Pemuda, Gelombang Agama dan Kemanusiaan

Pemuda, Gelombang Agama dan Kemanusiaan

- in Narasi
526
1
Pemuda, Gelombang Agama dan Kemanusiaan

Para generasi muda dalam tiap zamannya seolah menghadapi tantangan yang besar yang berbeda dengan generasi muda pada era sebelumnya. Sehingga tidak mengherankan bila hari ini orang muda mesti berhadapan dengan beragam variabel persoalan yang mungkin jauh berbeda dibandingkan kaum muda terdahulu. Pada era post-truth hari ini, kaum muda kita berhadapan bukan hanya dengan persoalan ancaman perpecahan dan disintegrasi bangsa layaknya periode sebelumnya. Kompleksitas persoalan untuk memperjuangkan kemanusiaan mesti bergelut hebat dengan kebangkitan gelombang paradigma agama yang ternyata di antaranya menjadi tunggangan bagi para demagog. Akibatnya beberapa di antara kaum muda yang sebelumnya telah berada dalam koridor perjuangan kemanusiaan kemudian tergelincir jauh, bahkan beberapa dari mereka malah menjadi motor dalam menginjak nilai kemanusiaan.

Jelas bukan hal yang salah bila meyakini bahwa melalui agama, manusia mengupayakan hidup yang lebih baik dalam konteks moralitas. Namun persoalannya justru hadir ketika beberapa pihak berhasil melakukan instrumentalisasi terhadap agama guna kepentingan pragmatisnya. Instrumentalisasi yang terjadi terkadang sudah tidak dapat lagi dirasakan sebagai bentuk instrumentalisasi. Sejumlah pihak sudah menjadikannya sebagai suatu hal yang taken for granted/mahfum akan hal ini. Hal ini terjadi dilatari oleh menguatnya identitas agama menjadi budaya populer hari ini.

Dalam realitas hari ini identitas agama, khususnya Islam sebagai agama dengan penganut terbesar mendadak naik ke permukaan dan menjadi budaya populer (Heryanto, 2018). Penanda atas atas hal ini dapat dilihat dalam beberapa segi kehidupan. Yang pertama adalah maraknya industri fashion yang mengetengahkan komoditi yang berhubungan dengan identitas Islam. Seperti Hijab, kosmetik halal dan lain sebagainya. Fenomena yang kedua yang menunjukkan hal tersebut adalah bermunculannya film-film Indonesia yang mengetengahkan ide-ide tentang identitas Islam (Heryanto, 2018). Contohnya, seperti Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih dan seterusnya. Fenomena yang ketiga yang menunjukkan hal tersebut adalah hadirnya kelompok partikelir yang menggunakan simbol-simbol agama Islam. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran mereka mempengaruhi peta perpolitikan dan sosial di banyak daerah di Indonesia. Eksistensi mereka yang tetap terjaga hingga hari ini membuat kita sulit menyangkal bahwa mereka pasti mendapatkan dukungan dari pihak yang berkepentingan atas kerja-kerja mereka.

Baca Juga :Sumpah Pemuda Dan Kita

Menguatnya identitas demikian tanpa disadari menghadirkan kerisauan tersendiri dalam pemikiran bangsa ini. Sebab dalam waktu yang relatif cepat-sebelum era reformasi dan setelahnya, terjadi perubahan yang cukup besar dalam segala aspek kehidupan kita. Efeknya tentu masyarakat banyak yang mengalami shock culture luar biasa. Elemen masyarakat banyak yang kemudian kebingungan untuk menentukan moralitas yang tepat atas suatu hal. Tidak jarang beberapa pihak dari mereka-yang beranggapan telah menemukan jalan yang dianggap sebagai sesuatu kaffah, acap kali menempatkan orang yang berbeda dengannya sebagai orang yang sesat. Bahkan atas nama pemahaman ke-Islaman tertentu yang dimilikinya ia bisa saja melakukan tindakan represif. Artinya karena shock culture yang akhirnya menimbulkan kebingungan, setiap individu apalagi orang muda kita sangat rentan terseret pada pemikiran ekstrimisme dan pengingkaran terhadap kemanusiaan.

Nalar Kritis Untuk Kemanusiaan

Bila sumpah pemuda dimaknai sebagai cikal bakal persatuan bangsa untuk menghidupkan jiwa NKRI dalam benak warga negaranya, maka mestinya kita kembali melihat perjuangan para syuhada bangsa ini. Mereka berjuang dengan tiada memandang agama atau identitas tertentu sahabat seperjuangannya. Perjuangan mereka semata untuk bebas dari penjajahan dan mampu keluar sebagai bangsa yang bisa merawat budaya dan menghargai harkat warga negaranya sebagai manusia. Artinya bila hal tersebut dirasa semakin berjarak, maka tentu nalar kritis kita mestinya bergerak mempertanyakannya keadaan yang ada. Sebagai animal rationale dengan hakikat kesejatiannya adalah sebagai mahluk yang memiliki kemampuan berfikir, mestinya hal ini hadir secara alamiah. Pertanyaan-pertanyaan sederhana tentu akan mengalir dengan mudah. Contohnya saja seperti, bila perjuangan para syuhada bangsa ini tidak mengenal identitas, mengapa hari ini identitas menjadi teramat penting? Lalu bila dahulu perjuangan kemerdekaan atas dasar nilai kemanusiaan, mengapa hari ini pengkotak-kotakan di masyarakat menjadi lebih dominan hadir?

Lewat hal-hal sederhana demikian, memungkinkan kita tidak berubah menjadi individu yang oleh Hannah Arendt disebutnya sebagai individu tunggal karena thoughtlessness. Yang pada gilirannya siap melakukan apa saja yang diperintahkan kepadanya karena semua hal di atas namakan agama.

Bila mempertanyakan hal-hal yang demikian sungguh bisa kita lakukan bersama-sama, agaknya jalan untuk membentangkan kembali semangat persatuan dalam bingkai kemanusiaan memperoleh jalan terangnya. Namun bila hal itu saja tidak mampu kita lakukan – atau bahkan kita menganggapnya sebagai perbuatan yang salah, maka bukan hanya semangat kemanusiaan yang akan hilang namun juga banyak nilai luhur bangsa dan kebudayaan lainnya yang akan ikut hilang tanpa bekas.

Facebook Comments