Pesan Nuzulul Qur’an untuk Kerukunan Antar Agama

Pesan Nuzulul Qur’an untuk Kerukunan Antar Agama

- in Narasi
29
0
Pesan Nuzulul Qur'an untuk Kerukunan Antar Agama

Ramadan dalam bahasa Arab berasal dari ramad, yang berarti membakar atau panas yang hebat dan menyengat. Makna panas, menyengat dan membakar dari puasa Ramadan berarti membakar amarah, kebencian, iri dengki dan segala penyakit hati yang berasal dari nafsu lahir maupun batin.

Makna ini menandakan bahwa umat Islam di bulan Ramadan dididik untuk membersihkan jasmani dan ruhani. Bahwa, Ramadan adalah bulan suci, bulan kemanusiaan. Ramadan mengajarkan umat Islam tidak melakukan kegiatan destruktif, atau aktifitas yang merusak sistem kehidupan antar sesama dan seluruh ciptaan. Dalam arti yang lebih luas, Ramadan sepatutnya menjadi momentum refleksi atas kemanusiaan umat Islam sebagai praktik dari Islam rahmatan lil alamin.

Lebih dari itu, sebagaimana dikatakan dalam al Qur’an, bahwa puasa milik semua agama. Ibadah puasa juga diwajibkan oleh agama-agama selain Islam dalam upaya mengajarkan pemeluknya menjadi pribadi yang memiliki kesucian hati, bebas dari amarah dan kebencian, serta kesadaran kemanusiaan umat beragama.

Diturunkannya al Qur’an di bulan Ramadan memberi kekhasan sendiri bagi bulan suci, yakni kemuliaan bulan Ramadan semakin diperkuat dengan turunnya kitab suci di bulan ini. Al Qur’an mengajarkan prinsip kemanusiaan, untuk tidak membedakan manusia karena latar etnis, suku, budaya dan sebagainya.

Karenanya, penuzulan al Qur’an di bulan Ramadan sejatinya menjadi spirit bagi umat Islam memiliki semangat kerukunan antar agama. Sebab menegasikan perbedaan yang mengitari manusia merupakan suatu kesalahan dalam kehidupan ke-agama-an. Al Qur’an secara gamblang mengatur harmonisasi antar agama, juga antar sesama sebagai norma hukum yang harus diteladani.

Pesan ini sebagai pembuktian atas keluhuran agama dan sumbernya. Sehingga kalau ada umat Islam yang anti keberagaman atau menistakan kemanusiaan, sesungguhnya telah menodai keluhuran agama dan sumbernya (al Qur’an) tersebut. Dehumanisasi adalah praktik terlarang dalam Islam.

Semangat Kerukunan Antar Agama dalam al Qur’an

Pada prinsipnya tidak ada masalah dalam Islam soal kemanusiaan dan kerukunan antar umat beragama dan segala perbedaan yang melingkupinya. Sumber-sumbernya, yakni al Qur’an dan hadits menegaskan harmonisasi antar umat agama sebagai ketinggian iman dan akhlak. Sikap anti perbedaan, memusuhi orang lain karena agama atau perbedaan madhab, merupakan hasil penafsiran arogan berdasarkan hawa nafsu yang berbau busuk kemungkaran.

Secara tersurat al Qur’an (Al Hujurat: 13) menghendaki harmonisasi antar manusia dengan segala latar perbedaan yang ada. Keragaman bangsa dan suku merupakan fitrah penciptaan manusia, dan hal itu memang didesain oleh pencipta supaya manusia saling mengenal satu dengan yang lain.

Manusia harus mengakui perbedaan tersebut dan bersedia untuk belajar menerimanya sehingga nilai-nilai inklusifitas tertanam dalam diri setiap umat Islam. Perbedaan sejatinya tidak menjadi penghalang, melainkan sebagai peluang untuk berkolaborasi memperkaya pengalaman hidup bersama dan memperkokoh fondasi kerukunan antar umat beragama.

Al Qur’an juga menegaskan fenomena perbedaan iman sebagai keniscayaan dan sunnah yang alamiah memang diciptakan oleh Tuhan (Yunus: 99). Sehingga Rasulullah sendiri tidak diberi kewenangan untuk menarik orang beragama lain masuk Islam.

Artinya, dalam Islam tidak ada rumus semua manusia di muka bumi harus memeluk agama Islam. Agama Islam hanya mengajarkan umat Islam berakhlak mulia supaya orang-orang tertarik dengan ajaran Islam. Perintah amar makruf nahi munkar bukan berarti umat Islam memiliki hak paksa menarik seseorang untuk memeluk Islam. Dakwah hanya sebatas menyampaikan pesan keislaman dengan yang baik, tidak memaksa, serta tidak ada kebencian terhadap pemeluk selain Islam.

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)” (Al Baqarah: 256), menjadi bukti bahwa harmonisasi antar agama harus dikedepankan. Islam justeru mendorong umatnya untuk berbuat baik kepada diri sendiri dan orang lain tanpa sekat agama, suku, ras, etnis dan sebagainya. Islam mendorong kohesifitas sosial untuk menciptakan situasi yang kondusif.

Bahkan dalam al Qur’an (Al Mumtahanah: 8) ditegaskan, Islam tidak melarang umatnya untuk berinteraksi dengan penganut agama lain, sebaliknya Islam memerintahkan umat Islam untuk berbuat baik berlaku adil kepada mereka yang tidak seagama. Selama non muslim tidak memerangi umat Islam karena agama dan tidak mengusir dari tempat tinggal atau negaranya, Islam menganjurkan berbuat baik dan berlaku terhadap mereka.

Praktik harmonisasi sesuai perintah ayat ini jelas terekam dalam kehidupan sosial Baginda Rasulullah, dimana kerukunan dan toleransi berjalan cukup baik. Harmonisasi terjalin sangat kuat dalam interaksi sosial antara umat Islam dan non muslim.

Dengan demikian, Nuzulul Qur’an yang terjadi di bulan Ramadan hendaknya menjadi momentum bagi umat Islam untuk bersikap inklusif sebagaimana ajaran al Qur’an yang telah disebutkan di atas. Ramadan dan Nuzulul Qur’an keduanya menjadi momentum penyucian jiwa dan penghapusan egoisme, termasuk egoisme beragama.

Substansi dari pesan moral agama ini merupakan penguatan terhadap kemanusiaan umat Islam. Karena di dalam agama Islam, kemanusiaan menjadi hal yang sangat mulia. Ibadah apa saja terkait erat dengan kesalehan sosial. Hubungan baik pencipta harus berbanding lurus dengan kesalehan sosial. Jika tidak demikian, maka praktik ibadah yang dijalankan tidak lebih hanya pencitraan dan pendangkalan.

Oleh karena itu, momentum Bulan Ramadan dan Nuzulul Qur’an hendaknya mendidik kita lebih peka terhadap solidaritas dan kerukunan antar agama. Al Qur’an menegaskan hal ini, demikian juga sejarah kehidupan Nabi serta seruan dari beliau untuk senantiasa berlaku baik dan adil terhadap non muslim selama mereka mau hidup berdampingan secara damai.

Facebook Comments