Validasi adalah sebuah elemen yang melekat pada Generasi Z. Keduanya berkelindan. Tak terpisahkan. Beberapa tahun terakhir, muncul sebuah fenomena baru, yang sebetulnya tidak baru-baru amat, yaitu performative male. Para lelaki ini menampilkan citra yang seolah mendobrak maskulinitas toksik.
Namun demikian, fenomena ini justru membuka celah manipulasi dan menjadi lahan subur bagi revalidasi identitas oleh kelompok ekstremis. Pergeseran definisi maskulinitas ini, meski berpotensi positif, menyimpan risiko pencitraan dangkal dan kerentanan terhadap ideologi yang destruktif.
Tren cowo performatif ini menyoal lelaki yang sengaja membangun citra diri untuk audiens tertentu, terutama perempuan. Menurut The New York Times (2025), fenomena ini adalah gaya laki-laki remaja yang berdandan dan bergaya sedemikian rupa dengan harapan lebih disukai oleh perempuan.
Mereka adalah kebalikan total dari stereotip “cowo toksik” yang tercitra dari sifat yang cuek, cool, dan misterius. Identitas baru ini ditunjukkan lewat barang-barang dan selera yang seolah-olah menandakan kelembutan, peduli isu sosial, dan kekinian.
Yang sering diilustrasikan adalah, seorang lelaki sedang minum iced matcha latte, tangannya megang novel Sally Rooney, dan di lehernya ada headphone kabel. Dia pakai celana longgar, dengerin lagu-lagu Clairo, dan pastinya nenteng tote bag. Ia menunjukkan kepekaan dan dukungan pada feminisme. Mungkin bisa jadi tulus, atau bisa jadi cuma akting.
Namun, di sinilah letak masalahnya. Lanna Rain, salah satu penyelenggara kontes performative male di Seattle, menekankan bahwa sering kali, mereka tidak tahu apa yang mereka bicarakan.
Fenomena ini menggemakan apa yang oleh pakar budaya internet Casey Lewis disebut sebagai versi modern dari “poser” di era 90-an dan awal 2000-an. Poser adalah individu yang berusaha tampil keren untuk menarik perhatian, namun tanpa substansi di baliknya.
Akar masalah dari fenomena performative male bukanlah soal tulus atau tidaknya seseorang. Persoalan yang jauh lebih berbahaya terletak pada bagaimana krisis validasi dari dalam diri menjadi ruang gelap yang sangat rentan terhadap manipulasi dan propaganda ekstremis.
Akarnya adalah ketika identitas tidak lagi dibangun di atas self-values (internal), melainkan di atas pencarian pengakuan dari luar (eksternal) yang sejatinya rapuh. Karena nilai diri bergantung sepenuhnya pada respons orang lain. Setiap kekurangan validasi, ia akan menciptakan kekosongan. Kekosongan ini menjadi “pintu masuk” bagi narasi apa pun yang menjanjikan rasa memiliki dan tujuan hidup yang terasa lebih “nyata”.
Di sinilah kelompok ekstremis memainkan perannya. Strategi mereka adalah menawarkan “ruang aman” berupa komunitas eksklusif di mana para pria muda ini merasa didengar. Setelah mendapatkan kepercayaan mereka, proses “revalidasi identitas” pun dimulai.
Kerentanan ini diperparah oleh cara kerja media sosial. Algoritma yang dirancang untuk membuat kita terus terlibat, tanpa sadar akan mendorong penggunanya ke konten yang semakin ekstrem. Inilah lubang kelinci (rabbit hole) yang mempercepat proses radikalisasi.
Ironisnya, kedangkalan performa ini sering kali terungkap dengan sendirinya. Dalam sebuah kontes performative male di Seattle (The New York Times, 2025), pesertanya bahkan tidak tahu hal-hal mendasar tentang isu perempuan.
Pada akhirnya, seperti kata RuPaul, “kita semua terlahir telanjang”, dan sisanya adalah peran. Di era digital, hampir semua identitas adalah sebuah panggung. Panggung itu menjadi berbahaya ketika pertunjukannya kosong dari nilai dan hanya didorong oleh kebutuhan putus asa akan tepuk tangan (validasi). Fenomena ini adalah cermin dari identitas modern yang begitu cair dan berisiko tinggi.
Jika berharap fenomena sosial ini menguap begitu saja, maka itu adalah harapan yang naif. Performative male adalah anak kandung dari digitalisasi dan realitas keterasingan sosial di dalamnya.
Penawar racun yang paling ampuh bagi kerapuhan identitas digital adalah membangun fondasi diri yang kuat di dunia nyata. Hanya dengan cara inilah, niat baik untuk mendefinisikan ulang maskulinitas dapat diselamatkan dari ancaman manipulasi dan radikalisasi.
Jika Gen Z mencari validasi eksternal, maka kita perlu berikan itu. Menghakimi Gen Z hanya karena mereka hidup dalam dunia yang lebih mudah tidak kemudian merubah mind set mereka. Jika kita gagal menyediakan validasi itu, boleh jadi mereka akan tervalidasi oleh kelompok lain yang punya niat yang buruk.