Bulan Mei ini selain kita peringati sebagai hari pendidikan nasional juga kita peringati sebagai hari kebangkitan nasional. Dua peringatan yang sebenarnya tak dapat dipisahkan, sebab antara pendidikan dan kepemudaan merupakan dualitas yang saling mendukung. Bahkan tidak sedikit adagium yang kerap mensangkutpautkanya dengan adanya perubahan. Meski demikian, tetap saja banyak orang muda yang hingga kini terpisah jauh dari dua entitas penting yang mesti menjadi hakikat hidupnya tersebut. Bahkan tanpa disadari oleh dirinya sendiri, banyak orang muda yang tak mampu berdiri dan tenggelam dalam pergulatan isu yang ada. Tidak sulit untuk menemukannya, kita hanya tinggal membuka situs komunikasi tertentu di internet maka kita akan menemukan bagaimana sikap sejumlah orang yang ingin mengganti dasar negara karena dilatari aroma rasisme agama. Seolah teratomisasi, para kaum muda yang ada banyak yang kemudian berjarak dengan Pancasila dan Kebhinekaan dinegara ini.
Dalam bahasa pergaulan orang muda, sebuah hubungan yang berjarak kerap digantikan dengan ungkapan LDR. LDR sendiri adalah sebuah singkatan dari frasa bahasa asing, yaitu Long Distance Relationship. Yang bisa diartikan secara sederhana sebagai terjalinnya hubungan, namun tetap memiliki jarak yang jauh. Seperti sudah diketahui bersama, ungkapan relasi semacam ini rentan untuk menghadirkan perasaan curiga atau pun ketidakpercayaan satu sama lain. Lalu bila menghubungkannya dengan kebhinekaan hari ini, maka dapat dilihat bahwa entitas mahluk yang digelari sebagai orang muda telah memiliki bentang pemisah antara dirinya dan hakikatnya sebagai orang muda. Orang muda kerap digadang sebagai insan yang memiliki nalar kritis terhadap keadaan dan semangat inovasi dalam menjaga persatuan. Namun belakangan malah banyak yang larut dalam usaha memberikan sekat pemisah antara dirinya dengan Pancasila dan kebhinekaan. Nampaknya, banyak orang muda yang sebelumnya mengagumi keberagaman nusantara dengan semboyan terkenal Bhineka Tunggal Ika, telah beralih sebagai pembasmi keberagaman. Para orang muda kebanyakan malah tenggelam dalam hingar-bingar politik pragmatis dengan dalih membela agama. Banyak dari orang muda yang terlupa akan pentingnya memperjuangkan indahnya keberagaman.
Yang Sakral: Cermin Pemuda Dalam Bertindak
Sudah saatnya kita berkata tidak atas semua bentuk sikap LDR terhadap kebhinekaan, peningkatan eskalasi radikalisme berlatar agama serta intoleransi. Sebuah gugatan terhadap pemikiran yang demikian sangat penting untuk dilayangkan, sebab gentingnya keadaan yang semakin memanas. Di akar rumput, semakin sering dijumpai masyarakat yang memakai kacamata oposisi biner, yaitu pihak mayoritas dan minoritas. Nampaknya tawaran berfikir seperti yang dikemukakan oleh seorang tokoh perdamaian bernama Chaiwat Satha-Anand pantas untuk dijadikan perhatian.
Dalam Salah satu esai yang ditulisnya ia mencoba meyakinkan akan pentingnya penempatan sesuatu yang sakral disebuah tempat (di dalam) cermin. Mungkin hal ini terkesan mendikotomikan tubuh kita dari sesuatu yang sakral, namun sejatinya ada dua hal utama yang dapat kita jadikan panduan kita dalam berfikir. Yang pertama, Satha-anand mencoba menyampaikan bahwa penempatan yang sakral pada ruang cermin membuat kita menjadikan seuatu yang sakral tersebut sebagai tuntutan agar dapat melihat setiap hal yang menjadi kelebihan dan kekurangan kita. Melalui pantulan bayangan, membuat kita bisa berefleksi dalam memperbaiki kekurangan kita sebelum kita berfikir tentang hal yang lain di luar kita. Dalam kaitannya dengan para kaum muda, ide ini penting untuk dipertimbangkan. Sebab tujuan dari gagasan ini adalah memberikan kesempatan bagi kita berbenah dengan optimal sebelum berfikir mengenai hal lain di luar kita.
Yang kedua, memberikan kepastian ruang kepada kita untuk menjadi manusia sejati yang selalu punya keingintahuan. Hal ini berguna sebagai bentuk kontempelasi yang optimal bagi kita sebelum kita mengambil tindakan yang berkaitan dengan pihak lain. Kita diberikan kemampuan untuk berfikir dan mempertimbangkan segala sesuatunya, tentunya kita pun diharapkan mampu menggunakannya semaksimal dan sebijaksana mungkin. Dengan menempatkan sesuatu yang sakral di (dalam) cermin, para kaum muda diharapkan dapat berfikir logis dan kritis tentang ke-manusia-annya dan juga orang lain sebelum melakukan tindakan apa pun. Berani menempatkan dirinya sebagai manusia sepenuhnya, berarti mengembalikan manusia itu sendiri pada khitahnya. Sebab seperti telah kita sadari bersama, manusia tidak dapat menjadi tuhan yang memiliki peran sebagai penentu nasib manusia. Akhirnya tujuan yang dicapai dari kesemuanya itu adalah menghindarkan dirinya dari kekaguman yang berlebihan yang akhirnya hanya akan membakar dirinya sendiri, layaknya ngengat yang terbakar karena keterpesonaannya yang luar biasa pada nyala api yang tengah berkobar.
Pemuda adalah agen perubahan, bukan agen yang bersumbu pendek dan gampang untuk diadu domba. Kejernihan spiritualitas dan fikiran yang selalu jauh dari radikalisme dan intoleransi menjadi kunci awal dari semangat perdamaian dan pembangunan.