Wakapolres Majalengka Bayu Purdantono tengah viral di media sosial. Semua berawal dari unggahannya di medsos Facebook yang diduga menyindir ormas Banser yang membubarkan acara pengajian Ustad Riza Basalamah di Surabaya. Unggahan itu memang telah dihapus, namun tangkapan layarnya keburu menyebar di jagad maya.
Ansor dan Banser Majalengka pun mendatangi kantor Polres Majalengka untuk bertabayun atas kasus tersebut. Dalam pertemuan itu, Bayu Purdantono meminta maaf atas kegaduhan. Namun, ia mengaku bukan dirinya yang membuat dan mengunggah status tersebut. Ia mengaku akun Facebooknya diretas.
Terlepas dari apakah benar akun tersebut diretas atau tidak, kita tidak bisa menutup mata pada fakta bahwa di tubuh kepolisian pun mulai terjadi infiltrasi paham salafi-wahabi. Fenomena ini sebenarnya sudah banyak diungkap oleh beberapa pihak sejak beberapa tahun lalu. Misalnya ketika pada tahun 2022 lalu, Ken Setyawan yang merupakan pendiri NIi Krisis Center menyebutkan bahwa ada fenomena Polisi Cinta Sunnah di tubuh kepolisian RI.
Polisi Cinta Sunnah ini merupakan semacam komunitas internal di lingkungan Kepolisian yang aktif mengadakan kajian keislaman dengan mengundang ustad yang beraliran salafi-wahabi. Tema-tema kajian pun khas kelompok salafi-wahabi, seperti hijrah, penerapan syariah, Islam kaffah, dan sejenisnya.
Ken menduga, komunitas Polisi Cinta Sunnah ini merupakan bentuk infiltrasi paham salafi-wahabi di Kepolisian. Fenomena ini tentu bukan sebuah kebetulan belaka. Melainkan merupakan skenario kelompok radikal untuk menyusup ke lembaga Kepolisian. Salah satu tujuannya adalah untuk mendapatkan akses persenjataan.
Bahaya Infiltrasi Ideologi Radikal di Institusi Kepolisian
Komunitas Polisi Pecinta Sunnah itu kini sudah berhenti menjadi Pembelajar Cinta Sunnah. Di media sosial Instagram, pengikutnya telah mencapai 170an ribu followers. Ini menandakan bahwa komunitas ini terus membesar dan membangun jejaring di institusi Kepolisian.
Infiltrasi paham salafi-wahabi di institusi Kepolisian sudah barang tentu sangat membahayakan. Bagaimana tidak? Bukankah aparat kepolisian merupakan elemen pokok keamanan nasional, termasuk menjadi ujung tombak pemberantasan terosisme? Lantas, apa jadinya jika institusi yang diharapkan menjadi benteng masyarakat dan negara dari kriminalitas dan terosisme justru disusupi paham radikal keagamaan?
Memahami harus diakui, dalam beberapa tahun belakangan, gerakan radikal termasuk kelompok salafi wahabi gencar menginfiltrasi institusi pemerintahan maupun sipil. Mereka masuk ke instansi pemerintahan, BUMN, juga swasta melalui kajian-kajian keagamaan. Fenomena ini terjadi karena adanya dua kondisi.
Di satu sisi, kelompok salafi wahabi memang tengah menarget institusi pemerintah termasuk kepolisian untuk diinfiltrasi. Di sisi lain, ada semacam gelombang antusiasme belajar agama di kalangan aparat kepolisian. Seperti kita tahu, mayoritas personel kepolisian umumnya memiliki latar belakang pendidikan non-keagamaan.
Artinya, mayoritas dari mereka tidak pernah mengecap pendidikan agama formal, apalagi di pesantren. Ketika sudah mapan bekerja, ada semacam panggilan hati untuk lebih mendalami ilmu keislaman. Hal ini sebenernya tidak salah, dan alamiah.
Bagaimana pun juga, seseorang yang telah malam hidupnya pasti memiliki kebutuhan akan spiritualitas. Hanya saja, caranya yang salah. Alih-alih belajar ke guru yang otoritatif dan berpandangan moderat, meraka justru mengundang dan belajar pada ustad-ustad beraliran salafi-wahabi.
Sinergi Insirudi Kepolisian dan Ormas Islam Moderat
Sekali lagi, fenomena Polisi Cinta Sunnah ini tentu hanyalah oknum di lembaga Kepolisian. Meski demikian, kita tidak boleh bersikap permisif. Infiltrasi paham salafi-wahabi di lembaga pemerintah apalagi institusi Kepolisian itu jelas berbahaya. Seperti diketahui, paham salafi wahabi adalah akar dari fenomena terorisme di Indonesia bahkan dunia.
BNPT tempo hari telah menyebutkan bahwa semua napi terosisme di Lapas berpaham salafi-wahabi. Pernyataan BNPT ini mengonfirmasi asumsi bahwa paham salafi-wahabi adalah akar dari fenomena teror dan kekerasan atas nama agama di Indonesia.
Tidak ada jalan lain kecuali pihak Kepolisian harus bersikap waspada dan siaga terhadap upaya infiltrasi di lingkup internalnya. Jangan sampai kelompok salafi-wahabi menyusup ke institusinya. Kebutuhan spiritual personel kepolisian tentu tidak boleh diredam, namun wajib difasilitasi.
Caranya adalah dengan menggandeng guru atau penceramah berhaluan moderat seperti dari NU, Muhamadiyah, atau universitas Islam dan pesantren. Dengan demikian, personel Kepolisian akan mendapatkan ilmu agama dari pihak yang otoritatif sekaligus moderat.
Di saat yang sama, institusi Kepolisian harus memperketat pengawasan internalnya. Terutama mendeteksi infiltrasi paham keagamaan radikal di kalangan peesonelnya. Tersebab, di era sekarang infiltrasi paham radikal bisa terjadi dari mana saja. Salah satunya media digital. Banyaknya konten keagamaan bernuansa radikal yang bertebaran di media sosial berpotensi diakses juga oleh personel Kepolisian.
Artinya, selain aktif melakukan pengawasan eksternal, yakni menjaga masyarakat dari paparan ideologi radikal, institusi Kepolisian juga harus aktif melakukan supervisi dan pengawasan ke dalam (internal). Jangan sampai, institusi Kepolisian justru menjadi sarang persembunyian paling aman bagi kelompok radikal ekstrem.