Refleksi Nuzulul Qur’an; Mewujudkan Koeksistensi Damai Antar-Agama

Refleksi Nuzulul Qur’an; Mewujudkan Koeksistensi Damai Antar-Agama

- in Narasi
29
0
Refleksi Nuzulul Qur'an; Mewujudkan Koeksistensi Damai Antar-Agama

Pada malam ke-17 bulan Ramadan, Rasulullah Muhammad menerima Wahyu untuk pertama kalinya. Saat itu ia tengah ber-tahannuts alias menyepi di gua Hira. Sebuah kebiasaan yang diajukan oleh masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Wahyu pertama yang turun adalah perintah untuk membaca (iqra’), yang menjadi bagian dari Surat Al Alaq.

Menarik mencermati kisah turunnya ayat pertama Al Qur’an ini. Ayat tersebut turun ketika Nabi Muhammad tengah bermunajat pada Tuhan di tempat yang sepi. Ia tengah menjalani laku kontemplasi. Hal yang lazim dilakukan untuk mendapatkan pencerahan batin. Ini artinya, wahyu Allah turun pertama kali dalam suasana kontemplatif, hening, dan suasana hati Rasulullah yang tenang.

Kedua, ayat yang pertama kali turun adalah seruan untuk membaca. Menurut Quraisy Syihab, makna iqra dalam bahasa Arab bukan sekadar membaca, melainkan menghimpun, menganalisa, untuk menemukan satu kesimpulan yang padu. Maka, perintah membaca tidak lantas hanya diartikan sebagai membaca teks atau aksara saja, melainkan juga membaca obyek non-teks lainnya.

Sedangkan menurut Sayyed Hossein Nasr, wahyu pertama yang berisi seruan membaca dilatari oleh kondisi masyarakat Arab yang kala itu ada dalam kondisi Jahiliyyah alias terbelakang. Salah satu faktor kondisi Jahiliyyah itu menurut Nasr adalah lantaran masyarakat Arab terjebak dalam nalar fanatisme; mengunggulkan kelompok sendiri dan menganggap rendah golongan lain.

Maka, musuh dakwah Islam periode awal adalah melawan fanatisme masyarakat Arab yang kadung menancap dalam alam pikir orang Arab kala itu. Salah satu bentuk fanatisme itu misalnya adalah kebanggaan berlebihan terhadap identitas kesukuan dan keturunan. Maka, tidak jarang terjadi perang saudara hanya karena fanatisme kesukuan dan golongan tersebut.

Turunnya Alquran menandai babak baru bagi dakwah Islam. Pasca diangkat sebagai Rasul, Nabi Muhammad mengembakan konsep dakwah yang berorientasi pada al ikha’ yakni mempersaudarakan orang-orang Arab. Apalagi pasca hijrah ke Madinah, konsep al ikha’ ini semakin diperluas, tidak hanya dalam konteks relasi antarsuku, namun juga antaragama.

Pasca hijrah ke Madinah, Rasulullah mengembangkan tatanan kehidupan yang berlandaskan pada komitmen untuk berbagi ruang publik dengan entitas yang berbeda. Jika dibaca dari perspektif kekinian, Rasulullah sebenarnya sudah mengenakan model kehidupan beragama yang berbasis pada prinsip koeksistensi damai.

Nuzulul Qur’an Momentum Membangun Koeksistensi Damai Antar Agama

Dalam literatur keislaman klasik, konsep koeksistensi damai ini disebut dengan istilah al ta’asyusy al silmy. Asa banyak catatan sejarah tentang bagaimana Rasulullah menerapkan prinsip koeksistensi damai terutama dalam konteks beragama ini.

Misalnya, Rasulullah menjamin hak kebebasan beragama bagi umat Yahudi maupun Kristen yang ada dalam wilayah kekuasaannya. Umat Yahudi dan Kristen tetap boleh beribadah, para pemuka agamanya tetap diberikan hak untuk melayani umat, sedangkan tempat ibadah juga terjamin keamanannya.

Tidak hanya itu, dakwah Islam dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad juga tidak anti pada tradisi dan kebudayaan lokal. Inilah yang membuat dakwah Islam periode Rasulullah mengalami capaian signifikan. Dasar dari prinsip koeksistensi damai antar agama ala Rasulullah adalah ayat Alquran yang menyebut bahwa jika Allah menghendaki, maka Ia akan menjadikan manusia sebagai umat tunggal (satu jenis).

Juga ayat Alquran yang lain yang secara eksplisit menyebut bahwa tujuan Allah menciptakan manusia beragama suku, bangsa, dan golongan adalah untuk saling mengenal. Konsep saling mengenal (mutual understanding) inilah yang menjadi landasan pokok implementasi prinsip koeksistensi damai antar agama.

Pola kehidupan umat Islam yang menjunjung tinggi relasi damai antar agama ibu merupakan antitesis dari corak sistem sosial Romawi yang kala itu cenderung segregatif. Dalam sistem pemerintahan Romawi, agama resmi yakni Yahudi merupakan kelompok dominan. Sedangkan agama minoritas seperti Kristen dan agama lainnya diposisikan marjinal bahkan kerap mengalami penindasan.

Prinsip koeksistensi damai antar agama yang diterapkan Rasulullah ini idealnya diadaptasi oleh umat Islam di era sekarang. Peringatan Nuzulul Qur’an kiranya menjadi momentum untuk mengembangkan koeksistensi damai antar agama. Melalui kontemplasi Nuzulul Qur’an kita wajib membangun kesadaran bahwa perbedaan agama tidak seharusnya menjadi penyebab konflik dan penindasan.

Sebaliknya, perbedaan agama harus menjadi dijembatani dengan komunkasi dan sikap saling memahami. Apalagi dalam konteks dunia modern seperti saat ini yang diwarnai oleh beragam problem sosial keagamaan yang sangat kompleks.

Prinsip koeksistensi damai antar agama akan menjadi solusi bagi problem keagamaan seperti Islamofobia, anti-semithisme, fenomena terosisme dan sejenisnya. Maka, relevan kiranya jika umat Islam hari ini merayakan Nuzulul Qur’an dengan nuansa yang kontemplarif, dan jauh dari hura-hura yang tidak bermakna. Nuzulul Qur’an idealnya menjadi tonggak untuk mengembangkan prinsip koeksistensi damai antar agama.

Facebook Comments