Provokasi dan Terapi Penyakit Hati di Masa Pandemi

Provokasi dan Terapi Penyakit Hati di Masa Pandemi

- in Narasi
1857
3
Provokasi dan Terapi Penyakit Hati di Masa Pandemi

Di tengah mewabahnya pandemi Covid-19, publik mendadak dikejutkan dengan sejumlah unggahan yang bernada provokatif di media sosial. Sekelompok atau oknum yang memanfaatkan masa pandemi ini ditengarai hendak menciptakan kekacauan massal dengan modus provokasi.

Kita tentu sepakat bahwa hati nurani pelaku—penyebar, yang memproduksi—hoaks dan provokasi itu sesungguhnya dapat dikatakan sakit, karena sesungguhnya ia mengetahui perbuatannya itu buruk dan merugikan banyak orang, tetapi ia seolah tutup mata dan hati sehingga teteap saja laku buruk itu dikerjakan. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, perlu adanya terapi penyakit hati. Langkah ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menghentikan penyebaran dan produksi hoaks dan provokasi. Selain itu, juga diharapkan dapat mengobati penyakit hati tersebut.

Para pakar komunikasi mengklasifikasikan hoax dan provokasi ke dalam ranah directly voluntary (tindakan yang dikehendaki dan secara langsung merupakan sesuatu yang diinginkan). Artinya, pelaku jelas melakukan provokasi dan memproduksi hoaks dengan sadar dan ia bahkan juga mengetahui dampaknya (dalam Serlyna Dewi, 2019: 3).

Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ.

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari No. 52 dan Muslim No. 1599).

Ibnu Batthol dalam Syarh Shahih al-Bukhari memberikan kesimpulan atas hadis diatas, bahwa akal dan kemampuan memahami pusatnya ada di hati. Dengan demikian, dapat dipahami bahwasannya jika hati kita baik, maka akal dan kemampuan memahami juga akan baik.

Baca Juga : Menghindari provokasi vandalisme di era corona

Al-Hakim al-Tirmidzi (w 320 H) dalam kitabnya Bayan al-farq al-Sadr wa al-Qalb wa al-Fu’ad wa al-Lubb menjelaskan tentang hati sebagai entitas yang memiliki empat tingkatan, yaitu dada (sadr), hati (qalb), hati kecil (fu’ad), dan hati nurani (lubb). Keempat tingkatan ini saling terkait, ibarat sebuah lingkaran. Pada kesempatan ini, penulis akan sedikit menyinggung tingkatan terakhir, yakni lubb (hati nurani). Menurut al-Hakim, lubbmerupakan inti dari segala hati karena ia terikat dengan cahaya tauhid, seperti Islam, iman, ihsan, ma’rifat.

Kaitannya dengan hoaks dan provokasi, mungkin bisa disimpulkan bahwa pelakunya belum sampai pada tingkatan sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hakim. Lebih tepatnya, penyebar hoaks dan provokasi adalah mereka yang sedang sakit hatinya (hatinya rusak, tumpul dan sakit).

Hasut atau Provokasi Merupakan Penyakit Hati

Selain persoalan ekonomi—adanya pihak yang akan memberikan upaya berupa materi, dan motif politik—provokasi juga erat kaitannya dengan masalah hati. Dalam agama (Islam-red), sebagaimana disebutkan oleh Husain Suitatatmadja dalam bukunya “Hidup Bahagia dan Berkah Tanpa Penyakit Hati (2014: 81), provokasi disebut dengan istilah hasut (hasutan). Dan hasut merupakan penyakit hati. Oleh sebab itu, meminjam istilah Ibnu Qayyim al-Jauzi (1292-1349 M), harus dijernihkan atau penyakit hati ini harus diterapi.

Lebih lanjut, Husain menjelaskan bahwa hasut sebagai penyakit hati yang berhasrat memprovokasi seseorang atau kelompok mempunyai tujuan, yang tak lain dan tiada bukan adalah untuk memperkerus suasana, merusak tali persaudaraan, menebar kebencian antar sesama, mengadu-domba kedua belah pihak untuk beritikai dan memecah-belah satu organisasi demi kepentingannya.

