Penetrasi media sosial membuat pola hubungan manusia berubah dan menghilangkan sekat-sekat yang dulu ada. Tak terkecuali dalam hal ruang privat dan ruang publik. Hampir-hampir tidak ada batas lagi, mana ruang privat, tempat eksklusif yang pihak lain tidak bisa masuk; dan mana dunia publik tempat bersama untuk berinteraksi dan berdealektika.
Hilangnya batas-batas itu menjadi tantangan bagi para juru dakwah. Sebab para penceramah agama berada pada dua sisi. Satu sisi ia harus menggunakan bahasa khusus, eksklusif, dan hanya untuk jamaah agamanya saja. Di sisi lain—dengan masuknya media sosial –mau tidak mau, para penceramah agama harus sadar betul, bahwa dakwah yang dia sampaikan bukan lagi hanya milik umat/jamaah saja, tetapi sudah menjadi milik publik. Di sini ia harus menggunakan bahasa umum.
Sering terjadi para penceramah agama tidak memahami kondisi ini. Dakwah yang disampaikan dengan menggunakan bahasa khusus, ungkapan-ungkapa eksklusif kelompoknya sendiri, doktrik agama yang sifatnya teologis seperti kata kafir, musyrik, sesat, neraka, –ketika masuk ke media sosial, ia bisa menjadi konsumsi publik dan tak jarang itu memancing keributan, melukai perasaan agama lain, bahkan sering terjadi polarisasi dan konflik.
Kasus video Ustad Abdul Somad (2019) yang bilang ada “jin kafir” dalam Salib adalah contohnya. Video itu viral dan menimbulkan perdebatan pajang. Pro-kontra, hujatan, cacian, dan ujaran kebencian antar dan antara pemeluk agama bak bola salju, menggelinding semakin membesar. Sebagian pihak menganggap itu adalah penghinaan atas simbol agama tertentu. Sebagian lagi berkomentar, UAS berceramah di ruang privat, jadi tidak termasuk penghinaan.
UAS membela diri bahwa video itu tidak memenuhi unsur penghinaan agama, sebab ia ceramah dalam ruang privat, bukan dalam ruang publik. “Selain itu, saya ceramah untuk menjawab pertanyaan, bukan dalam membahas khusus agama lain. Lagian ceramah itu sudah tiga tahun lalu,” tambahnya. Perdebatan itu semakin mengalir, membanjiri lini media sosial, sebab pada akhirnya UAS tidak mau minta maaf dengan argumen teologis sambil mengutip ayat Al-Quran.
Ada dua pelajaran penting yang perlu dikaji terutama dalam konteks dakwah di era digital sekarang ini. Pertama, soal gaya dan bahasa dakwah, keduatentang perubahan lingkup ruang publik. Kedua poin ini penting, sebab manusia hidup dengan latar belakang yang berbeda, agama, budaya, dan tradisi masing-masing.
Di sebagian pemeluk agama –untuk tidak mengatakan seluruhnya—masih ada logika bahwa dakwah santun, sejuk, adem, damai, dan toleran hanya perlu di ruang publik. Sementara di ruang privat, kita boleh kok eksklusif, merasa paling benar sembari menyalahkan agama dan keyakinan orang lain.
Logika ini tentu perlu ditinjau ulang kembali. Sebab batasan mana ruang privat dan mana ruang publik sekarang tipis sekali, bahkan hampir tak bisa dibedakan. Boleh jadi, yang dulu dianggap ruang privat, dalam konteks sosial media, digital, dan gemerlap informasi justru bisa dikonsumsi oleh khalayak umum.
Hilangnya Kesantunan
Yang membanjiri media sosial hari ini adalah dakwah yang mempertajam jurang perbedaan, sibuk dengan agamanya sendiri, menutup diri, dan membangun tembok ekskulisfitas masing-masing. Bahkan kita hari ini dengan mudah menjumpai sebagian para penyeru agama yang dengan enteng dan tanpa rasa bersalah mencaci-maki dan memprovokasi agama lain.
Bila ada pertanyaan, apa yang hilang dari dakwah agama –terkhusus pada era media sosial saat ini? Maka jawabannya adalah kesantunan. Rasa untuk menghargai perasaan, menjaga hati agama lain agar tidak tersakiti rasa-rasanya mulai memudar di ruang publik.
Tentu bukan berarti tidak ada pendakwah yang santun dan mau menyuarakan toleransi, masih banyak, mereka masih dapat kita temui di berbagai penjuru. Akan tetapi, suara mereka tergilas oleh dakwah provokatif dan sektarian oleh sebagian oknum-oknum ustad yang tak bertanggung-jawab.
