir campur aduk menjadi satu. Kita mengalami kelelahan psikis lantaran kecemasan menghadapi pandemi. Kita mulai bosan berdiam diri di rumah. Sebagai manusia, kita perlu berinteraksi fisik dengan orang lain, menikmati hiburan dan sejenisnya. Tidak hanya lelah psikis dan bosan, jauh di dalam hati kita juga pasti khawatir. Ada yang khawatir terjangkit virus, ada pula yang khawatir kehilangan pekerjaan. Pendek kata, kita berada dalam kondisi tidak mudah.

Sejarawan Yuval Noah Harari dalam interview dengan CNN News menyebut bahwa pandemi Covid-19 ini bisa diatasi dengan kerjasama dan solidaritas global. Ia menyebut bahwa langkah karantina wilayah alias lockdown tidak efektif menangkal penyebaran virus. Ia membandingkan kasus Black Death di era tahun 1300-an atau Abad Pertengahan yang bisa menyebar ke seluruh wilayah Eropa meski kala itu manusia belum bebas bermobilisasi. Alih-alih karantina wilayah, Harari menyarankan dunia global untuk meningkatkan kerjasama dan solidaritas. Keterbukaan dan pertukaran informasi antarnegara menjadi penting. Begitu pula solidaritas global, seperti saling memberikan bantuan antar-negara.

Poin pernyataan Harari ialah umat manusia bisa melawan Covid-19 dengan kerjasama dan solidaritas. Apa pun bentuk dan cakupannya, kerjasama dan solidaritas ialah kunci kita melewati pandemi Covid-19 ini. Dalam konteks Indonesia, dua kata (kerjasama dan solidaritas) inilah yang acapkali masih harus kita perjuangkan. Sebagian masyarakat memang telah memiliki kesadaran bagaimana kerjasama dan solidaritas dipraktikkan dalam situasi pandemi ini. Contohnya terjadi Cimahi, Jawa Barat dimana masyarakat bahu-membahu memberikan bantuan kepada salah satu warganya yang tengah mengisolasi diri lantaran positif Covid-19.

Di banyak wilayah lain, masyarakat aktif bergerak membantu kelompok yang terdampak secara ekonomi. Bantuan sembako, uang dan sejenisnya pun mengalir ke mereka yang kehilangan pekerjaan atau penghasilan. Tidak hanya itu, solidaritas masyarakat juga menyasar ke para tenaga kesehatan yang kekurangan alat pelindung diri (ADP). Tanpa disuruh dan dikomandoi, sebagian masyarakat membuat APD untuk disumbangkan ke tenaga kesehatan. Gotong royong khas Indonesia itulah yang mampu meringankan beban bersama di masa pandemi ini.

Baca Juga : Provokasi dan Terapi Penyakit Hati di Masa Pandemi

Namun, sialnya selalu saja ada kelompok-kelompok oportunis nirkemanusiaan yang berusaha memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Di tengah suasana pandemi ini, sel-sel jaringan teroris di sejumlah wilayah mulai bergeliat. Di Batang, Jawa Tengah pasukan Detasemen Khusus 88 Anti-Teror menangkap empat teroris beserta bahan peledak siap-rakit. Setelahnya, empat terduga teroris juga diamankan Densus 88 Anti-Teror di Muna, Sulawesi Tenggara.

Belakangan, polisi juga menangkap sejumlah anak muda anggota kelompok anarko sindikalis yang merencanakan aksi penjarahan dan kerusuhan di kota-kota besar di Pulau Jawa. Kelompok anarko sindikalis ini disinyalir berada di balik aksi-aksi vandalisme di ruang-ruang publik maupun provokasi di media sosial. Seperti diketahui, belakangan ini masyarakat di sejumlah wilayah di Pulau Jawa resah akibat beredarnya tulisan-tulisan provokatif di ruang publik. Antara lain “Sudah Krisis, Saatnya Membakar”, “Kill the Rich”, “Bubarkan Negara”, juga “Mati Konyol atau Melawan”.

Tulisan dari cat semprot itu menempel di tiang listrik, tembok dan titik-titik yang begitu mudah dijangkau mata publik. Belakangan terungkap, kelompok anarko sindikalis berada di balik aksi vandalisme provokatif tersebut. Kelompok ini, memang identik dengan kericuhan dan keributan. Di demonstrasi Hari Buruh tahun 2019 lalu, kelompok anarko sindikalis juga memprovokasi massa buruh agar bentrok dengan Polisi.