Bila penyakit itu dibiarkan bersemanyam di dalam diri seseorang, maka dapat menimbulkan sikap yang destruktif dan mengundang eskalasi yang lebih besar, sehingga, sekali lagi, harus dicarikan obatnya (diterapi).

Langkah Terapi

Sebagai esensi dari perilaku dan kehidupan manusia, maka hati harus selalu ‘sehat’ (baik), jika sakit (buruk), maka harus disembuhkan (dibersihkan, disucikan) agar dapat kembali ke jalan yang benar dan tidak membuat keonaran (merugikan).

Sebab, sebagaimana diungkapkan oleh al-Ghazali (1058-1111 M), bahwa hati adalah raja yang mengawal semua kegiatan yang berlaku pada roh, nafsu dan akal. Lebih lanjut, Abu Darda, 2014) merinci bahwa hati juga mengarahkan kelima-lima panca indera manusia untuk melakukan dan menunjukkan kebaikan atau keburukan.

Ada beberapa langkah untuk membersihkan hati yang telah berkarat, keras, tumpul dan sakit. Pertama, beramal shaleh. Menurut Ibnu Taimiyah (1263-1328 M), hati membutuhkan asupan gizi. Dengan demikian, mencegah badan untuk jangan sampai kemasukan (dimasukkan) barang-barang haram dan melakukan perbuatan baik (amal shaleh) untuk menghidupi dan melembutkan hati (dalam Kholil Lur Rochman, 2009:5). Tatkala sedekah dapat menghapus kesalahan (dosa) sebagaimana air dapat memadamkan api, maka perbuatan baik dapat mencusikan hati dan terhindar dari segala penyakit hati, termasuk provokasi dan menyebar hoaks.

Kedua, zuhud dan wara’. Zuhud tidak berarti meninggalkan gemerlang duniawi secara total, namun meninggalkan segala sesuatu yang merugikan atau perkara yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat. Demikian penjelasan Ibnu Taimiyah tentang zuhud. Singkat kata, zuhud adalah ‘membenci’ kemadlaratan dunia, sementara yang dapat menimbulkan maslahat, harus dikerjar (diraih). Sementara wara’adalah meninggalkan perkara yang haram dan syubhat.

Hoaks dan provokasi tidak hanya tidak bermanfaat bagi kehidupan di akhirat kelak, malainkan juga memicu syaitan untuk masuk dalam hati seseorang. Untuk itulah, konsep zuhud dan wara’ sebagai terapi penyakit hati, tepat sekali untuk menangkap provokasi dan hoaks.

Ketiga,qana’ah. Yaitu sikap rela menerima dan merasa cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari rasa tidak puas dan perasaan kurang. Dalam bahasa generasi saat ini, qonaah adalah tidak glamor atau hedonis. Sebab, sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, bahwa cinta dunia dan materi akan mengantarkan pada perilaku syaitan. Ia mencontohkan ketika manusia tidak merasa cukup dengan apa yang ada dalam gengamannya demi memenuhi kebutuhan mulut dan perut, maka nafsunya akan memberontak; menghasut dirinya supaya ghairah untuk memenuhinya dengan menglalalkan berbagai macam cara. Di sinilah akan memunculkan sikap provokasi dan memproduksi hoaks demi mendapatkan pundi-pundi materi. Dengan demikian, konsep qana’ah menuntut untuk dijalankan dengan sepenuh hati dan konsisten, tentu saja sebagai langkah terapi penyakit hati. Inilah cara mengatasi provokasi di masa pandemi seperti saat sekarang ini, yang merupakan salah satu bentuk penyakit hati dalam perspektif Islam (tasawuf-red). Semoga upaya-upaya orang baik untuk mengajak kepada kebenaran selalu dikuatkan, diikuti oleh banyak orang dan diridloi oleh Allah Swt demi kepentingan dan kebaikan bersama. Aaamiin.

Facebook Comments