Dakwah provokatif bukan hanya monopoli Islam saja, hampir di setiap agama selalu ada oknum-oknum tertentu yang dengan sengaja menonjolkan primordialisme dan perbedaan sektarian ketimbang menuntut umat agar menuju kepada harmoni dan kedamaian. Kita dengan mudah menemukan itu di facebook, instagram, youtube, dan media sosial lainnya.
Maka tugas utama kita –terlebih-lebih para pemeluk agama –adalah agar kita kembali kepada misi dan gaya berdakwa Nabi. Nabi berdakwah merangkul, bukan memukul; mengajak dengan ahsan; menghilangkan sektarianisme dan eksklusivisme.
Dakwah yang mengangkat harkat dan martabat manusia. Para pemeluk agama harus menghukum para penceramah yang suka memprovokasi, mencaci-maki, dan merendahkan pihak lain. Sebab, jika tidak dihukum, maka dengan sendirinya para ustad-ustad itu tanpa rasa bersalah, akan merasa di atas angin dan selalu beranggapan bahwa dirinya selalu didukung oleh para pendengar setianya.
Jauhi Penceramah Provokatif
Beberapa kasus menunjukkan, ternyata sebagian besar kita tidak berani menghukum ustad-ustad dan penceramah yang provokatif yang bisa merusak tatanan sosial bermasyarakat kita. Banyak–dan itu di sekitar kita –ustad, penceramah, tokoh agama yang sukanya caci-maki, memfitnah, mengkafir-sesatkan orang yang tidak sepahaman dengan dia. Terus apa yang kita lakukan? Kita hanya diam. Sekali lagi diam! Paling banter kita cuma berani berkomentar dan membuat status di media sosial.
Sikap seperti itu sejatinya tidak cukup. Kita harus memberikan sanksi nyata kepada para penceramah-penceramah model beginian. Sanksi nyata harus diberikan biar supaya ada efek jera. Secara pribadi, saya yakin, logika ekonomi itu juga berlaku dalam dakwah.
Artinya ketika tidak ada tawaran banyak dalam suatu barang, maka barang tersebut tak akan laku, yang otomatis akan hilang dari pasaran. Hal yang sama juga dalam dakwah, jika tidak para pendengar menjauh, otomatis sang penceramah tidak akan laku lagi. Otomatis akan tenggelam sendiri.
Sanksi riil itu bisa diwujudkan dengan: pertama, jangan memberikan panggung kepada penceramah yang menyebabkan hubungan harmonis menjadi rusak. Jadwal khutbah, pengajian, ceramah, dan kegiatan keagamaan masyarakat jangan diberikan kepada penceramah yang provokatif.
Kedua, jangan mengundang ustad-ustad yang tidak paham tentang keislaman dan keindonesian sekaligus. Undanglah ustad-ustad atau tokoh agama yang bisa mendialogkan antara keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan.
Ketiga, akun media sosial para penceramah yang suka mencaci maki dan memprovokasi harus dijauhi, jangan di-follow. Sebab di era digital sekarang, semakin banyak followers seseorang semakin besar otoritas dia, yang akibatnya pengaruh sang ustad itu semakin besar di masyarakat.
Keempat, segala bentuk video, meme, dan quote yang provokatif jangan di-share. Cukup sampai pada ponsel, kemudian dihapus. Dengan cara ini, maka popularitas sang ustad tidak semakin cemerlang. Terkadang narasi anti-kerukunan itu banyak dikonsumsi publik sebab dipublikasikan secara massif dan terstruktur.
Keengganan masyarakat disebabkan oleh fanatisme buta bahkan sebagian sudah mengkultuskan para ustad-ustad itu bak Nabi yang tidak mempunyai salah. Akibatnya, orang yang mengkritik dan menyuruh ustad mereka dianggap sebagai penghinaan dan kriminalsasi ulama.
Sampai di sini bisa dikatakan, bahwa kualitas ustad atau penceramah sejajar dengan kualitas para pendengar. Artinya semakin kritis masyarakat maka semakin baik kualitas para penceramah yang dihasilkan. Pada akhirnya, kita lah menentukan kualitas ustad-ustad itu. Santun kah dia, provokatif kah dia, suka mencaci kah dia, dan seterusnya ditentukan oleh kualitas dan kecerdasan kita dalam menyikapi para ustad itu.