Pemilu Kepala Daerah (Pikada) 2018 sudah berlangsung 27 Juni kemarin, kini saatnya masyarakat dihadapkan dengan tahun politik menuju Pemilihan Presiden (Pilpres). Penulis menemukan fenomena menarik menyongsong Pilpres 2019, yaitu menguatnya konflik antar pendukung, yaitu pihak yang mendukung Joko Widodo melanjutkan sebagai presiden, dan ada pula yang menghendaki 2019 ganti presiden.
Kalau kita ingat konflik yang ada di car free day (CFD) pada 29 April 2018, antara kelompok #2019GantiPresiden dan #DiaSibukKerja merupakan kejadian yang sangat disayangkan. Padahal kegiatan politik di area CFD dilarang dalam peraturan Gubernur, Nomor 12 Tahun 2016 tentang Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB). Namun, ruang publik tersebut digunakan untuk ajang menunjukkan eksistensi gerakan masing-masing. Pada kejadian tersebut, ada sekelompok orang berkaus #2019GantiPresiden mengelilingi seorang ibu berkaus #DiaSibukKerja yang sedang bersama anak laki-lakinya. Dari video yang tersebar, tampak terjadinya intimidasi terhadap sang ibu tersebut.
Kurangnya kedewasaan dalam perbedaan pilihan politik menyebabkan keresahan masyarakat. Kejadian intimidasi terhadap lawan pendukung politik seharusnya tidak terjadi, mengingat kebebasan berpendapat dilindungi oleh undang-undang. Namun, para pendukung kedua kelompok tersebut juga harus cerdas untuk menyalurkan suaranya, yaitu patuh terhadap peraturan yang melarang adanya kegiatan politik di area CFD.
Masyarakat harus cerdas menyikapi propaganda untuk kepentingan politik praktis 2019. Mengkritisi statement yang dikeluarkan oleh para tokoh dan mengonfirmasi adalah cara sederhana agar tidak terbawa propaganda untuk menyukseskan politik praktis 2019. Seperti kita tahu, beberapa waktu yang lalu ada salah satu tokoh dalam ceramahnya di masjid mengeluarkan statement partai Allah dan partai setan, yaitu Amien Rais. “Sekarang ini kita harus menggerakkan seluruh kekuatan bangsa ini untuk bergabung dan kekuatan dengan sebuah partai. Bukan hanya PAN, PKS, Gerindra, tapi kelompok yang membela agama Allah, yaitu Hizbullah. Untuk melawan siapa? Untuk melawan hizbusy syaithan,” ujar Amien Rais yang tersebar ke berbagai media. Amien Rais mengatakan seperti itu pada saat memberikan taushiyah usai mengikuti gerakan Indonesia Shalat subuh berjamaah di Masjid Baiturrahim, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Jum’at (13/4).
Orang yang tidak mengkritisi taushiyah Amien Rais akan mudah terpikat, karena ia menggunakan kendaraan agama untuk mendikotomi beberapa partai. Penulis meyakini bahwa dikotomi yang dikeluarkan oleh Amien Rais berdasarkan kasus “bela agama” di Jakarta atas kasus Ahok. Amien Rais sendiri merupakan ketua penasihat persaudaraan Alumni 212. Namun, beberapa bulan berikutnya, Amien Rais mempunyai niatan untuk menjadi calon presiden 2019, atas inspirasi dari Matahir Mohamad dalam pemilihan Perdana Menteri di Malaysia.
Urgensi Pendidikan Politik
Partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, harus disertai dengan kesadaran terhadap posisinya sebagai insan politik. Adanya pendidikan politik, masyarakat diharapkan menyadari kedudukan politiknya di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat pun bisa bersikap kritis, mampu memilih sendiri calon pemimpin tanpa adanya intimidasi dari tim sukses. Lebih jauh lagi, pendidikan politik juga mengarahkan agar masyarakat cerdas menyikapi terhadap konflik-konflik yang terjadi untuk kepentingan politik praktis.
Kartini Kartono (1996-57) menyatakan bahwa dengan pendidikan politik, bukan hanya pemahaman peristiwa-peristiwa politik dan konflik yang diutamakan, akan tetapi orang justru menekankan aktivitas politik secara sadar dan benar sesuai dengan asas-asas demokrasi sejati. Politik, bagi Kartini Kartono bukan monopoli para pemimpin, kaum berduit atau kelompok-kelompok istimewa privileged saja. Lebih dari itu, politik merupakan milik bersama bagi setiap warga negara.
Selain menyelenggarakan pemilu, pemerintah harus mengoptimalkan untuk pendidikan politik, melalui proses sosialisasi. Sosialisasi bukan hanya bagaimana memilih calon presiden, melainkan bagaimana peran masyarakat dalam proses demokrasi tersebut. Selain pemerintah, tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat pun harus turut andil dalam terciptanya pendidikan politik.