Tidak hanya di dunia nyata, vandalisme provoktif kelompok anarko sindikalis juga dilakukan di media sosial. Akun-akun media sosial yang berafiliasi dengan kelompok anarko aktif menyebarkan konten provokatif dengan narasi dan opini yang menggiring publik pada ketidakpuasan dan ketidakpercayaan pada pemerintah. Sentimen ketidakpuasan dan ketidakpercayaan publik pada pemerintah inilah yang ingin dibentuk oleh kaum anarko guna menciptakan kekacauan sosial di tengah pandemi Covid-19. Di titik ini, kita menyaksikan sendiri bagaimana hantu provokasi itu bergentayangan dan mengancam perjuangan kita melawan pandemi Covid-19.

Saat ini kita tengah berperang melawan Covid-19, virus super kecil yang tak kasat mata. Layaknya perang pada umumnya, kita harus satu barisan dan satu komando, dalam menghadapi musuh bersama. Pemerintah, para tenaga kesehatan dan masyarakat sipil dengan berbagai organ dan kelompoknya, harus berada di satu barisan, saling dukung dan jaga satu sama lain. Jika ada satu saja yang alpa melaksanakan tugasnya, bisa dipastikan barisan akan tercerai berai dan musuh akan dengan mudah mengalahkan kita.

Inilah yang terjadi saat ini. Ketika semua elemen bangsa, mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan, dan organisasi kemasyarakatan serta keagamaan sibuk melawan Covid-19 sesuai dengan kemampuan dan perannya masing-masing, kelompok-kelompok oportunis seperti teroris dan kaum anarko ini justru mengacaukan barisan dengan berupaya menciptakan teror serta memprovokasi publik agar berbuat kerusuhan.

Sumbangsih mereka melawan Covid-19 bisa dikatakan tidak ada. Sebaliknya, mereka justru menambah beban pemerintah dan masyarakat. Ketika ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah sibuk mengumpulkan donasi, kelompok teroris justru mempersiapkan bom untuk menyerang aparat keamanan. Ketika sejumlah anak muda secara pro-aktif terlibat dalam gerakan sosial melawan Covid-19, kelompok anarko justru menebar provokasi dan mengajak masyarakat berbuat rusuh. Ibarat pertandingan sepakbola, dua kelompok itu justru mengacaukan pertahanan sendiri dan membikin gol bunuh diri.

Kesigapan Densus 88 Anti-Teror dan Polisi dalam membekuk para teroris dan kelompok anarko tentu patut diacungi jempol. Dua kelompok itu tidak lebih dari benalu dalam tubuh masyarakat, yang tidak memberikan sumbangsih, alih-alih menggerogoti dari dalam. Di tengah situasi pandemi Covid-19 ini, jika kita tidak mampu membantu negara dan masyarakat, akan lebih baik jika kita diam, dan mendukung apa yang dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi pandemi Covid-19.

Lebih dari itu, masyarakat diharapkan juga memiliki mekanisme untuk mengenali dan menyeleksi informasi di media sosial yang acapkali berbaur dengan narasi dan opini yang meresahkan dan menyesatkan. Di titik inilah pentingnya masyarakat memiliki kemampuan analisis wacana kritis, yakni kecakapan masyarakat dalam memahami informasi sebagai sebuah teks yang tidak bebas nilai dan dilingkupi oleh kepentingan ekonomi-politik tertentu. Pengetahuan masyarakat tentang analisis wacana kritis akan membuat publik memiliki kemampuan untuk mengantisipasi dan menangkal informasi yang memiliki tendensi tertentu. Seperti halnya narasi provokasi vandalisme yang diciptakan oleh kelompok anarko. Jika publik memiliki kemampuan analisis wacana kritis, bisa dipastikan publik tidak akan terprovokasi atas ujaran-ujaran kaum anarko tersebut. Mekanisme seleksi informasi itu idealnya dimiliki setiap individu, apalagi mereka yang aktif di media sosial. kemampuan kita memilah dan memilih informasi di masa pandemi ini akan menyelematkan diri kita dari kepanikan dan kecemasan berlebihan, yang rentan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Selain itu, kemampuan kita dalam mempraktikkan analisis wacana kritis juga akan mempersempit ruang gerak narasi dan opini provokatif yang mengancam keutuhan bangsa dan negara.

Facebook Comments